Pendapatan pasif seperti dividen, bunga, royalti, dan capital gains merupakan sumber penghasilan penting yang sering menjadi fokus utama dalam perencanaan pajak bagi individu dan perusahaan. Pajak yang dikenakan atas jenis pendapatan ini dirancang untuk memastikan bahwa semua bentuk penghasilan diperlakukan secara adil dan berkontribusi pada penerimaan negara.Â
Dalam konteks ekonomi modern, di mana arus modal lintas negara semakin meningkat, pemajakan pendapatan pasif memainkan peran kunci dalam mengatur perilaku investasi, baik domestik maupun internasional.
Pemajakan Dividen dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Dalam konteks ekonomi global, arus investasi lintas negara semakin meningkat. Perusahaan-perusahaan multinasional dan investor asing kerap menginvestasikan modal di negara lain untuk memperoleh pengembalian dalam bentuk dividen.Â
Namun, perbedaan aturan pemajakan antara negara asal (negara sumber) dan negara tempat investor berdomisili (negara domisili) menimbulkan risiko terjadinya pajak berganda. Pajak berganda dapat terjadi ketika kedua negara mengklaim hak untuk memajaki dividen yang diterima investor, sehingga investor terbebani dua kali lipat untuk satu sumber pendapatan yang sama.
Pajak berganda ini berpotensi menghambat investasi lintas negara karena:
- Beban Pajak Berlebih: Penghasilan dividen yang dikenakan pajak ganda membuat investasi menjadi kurang menarik.
- Ketidakpastian Hukum: Investor menghadapi risiko ketidakpastian terkait besarnya pajak yang harus dibayarkan, mengingat setiap negara memiliki aturan pajak yang berbeda.
- Pelarian Modal: Negara sumber yang menetapkan tarif pajak tinggi tanpa aturan P3B mungkin kehilangan minat investasi karena investor cenderung mengalihkan dananya ke negara yang lebih ringan beban pajaknya.
Oleh karena itu, untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan menghindari pengenaan pajak berganda, banyak negara menyepakati Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). P3B ini mencakup ketentuan tentang pembagian hak pemajakan atas berbagai jenis penghasilan, termasuk dividen.
1. Konsep Dasar Pemajakan Dividen Internasional
Pemajakan dividen secara internasional dapat melibatkan dua yurisdiksi berbeda:
- Negara Sumber: Negara tempat perusahaan yang membayar dividen berkedudukan. Negara ini berhak memajaki dividen yang dibayarkan kepada investor asing.
- Negara Domisili: Negara tempat pemegang saham tinggal atau berdomisili. Negara ini umumnya mengenakan pajak atas seluruh penghasilan global warganya, termasuk dividen yang diterima dari luar negeri.
Ketika negara sumber dan negara domisili keduanya memungut pajak atas dividen, maka terjadilah pajak berganda. Pajak berganda ini meningkatkan beban pajak bagi investor, membuat investasi lintas negara menjadi kurang menarik.
