2. Definisi Bunga dalam Pasal 11 Ayat (3)
- Lingkup Definisi: Bunga dalam P3B didefinisikan sebagai penghasilan dari semua bentuk tagihan utang, baik yang dijamin dengan hipotek atau tidak, serta yang memiliki hak atas pembagian laba atau tidak. Penghasilan ini mencakup bunga dari sekuritas pemerintah, obligasi, surat utang, dan mencakup premi atau hadiah yang melekat pada instrumen tersebut.
- Pengecualian dan Klarifikasi: Denda keterlambatan pembayaran tidak termasuk dalam definisi bunga untuk menghindari pengenaan pajak berganda atau tumpang tindih dengan penghasilan lain seperti denda. Selain itu, ketentuan ini mengecualikan instrumen keuangan derivatif (misalnya interest rate swaps) jika pembayarannya tidak terkait langsung dengan pinjaman.Â
- Dengan adanya definisi spesifik dalam Pasal 11, istilah bunga harus diinterpretasikan secara independen dari aturan domestik negara-negara yang menandatangani P3B, yang membantu mengurangi perbedaan dalam interpretasi antarnegara.
3. Pengaturan Khusus untuk Bunga yang Diterima oleh Badan Usaha Tetap (BUT)
- Perlakuan Pajak untuk Bunga Terhubung ke BUT: Pasal 11 ayat (4) menyatakan bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila penerima bunga (resident) memiliki BUT di negara sumber, dan bunga tersebut terkait langsung dengan hutang yang terhubung ke BUT tersebut. Dalam situasi ini, bunga dianggap sebagai laba usaha yang dikenakan pajak berdasarkan Pasal 7 OECD Model. Konsekuensinya, penghasilan bunga tidak tunduk pada pembatasan tarif yang ada di Pasal 11 ayat (2) dan dapat dikenakan pajak seperti laba usaha biasa, memperhitungkan pengeluaran terkait untuk menghitung laba kena pajak secara bersih (net income basis).
- Perbedaan antara OECD dan UN Model: Perbedaan dengan UN Model adalah bahwa dalam UN Model, ayat ini juga mengacu pada ketentuan "limited force of attraction" yang memungkinkan negara sumber memajaki penghasilan dari aktivitas serupa yang dilakukan di negara sumber tersebut meskipun tidak seluruhnya terhubung secara langsung ke BUT. Hal ini memberi fleksibilitas lebih kepada negara berkembang untuk mendapatkan hak pemajakan lebih luas atas laba yang dihasilkan oleh perusahaan multinasional di wilayah mereka.
4. Penentuan Sumber Bunga (Arising In) dalam Pasal 11 Ayat (5)
- Menetapkan Negara Sumber: Pasal 11 ayat (5) mengatur bahwa bunga dianggap bersumber (arising in) di suatu negara jika pembayar bunga adalah subjek pajak dalam negeri negara tersebut. Namun, jika pembayar bunga memiliki BUT di negara lain, maka bunga dianggap berasal dari negara tempat BUT berada, asalkan utang yang menghasilkan bunga memiliki hubungan ekonomi dengan BUT.
- Kriteria Hubungan Ekonomis: Hubungan ekonomi antara utang dan BUT ditentukan oleh apakah pinjaman terkait digunakan sepenuhnya untuk operasi BUT atau dicatat di neraca BUT. Jika tidak ada hubungan ekonomi, maka negara tempat BUT berada tidak diperlakukan sebagai negara sumber. Dengan demikian, definisi "arising in" menjadi penting untuk menentukan hak pemajakan negara sumber dan menghindari pengenaan pajak ganda.
5. Pembayaran Bunga Antarperusahaan Afiliasi (Pasal 11 Ayat (6)
- Pembayaran Tidak Wajar: Pasal 11 ayat (6) mengatur bahwa dalam situasi di mana ada hubungan istimewa antara pembayar dan penerima bunga, pembayaran bunga yang melebihi tingkat kewajaran tidak akan tunduk pada ketentuan Pasal 11, tetapi mengikuti aturan domestik masing-masing negara. Hanya bagian dari bunga yang sesuai dengan tingkat wajar yang dikenakan pembatasan tarif.
- Implikasi Transfer Pricing: Pasal ini berkaitan dengan prinsip transfer pricing, di mana pembayaran antarafiliasi harus memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length principle). Selisih dari pembayaran yang melebihi tingkat wajar dapat dikoreksi berdasarkan aturan transfer pricing untuk mencegah pemindahan laba lintas batas yang tidak wajar.
