Bab 1. Kepergian Nadia
Tembok putih rumah sakit ini sudah kupandangi hampir 2 jam lamanya bergantian dengan para pasien yang tampak juga sudah gelisah menunggu diperiksa dokter. Aku sudah dua jam menunggu giliran. Aku sudah telah satu bulan tidak haid. Tadi pagi aku mengecek dengan tes pack . Dua garis merah ada di alat tersebut.
Alhamdulillah, aku segera memberitahukan suamiku. Namun suamiku kurang percaya. Dia menyuruh aku untuk memeriksakan kandungan ku ke dokter Dina. Alhasil sejak dua jam lalu aku mengantre di klinik dokter Dina. Akhirnya aku dipanggil oleh perawat dan disuruh masuk ruang periksa. Aku segera masuk ke ruangan dokter Dina.
"Apa kabar, Â Mbak?" tanya dokter Dina sambil menyuruh ku duduk. Aku duduk di kursi tepat di hadapan Dina.
"Aku sudah telat, dok. Tadi pagi aku sudah tes pack dan hasilnya positif. Namun suamiku belum percaya," jawabku pelan. Dokter Dina tersenyum. Dia pasti sudah tahu karakter mas Danu, suamiku. Dia kan masih sepupu dokter Dina.
" Ya sudah, sini aku periksa. Biar mas Danu percaya," kata dokter Dina lagi.
Dokter Dina memeriksaku dengan cermat. Dia malah memeriksa dengan USG. " Â Insyaallah Mbak memang hamil. Usia kehamilannya 4 minggu. Selamat ya, Mbak," jelas dokter Dian sambil memeriksa perutku.
Setelah selesai memeriksakan kehamilan, aku pulang dengan taksi on line yang kupesan tadi. Mas Danu tidak bisa mengantarkan karena sedang sibuk mengirim barang ke kota Bandung. Alhamdulillah rasanya kebahagiaanku bertambah setelah empat tahun aku menunggu ,akhirnya aku hamil lagi.
Aku mengharapkan punya anak lagi pengganti Nadia, putriku yang meninggal empat tahun lalu. Semoga bayiku akan lahir dengan selamat dan berjenis kelamin perempuan agar kehilanganku dapat terobati. Â
"Huh..," aku menghela napas panjang sekedar melepaskan beban berat yang sudah sekian tahun ku pendam di hati ini,"Nadia, ibu kangen kamu."
Aku teringat pada perjuangan saat melahirkan Bima dan Nadia. Jarak Nadia dengan Bima, putra sulungku enam tahun. Usiaku saat melahirkan Bima 29 tahun. Aku memang terlambat menikah. Takdir ku memang menikah di usia itu. Bima lahir normal meski aku berjuang untuk bisa melahirkannya. Beratnya hampir 4,2 saat lahir. Pantas saja aku mengalami kesulitan untuk mengeluarkannya. Aku melahirkan Bima di klinik bersalin di desa.Â