2. Tujuan P3B pada Dividen
Tujuan utama dari P3B dalam hal pemajakan dividen adalah sebagai berikut:
- Menghindari Pajak Berganda
P3B mengatur pembagian hak pemajakan antara negara sumber dan negara domisili, sehingga pajak yang dibayarkan di negara sumber dapat diperhitungkan (offset) dengan pajak di negara domisili. Ini membantu meringankan beban pajak investor dan memastikan bahwa penghasilan yang sama tidak dikenakan pajak lebih dari sekali. - Mendorong Investasi Lintas Negara
Dengan adanya ketentuan pembatasan tarif pajak dalam P3B, investor dapat menikmati tarif pajak dividen yang lebih rendah dibandingkan jika tidak ada perjanjian. Misalnya, tarif pajak pada dividen bisa dibatasi menjadi 5% untuk pemegang saham dengan kepemilikan minimal 25%, dan 15% untuk pemegang saham lainnya. Tarif yang lebih rendah ini menarik bagi investor asing dan mendukung arus modal masuk. - Menciptakan Kepastian dan Keadilan Pajak
P3B memberikan kepastian hukum bagi investor terkait hak pemajakan atas dividen. Selain itu, pembagian hak pemajakan yang disepakati antara negara-negara juga bertujuan menciptakan keadilan sehingga beban pajak tidak hanya ditanggung oleh satu pihak. - Meminimalisir Penghindaran Pajak
P3B juga bertujuan untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang sering terjadi dengan adanya arbitrase pajak, di mana perusahaan atau individu menggunakan perbedaan tarif dan aturan pajak untuk mengurangi beban pajak secara tidak wajar. Dalam ketentuan P3B, konsep seperti beneficial owner digunakan untuk memastikan bahwa pengurangan tarif hanya diberikan kepada penerima manfaat yang sebenarnya dari dividen tersebut. - Mengatur Perlakuan Pajak pada Dividen secara Jelas
Melalui Pasal 10 OECD Model, P3B mendefinisikan dividen dan mengatur alokasi hak pemajakan, termasuk ketentuan kapan dan bagaimana pajak atas dividen dapat dikenakan. P3B menghindari penyalahgunaan manfaat perjanjian pajak oleh pihak yang tidak memenuhi syarat sebagai pemilik manfaat sebenarnya (beneficial owner) dari dividen.
3. Ketentuan Pasal 10 OECD Model tentang Pemajakan Dividen Untuk mengatasi masalah pajak berganda
Banyak negara mengadakan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Double Taxation Avoidance Agreements (DTAA). P3B mengatur bagaimana pajak dividen dibagi antara negara sumber dan negara domisili, menciptakan kerangka hukum yang adil bagi investor dan perusahaan. Salah satu model perjanjian pajak yang umum digunakan adalah OECD Model Tax Convention, yang mengatur hak pemajakan dividen dalam Pasal 10. Menurut Pasal 10 OECD Model, ketentuan utama pemajakan dividen meliputi:
- Pasal 10(1): Negara domisili penerima dividen memiliki hak utama untuk memajaki dividen tersebut, namun negara sumber tetap memiliki hak pemajakan terbatas.
- Pasal 10(2): Negara sumber boleh memajaki dividen dengan tarif maksimal tertentu, yaitu 5% untuk pemegang saham dengan kepemilikan minimal 25% dan 15% untuk pemegang saham lainnya.
- Pasal 10(3): Menjelaskan definisi dividen, termasuk pendapatan dari saham dan keuntungan lainnya yang diperlakukan serupa di negara asal.
- Pasal 10(4): Ketentuan ini berlaku jika penerima dividen memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) di negara sumber. Jika terdapat hubungan efektif antara dividen dan BUT, dividen diperlakukan sebagai laba usaha.
- Pasal 10(5): Negara sumber dilarang mengenakan pajak atas dividen yang diterima di luar wilayahnya, kecuali penerima dividen berdomisili di negara tersebut atau memiliki BUT yang berhubungan efektif dengan dividen.
4. Pembatasan Tarif Pajak Berdasarkan Bentuk Investasi Dividen dikenakan tarif pajak berbeda berdasarkan bentuk investasinya:
- Dividen Partisipasi (untuk pemegang saham dengan kepemilikan minimal 25%) dikenakan tarif 5%.
- Dividen Portofolio (untuk pemegang saham lainnya) dikenakan tarif hingga 15%.
Pembatasan tarif ini mendorong investasi lintas negara dengan mengurangi beban pajak yang berulang di negara sumber dan negara domisili.
5. Pemajakan Dividen di Negara Sumber dan Negara Domisili
- Negara Sumber: Negara tempat dividen dihasilkan dapat mengenakan pajak terbatas pada dividen yang dibayarkan ke investor asing. Batasan tarif ini disesuaikan dengan ketentuan dalam P3B yang berlaku.
- Negara Domisili: Negara domisili penerima dividen memiliki hak untuk memajaki dividen tanpa batasan, tetapi umumnya memberikan keringanan pajak berganda. Keringanan ini bisa berupa kredit pajak atau pengecualian pajak, yang mencegah pajak berganda atas penghasilan yang sama.