6. Isu-isu Praktis dalam Penerapan P3B untuk Penghasilan Bunga
- Hybrid Instruments dan Partnership: Pembayaran bunga dengan instrumen hybrid (misalnya obligasi yang juga memiliki karakteristik ekuitas) atau dalam kemitraan (partnership) dapat memicu perbedaan perlakuan pajak antarnegara. Misalnya, suatu negara mungkin menganggap pembayaran pada partnership sebagai distribusi laba, sementara negara lain melihatnya sebagai bunga yang dikenakan pajak berbeda. Perbedaan ini dapat mengakibatkan pengenaan pajak berganda atau "double non-taxation".
- Kasus Triangular atau Dual Source Taxation: Kasus kompleks juga bisa muncul saat melibatkan lebih dari dua negara, misalnya ketika bunga dibayarkan dari suatu BUT di negara ketiga. Situasi ini seringkali menyebabkan konflik pemajakan karena adanya dual source taxation, yang diupayakan untuk diatasi dengan klausul khusus seperti "Australian Clause" yang menetapkan bahwa bunga bersumber dari negara tempat BUT berada, meskipun bukan negara asal dari pemberi pinjaman atau penerima bunga.
Pemajakan Royalti dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Pemajakan royalti dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) berperan penting dalam mengatur hak pemajakan antarnegara atas penghasilan royalti yang diterima pihak luar negeri.Â
Royalti adalah pembayaran atas penggunaan atau hak menggunakan aset tak berwujud, seperti hak cipta, paten, atau teknologi. Dengan perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan, ketentuan mengenai royalti ini semakin relevan, terutama dalam industri teknologi informasi dan komunikasi yang melibatkan transaksi lintas negara atas perangkat lunak, hak paten, dan know-how.
Struktur dan Isi Pasal 12 OECD Model tentang Royalti
Pasal 12 Model Konvensi OECD membagi hak pemajakan royalti antara negara sumber dan negara domisili. Pasal ini memiliki beberapa ketentuan inti:
- Hak Pemajakan Eksklusif di Negara Domisili (Ayat 1): Pasal 12 ayat (1) dalam Model OECD memberikan hak pemajakan eksklusif kepada negara domisili penerima royalti, sehingga negara sumber tidak memungut pajak atas penghasilan royalti yang diterima dari negara tersebut, kecuali jika penerima royalti memiliki badan usaha tetap (BUT) di negara sumber yang berhubungan langsung dengan pembayaran royalti tersebut.
- Definisi Royalti (Ayat 2): Pasal 12 ayat (2) OECD Model mendefinisikan royalti sebagai pembayaran atas penggunaan atau hak menggunakan karya sastra, seni, atau ilmiah, termasuk film, paten, merek dagang, dan know-how industri, komersial, atau ilmiah. Definisi ini dirancang untuk menjadi komprehensif, sehingga interpretasinya tidak bergantung pada undang-undang domestik masing-masing negara yang menandatangani perjanjian.
- Ketentuan untuk Badan Usaha Tetap (Ayat 3): Pasal 12 ayat (3) menyatakan bahwa jika penerima royalti memiliki BUT di negara sumber, dan hak atau properti yang terkait royalti tersebut secara efektif terhubung dengan BUT, maka royalti akan diperlakukan sebagai laba usaha yang dikenakan pajak di negara sumber sesuai Pasal 7 OECD Model.
- Pembayaran Royalti Antar Perusahaan Afiliasi (Ayat 4): Ayat ini mengatur bahwa pembayaran royalti yang dilakukan antar perusahaan afiliasi harus sesuai dengan prinsip kewajaran. Jika pembayaran melebihi nilai wajar (misalnya karena adanya hubungan istimewa), maka kelebihan jumlah royalti tersebut dapat dikenakan pajak sesuai ketentuan domestik negara sumber.
Perbedaan Antara OECD dan UN Model
1. Hak Pemajakan atas Royalti
- OECD Model: Mengutamakan hak pemajakan royalti pada negara domisili penerima royalti (residence country). Artinya, negara tempat penerima royalti berdomisili memiliki hak eksklusif untuk memajaki royalti. Negara sumber (source country) tidak memiliki hak untuk memungut pajak royalti yang dibayarkan ke luar negeri.
- UN Model: Memberikan hak pemajakan terbatas kepada negara sumber selain negara domisili. Dalam hal ini, negara sumber, yaitu negara tempat royalti dihasilkan, juga memiliki hak untuk mengenakan pajak dengan batas tarif tertentu. Hak ini dirancang untuk melindungi kepentingan negara-negara berkembang, yang cenderung menjadi negara sumber royalti yang dibayarkan ke negara maju.