"Neng, ngasih tahu arah jangan dadakan dong," protesnya.
"Maaf, Om. Dinda mengira Om tahu arah ke sana," ujar Dinda tersenyum. Dnda lupa kalau pamannya ini sudah lama tidak di Cirebon.
Tak lama kemudian kami tiba di sanggar tari Nyi Mas Gandasari. Arman mengantar Dinda sampai pintu sanggar. Dia tertarik pada foto-foto yang terpasang di dinding tembok sanggar itu. Sementara Dinda masuk, dia melihat-lihat foto itu.
Perhatiannya tertuju pada foto perempuan yang berpakaian tari topeng. Wajahnya tak asing lagi baginya. Itu kan Centini.
"Mungkinkah Centini juga mengajar tari di sini?" tanyanya dalam hati.
Arman pelan-pelan masuk ke ruangan sanggar. Dia mendengar beberapa anak sedang bercakap-cakap di dalam. Ada deretan gamelan di sebelah pojok dengan beberapa nayaga.
"Ayo anak-anak! Kita mulai latihan!" ujar suara perempuan dari ruangan itu. Kemudian perempuan itu memberikan komando kepada anak-anak. Suara gamelan juga terdengar mengiringi tarian itu.
Suara itu sudah tak asing lagi baginya. Dia melongokan kepala ke dalam ruangan sanggar. Tampak seorang perempuan sedang melatih gerakan tari kepada murid-muridnya.
"Assalamualaikum," ujar Arman keras. Suaranya terdengar ke seluruh penjuru sanggar.
Serentak seluruh ruangan menoleh ke arah asal suara termasuk pelatih tari itu. Dia tampak terkejut saat melihat kehadirannya.
"Arman!" ujar perempuan itu sambil menunjuk ke arahnya.
"Centini!" teriaknya bersamaan. Arman senang melihat wanita itu. Dugaannya benar jika Centini mengajar tari di sini. Semua murid tampak keheranan ketika melihat kami saling berteriak.
"Om kenal dengan Ibu Centini?" tiba-tiba Dinda bertanya sambil mendekati oomnya.
"Ya sayang. Bu Centini ini kawan Om saat SMA dulu," jawabnya sambil membelai Dinda.
"Dinda ini keponakanmu, Man?" tanya Centini sambil mendekati kami. Dia mengangguk sambil tersenyum ke arah Centini.