6. Isu-Isu Terkait Pemajakan Dividen dalam Konteks Internasional
Pemajakan dividen dalam perpajakan internasional sering menghadapi beberapa isu berikut:
- Penyalahgunaan Perjanjian Pajak: Praktik arbitrase pajak terjadi ketika perusahaan menggunakan perbedaan aturan pajak antara negara untuk mengurangi beban pajak, seperti menggunakan treaty shopping.
- Instrumen Keuangan Hibrida: Dividen yang dihasilkan dari instrumen keuangan hibrida sering kali sulit dikategorikan karena mungkin memiliki karakteristik ganda (baik sebagai dividen maupun sebagai bunga), yang menyebabkan interpretasi pajak yang berbeda di tiap negara.
- Penghindaran Pajak melalui Kepemilikan Tidak Langsung: Dalam beberapa kasus, investor menggunakan kepemilikan tidak langsung (indirect ownership) untuk memenuhi syarat tarif pajak yang lebih rendah, sehingga diperlukan pemantauan yang ketat.
Regulasi
Pemajakan Bunga dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
1. Hak Pemajakan atas Bunga dalam Pasal 11 OECD Model
- Hak Negara Sumber dan Negara Domisili: Dalam Pasal 11 ayat (1) OECD Model, disebutkan bahwa negara domisili penerima bunga memiliki hak pemajakan, tetapi hak ini tidak eksklusif, artinya negara sumber (tempat bunga dihasilkan) juga dapat memajaki penghasilan tersebut.Â
- Dengan kata lain, Pasal 11 OECD Model memberikan hak kepada kedua negara (negara sumber dan negara domisili) untuk mengenakan pajak atas penghasilan bunga. Penggunaan frasa "may be taxed" di Pasal 11 ayat (1) menunjukkan hak ini bersifat opsional bagi negara sumber dan negara domisili.
- Pembatasan Tarif di Negara Sumber: Pada ayat (2), hak pemajakan negara sumber dibatasi oleh tarif tertentu, yaitu maksimal 10% dari jumlah bruto bunga jika penerima bunga merupakan "beneficial owner" (pemilik manfaat sebenarnya). Pembatasan tarif ini bertujuan untuk melindungi penerima bunga dari beban pajak berlebih di negara sumber dan mendorong transparansi dalam kepemilikan manfaat penghasilan bunga.
2. Definisi Bunga dalam Pasal 11 Ayat (3)
- Lingkup Definisi: Bunga dalam P3B didefinisikan sebagai penghasilan dari semua bentuk tagihan utang, baik yang dijamin dengan hipotek atau tidak, serta yang memiliki hak atas pembagian laba atau tidak. Penghasilan ini mencakup bunga dari sekuritas pemerintah, obligasi, surat utang, dan mencakup premi atau hadiah yang melekat pada instrumen tersebut.
- Pengecualian dan Klarifikasi: Denda keterlambatan pembayaran tidak termasuk dalam definisi bunga untuk menghindari pengenaan pajak berganda atau tumpang tindih dengan penghasilan lain seperti denda. Selain itu, ketentuan ini mengecualikan instrumen keuangan derivatif (misalnya interest rate swaps) jika pembayarannya tidak terkait langsung dengan pinjaman.Â
- Dengan adanya definisi spesifik dalam Pasal 11, istilah bunga harus diinterpretasikan secara independen dari aturan domestik negara-negara yang menandatangani P3B, yang membantu mengurangi perbedaan dalam interpretasi antarnegara.
3. Pengaturan Khusus untuk Bunga yang Diterima oleh Badan Usaha Tetap (BUT)
- Perlakuan Pajak untuk Bunga Terhubung ke BUT: Pasal 11 ayat (4) menyatakan bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila penerima bunga (resident) memiliki BUT di negara sumber, dan bunga tersebut terkait langsung dengan hutang yang terhubung ke BUT tersebut. Dalam situasi ini, bunga dianggap sebagai laba usaha yang dikenakan pajak berdasarkan Pasal 7 OECD Model. Konsekuensinya, penghasilan bunga tidak tunduk pada pembatasan tarif yang ada di Pasal 11 ayat (2) dan dapat dikenakan pajak seperti laba usaha biasa, memperhitungkan pengeluaran terkait untuk menghitung laba kena pajak secara bersih (net income basis).
- Perbedaan antara OECD dan UN Model: Perbedaan dengan UN Model adalah bahwa dalam UN Model, ayat ini juga mengacu pada ketentuan "limited force of attraction" yang memungkinkan negara sumber memajaki penghasilan dari aktivitas serupa yang dilakukan di negara sumber tersebut meskipun tidak seluruhnya terhubung secara langsung ke BUT. Hal ini memberi fleksibilitas lebih kepada negara berkembang untuk mendapatkan hak pemajakan lebih luas atas laba yang dihasilkan oleh perusahaan multinasional di wilayah mereka.
4. Penentuan Sumber Bunga (Arising In) dalam Pasal 11 Ayat (5)
- Menetapkan Negara Sumber: Pasal 11 ayat (5) mengatur bahwa bunga dianggap bersumber (arising in) di suatu negara jika pembayar bunga adalah subjek pajak dalam negeri negara tersebut. Namun, jika pembayar bunga memiliki BUT di negara lain, maka bunga dianggap berasal dari negara tempat BUT berada, asalkan utang yang menghasilkan bunga memiliki hubungan ekonomi dengan BUT.
- Kriteria Hubungan Ekonomis: Hubungan ekonomi antara utang dan BUT ditentukan oleh apakah pinjaman terkait digunakan sepenuhnya untuk operasi BUT atau dicatat di neraca BUT. Jika tidak ada hubungan ekonomi, maka negara tempat BUT berada tidak diperlakukan sebagai negara sumber. Dengan demikian, definisi "arising in" menjadi penting untuk menentukan hak pemajakan negara sumber dan menghindari pengenaan pajak ganda.
5. Pembayaran Bunga Antarperusahaan Afiliasi (Pasal 11 Ayat (6)
- Pembayaran Tidak Wajar: Pasal 11 ayat (6) mengatur bahwa dalam situasi di mana ada hubungan istimewa antara pembayar dan penerima bunga, pembayaran bunga yang melebihi tingkat kewajaran tidak akan tunduk pada ketentuan Pasal 11, tetapi mengikuti aturan domestik masing-masing negara. Hanya bagian dari bunga yang sesuai dengan tingkat wajar yang dikenakan pembatasan tarif.
- Implikasi Transfer Pricing: Pasal ini berkaitan dengan prinsip transfer pricing, di mana pembayaran antarafiliasi harus memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length principle). Selisih dari pembayaran yang melebihi tingkat wajar dapat dikoreksi berdasarkan aturan transfer pricing untuk mencegah pemindahan laba lintas batas yang tidak wajar.
6. Isu-isu Praktis dalam Penerapan P3B untuk Penghasilan Bunga
- Hybrid Instruments dan Partnership: Pembayaran bunga dengan instrumen hybrid (misalnya obligasi yang juga memiliki karakteristik ekuitas) atau dalam kemitraan (partnership) dapat memicu perbedaan perlakuan pajak antarnegara. Misalnya, suatu negara mungkin menganggap pembayaran pada partnership sebagai distribusi laba, sementara negara lain melihatnya sebagai bunga yang dikenakan pajak berbeda. Perbedaan ini dapat mengakibatkan pengenaan pajak berganda atau "double non-taxation".
- Kasus Triangular atau Dual Source Taxation: Kasus kompleks juga bisa muncul saat melibatkan lebih dari dua negara, misalnya ketika bunga dibayarkan dari suatu BUT di negara ketiga. Situasi ini seringkali menyebabkan konflik pemajakan karena adanya dual source taxation, yang diupayakan untuk diatasi dengan klausul khusus seperti "Australian Clause" yang menetapkan bahwa bunga bersumber dari negara tempat BUT berada, meskipun bukan negara asal dari pemberi pinjaman atau penerima bunga.
Pemajakan Royalti dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Pemajakan royalti dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) berperan penting dalam mengatur hak pemajakan antarnegara atas penghasilan royalti yang diterima pihak luar negeri.Â
Royalti adalah pembayaran atas penggunaan atau hak menggunakan aset tak berwujud, seperti hak cipta, paten, atau teknologi. Dengan perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan, ketentuan mengenai royalti ini semakin relevan, terutama dalam industri teknologi informasi dan komunikasi yang melibatkan transaksi lintas negara atas perangkat lunak, hak paten, dan know-how.
Struktur dan Isi Pasal 12 OECD Model tentang Royalti
Pasal 12 Model Konvensi OECD membagi hak pemajakan royalti antara negara sumber dan negara domisili. Pasal ini memiliki beberapa ketentuan inti:
- Hak Pemajakan Eksklusif di Negara Domisili (Ayat 1): Pasal 12 ayat (1) dalam Model OECD memberikan hak pemajakan eksklusif kepada negara domisili penerima royalti, sehingga negara sumber tidak memungut pajak atas penghasilan royalti yang diterima dari negara tersebut, kecuali jika penerima royalti memiliki badan usaha tetap (BUT) di negara sumber yang berhubungan langsung dengan pembayaran royalti tersebut.
- Definisi Royalti (Ayat 2): Pasal 12 ayat (2) OECD Model mendefinisikan royalti sebagai pembayaran atas penggunaan atau hak menggunakan karya sastra, seni, atau ilmiah, termasuk film, paten, merek dagang, dan know-how industri, komersial, atau ilmiah. Definisi ini dirancang untuk menjadi komprehensif, sehingga interpretasinya tidak bergantung pada undang-undang domestik masing-masing negara yang menandatangani perjanjian.
- Ketentuan untuk Badan Usaha Tetap (Ayat 3): Pasal 12 ayat (3) menyatakan bahwa jika penerima royalti memiliki BUT di negara sumber, dan hak atau properti yang terkait royalti tersebut secara efektif terhubung dengan BUT, maka royalti akan diperlakukan sebagai laba usaha yang dikenakan pajak di negara sumber sesuai Pasal 7 OECD Model.
- Pembayaran Royalti Antar Perusahaan Afiliasi (Ayat 4): Ayat ini mengatur bahwa pembayaran royalti yang dilakukan antar perusahaan afiliasi harus sesuai dengan prinsip kewajaran. Jika pembayaran melebihi nilai wajar (misalnya karena adanya hubungan istimewa), maka kelebihan jumlah royalti tersebut dapat dikenakan pajak sesuai ketentuan domestik negara sumber.
Perbedaan Antara OECD dan UN Model
1. Hak Pemajakan atas Royalti
- OECD Model: Mengutamakan hak pemajakan royalti pada negara domisili penerima royalti (residence country). Artinya, negara tempat penerima royalti berdomisili memiliki hak eksklusif untuk memajaki royalti. Negara sumber (source country) tidak memiliki hak untuk memungut pajak royalti yang dibayarkan ke luar negeri.
- UN Model: Memberikan hak pemajakan terbatas kepada negara sumber selain negara domisili. Dalam hal ini, negara sumber, yaitu negara tempat royalti dihasilkan, juga memiliki hak untuk mengenakan pajak dengan batas tarif tertentu. Hak ini dirancang untuk melindungi kepentingan negara-negara berkembang, yang cenderung menjadi negara sumber royalti yang dibayarkan ke negara maju.
2. Tujuan dan Orientasi Kebijakan
- OECD Model: Dirancang terutama untuk negara maju, dengan pendekatan yang lebih menguntungkan negara domisili, yang biasanya adalah negara tempat perusahaan multinasional dan investor besar berdomisili.
- UN Model: Bertujuan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan negara maju dan negara berkembang. Dengan memberikan hak pajak kepada negara sumber, model ini membantu negara-negara berkembang memungut pajak dari royalti yang dihasilkan di wilayah mereka, meskipun penerima royalti berdomisili di negara lain.
3. Pembatasan Tarif Pajak
- OECD Model: Karena hak pemajakan royalti ada pada negara domisili, tidak ada ketentuan tarif maksimal bagi negara sumber, sebab negara sumber tidak berhak mengenakan pajak.
- UN Model: Menyediakan pembatasan tarif pajak maksimum yang bisa dikenakan oleh negara sumber. Batas tarif ini dapat dinegosiasikan dalam perjanjian antara dua negara, tetapi model UN umumnya mengizinkan pengenaan pajak di negara sumber hingga batas tertentu untuk mengurangi beban pajak berganda.
4. Fleksibilitas untuk Negara Berkembang
- OECD Model: Cenderung lebih ketat dan kurang fleksibel dalam hal penyesuaian hak pemajakan atas royalti. Negara-negara berkembang yang mengikuti OECD Model mungkin tidak dapat sepenuhnya memanfaatkan hak pemajakan atas royalti yang keluar dari negara mereka.
- UN Model: Memberikan fleksibilitas lebih besar kepada negara berkembang dalam hal penerapan tarif pajak royalti di negara sumber. Model ini memungkinkan negara berkembang memperoleh lebih banyak pendapatan dari royalti yang terkait dengan kekayaan intelektual atau aset tak berwujud yang digunakan di wilayah mereka.
5. Fokus pada Penghindaran Pajak
- OECD Model: Lebih fokus pada pencegahan penghindaran pajak dan arbitrase pajak internasional. Hak pemajakan eksklusif negara domisili dalam OECD Model juga bertujuan untuk meminimalkan kompleksitas administrasi pajak internasional.
- UN Model: Selain menghindari pajak berganda, UN Model juga berfokus pada peningkatan pendapatan bagi negara-negara berkembang dengan memberikan mereka hak memajaki royalti. Model ini memungkinkan negara-negara berkembang memperoleh penghasilan dari royalti meskipun mereka mungkin hanya memiliki peran terbatas dalam menghasilkan kekayaan intelektual.
Definisi dan Isu Interpretasi Royalti
Dalam penerapan P3B, definisi royalti mencakup berbagai hak kekayaan intelektual, tetapi batasan antara royalti dan transaksi lainnya (seperti penjualan hak atau penyediaan jasa) kerap memicu sengketa:
- Royalti vs. Penjualan Aset Tak Berwujud: Hanya transaksi yang melibatkan penggunaan atau hak untuk menggunakan aset yang dianggap royalti. Pengalihan hak milik sepenuhnya (seperti dalam transaksi penjualan hak cipta permanen) tidak dianggap sebagai royalti.
- Royalti vs. Jasa Teknik dan Know-How: Pembayaran atas informasi terkait know-how industri dapat dianggap royalti jika ada elemen know-how yang disampaikan tanpa keterlibatan langsung pemberi jasa dalam penggunaannya. Namun, jika pemberi jasa ikut berperan dalam penerapan know-how, maka pembayaran mungkin diklasifikasikan sebagai penghasilan dari jasa, bukan royalti.
- Royalti dalam Transaksi Software: Dalam transaksi software, perbedaan antara hak cipta dan hak penggunaan perangkat lunak menjadi krusial. Royalti dianggap terjadi ketika pengguna memperoleh hak eksklusif atas penggunaan perangkat lunak untuk tujuan komersial, misalnya dengan membuat salinan yang akan dijual. Namun, jika pengguna hanya memiliki hak untuk menggunakan software secara internal, pembayaran tersebut tidak dianggap sebagai royalti.
Hak Pemajakan atas Royalti yang Diterima oleh Badan Usaha Tetap
Pasal 12 OECD Model membatasi hak negara sumber untuk memajaki royalti jika penerima manfaat royalti memiliki badan usaha tetap di negara sumber. Dalam situasi ini, jika royalti tersebut berkaitan erat dengan operasi badan usaha tetap, maka royalti diperlakukan sebagai laba usaha dan dikenakan pajak sesuai Pasal 7 OECD Model. Ketentuan ini mencegah adanya force of attraction sehingga negara sumber hanya bisa memajaki royalti jika hak atau properti yang terkait royalti berhubungan langsung dengan kegiatan usaha di badan usaha tetap.
Pemajakan Capital Gains dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Capital gains, atau keuntungan modal, merupakan selisih positif antara harga jual suatu aset dengan harga perolehan aset tersebut. Dalam konteks perpajakan internasional, capital gains menjadi topik penting karena banyak negara berlomba-lomba untuk menarik investasi asing dan menjaga hak pemajakan mereka. Ketentuan perpajakan atas capital gains dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) diatur dalam Pasal 13 OECD Model dan UN Model, yang memberikan pedoman alokasi hak pemajakan capital gains berdasarkan jenis aset dan keterkaitan ekonominya dengan negara sumber atau negara domisili.
1. Struktur dan Ketentuan Utama Pasal 13 OECD Model dan UN Model
Pasal 13 OECD Model dan UN Model membagi hak pemajakan capital gains menjadi beberapa kategori, tergantung pada jenis aset yang dialihkan dan hubungan aset tersebut dengan negara sumber. Berikut adalah rincian ketentuan Pasal 13:
A. Capital Gains dari Pengalihan Harta Tak Bergerak (Pasal 13 Ayat 1)
- Hak Pemajakan Negara Sumber: Pasal 13 ayat (1) memberi hak pemajakan kepada negara tempat harta tak bergerak berada (situs state). Misalnya, jika seorang penduduk negara A menjual harta tak bergerak yang berada di negara B, negara B memiliki hak untuk mengenakan pajak atas keuntungan dari penjualan tersebut. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa harta tak bergerak memiliki keterkaitan ekonomi yang kuat dengan negara tempat harta itu berada.
- Definisi Harta Tak Bergerak: OECD dan UN Model merujuk definisi harta tak bergerak pada Pasal 6, yang mencakup tanah, bangunan, tambang, sumber daya alam, serta hak-hak atas harta tak bergerak yang digunakan untuk kepentingan pertanian dan kehutanan. Definisi ini memperjelas cakupan aset yang dapat dikenakan pajak di negara sumber.
B. Capital Gains dari Pengalihan Harta Bergerak dalam Badan Usaha Tetap (BUT) (Pasal 13 Ayat 2)
- Pengalihan Harta Bergerak yang Terkait dengan BUT: Pasal 13 ayat (2) OECD Model mengatur bahwa gains dari pengalihan harta bergerak yang merupakan bagian dari harta bisnis suatu BUT di negara sumber dapat dikenakan pajak di negara tersebut. Contoh harta bergerak di sini meliputi inventaris, peralatan, dan kendaraan yang digunakan dalam operasi bisnis BUT.
- Tujuan Ketentuan: Ketentuan ini bertujuan menjaga konsistensi dengan Pasal 7 OECD Model yang memberikan hak pemajakan atas laba usaha kepada negara tempat BUT berada. Dengan demikian, jika aset bergerak dijual sebagai bagian dari penutupan atau peralihan BUT, negara sumber tetap dapat mengenakan pajak capital gains tersebut.
- Perbedaan dengan UN Model: UN Model memperluas ketentuan ini dengan memasukkan harta bergerak yang terkait dengan fixed base yang digunakan dalam penyediaan jasa independen. Ini berarti jika seorang penyedia jasa memiliki harta bergerak di negara lain untuk mendukung kegiatannya, negara tersebut juga dapat memajaki gains dari pengalihan aset tersebut.
C. Capital Gains dari Pengalihan Kapal, Pesawat, dan Harta terkait di Jalur Internasional (Pasal 13 Ayat 3)
- Pemajakan di Negara Tempat Kedudukan Manajemen: Pasal 13 ayat (3) memberikan hak pemajakan eksklusif kepada negara tempat kedudukan manajemen efektif perusahaan yang mengoperasikan kapal, pesawat, atau kendaraan lain di jalur internasional. Ketentuan ini bertujuan menghindari pemajakan ganda dan memudahkan pengawasan oleh negara domisili.
- Kriteria Operasional: Agar pemajakan ini berlaku, aset yang dialihkan harus benar-benar dioperasikan dalam lalu lintas internasional dan bukan hanya disewakan tanpa awak atau pengelolaan langsung. Jika kapal atau pesawat hanya disewakan tanpa awak, ketentuan ini tidak berlaku dan pengalihan aset tersebut dapat dikenai pajak sesuai ketentuan lain di P3B.
D. Pengalihan Saham yang Merefleksikan Pengalihan Harta Tak Bergerak (Pasal 13 Ayat 4)
- Aturan Look-Through: Pasal 13 ayat (4) OECD Model memungkinkan negara sumber untuk memajaki capital gains dari pengalihan saham jika lebih dari 50% nilai saham perusahaan tersebut secara langsung atau tidak langsung berasal dari harta tak bergerak yang berlokasi di negara sumber. Ketentuan ini berlaku untuk menghindari penghindaran pajak melalui pengalihan tidak langsung atas harta tak bergerak.
- Penerapan di UN Model: UN Model memperluas cakupan aturan ini untuk memasukkan jenis entitas lainnya, seperti partnership, trust, atau estate, dan mengatur bahwa perusahaan yang menjalankan pengelolaan harta tak bergerak tidak termasuk dalam pengecualian ini.
E. Pengalihan Saham dalam Kepemilikan Substansial (Pasal 13 Ayat 5 dalam UN Model)
- Hak Pemajakan Negara Sumber: Ketentuan ini, yang hanya ada dalam UN Model, memungkinkan negara sumber untuk memajaki gains dari pengalihan saham suatu perusahaan domestik jika penjual memiliki kepemilikan saham yang substansial (persentase yang ditentukan dalam perjanjian). Hal ini dimaksudkan untuk melindungi hak pemajakan negara berkembang yang biasanya menjadi negara sumber.
- Jangka Waktu Kepemilikan: UN Model mensyaratkan periode waktu tertentu di mana saham tersebut dimiliki secara substansial oleh pemegang saham, sehingga capital gains dari penjualan saham substansial ini dapat dikenakan pajak di negara sumber.
F. Pengalihan Aset Lainnya (Pasal 13 Ayat 5 OECD Model dan Ayat 6 UN Model)
- Hak Pemajakan di Negara Domisili: Gains dari pengalihan harta selain yang disebutkan di ayat-ayat sebelumnya (misalnya harta bergerak pribadi) hanya dikenakan pajak di negara domisili. Contoh harta lainnya termasuk koleksi seni, perhiasan, atau investasi portofolio. Dengan demikian, negara domisili memiliki hak eksklusif untuk memajaki gains dari aset-aset ini.
2. Isu-isu Penerapan Capital Gains dalam P3B
Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 13 OECD dan UN Model juga memunculkan beberapa tantangan penerapan, terutama terkait dengan definisi dan pengaturan teknis lainnya. Berikut beberapa isu utama yang sering muncul dalam pemajakan capital gains lintas negara:
A. Definisi Capital Gains dan Pengalihan (Alienation)
- Ketidakkonsistenan Definisi: Istilah "capital gains" atau "alienation" tidak didefinisikan secara khusus dalam Pasal 13 OECD atau UN Model. Tidak adanya definisi ini sering menimbulkan perbedaan interpretasi antarnegara. Dalam beberapa kasus, pengalihan yang tidak disengaja, seperti warisan atau hibah, dapat dianggap sebagai pengalihan dalam konteks perpajakan capital gains, sementara di negara lain mungkin tidak demikian.
- Deemed Disposition (Pengalihan yang Dianggap): Beberapa negara menerapkan deemed disposition atau pengalihan yang dianggap ketika subjek pajak pindah ke yurisdiksi lain. Ketentuan ini memungkinkan negara asal untuk mengenakan pajak atas keuntungan modal yang belum terealisasi sebagai langkah menghindari capital gains tidak terkena pajak jika subjek pajak meninggalkan negara tersebut. Namun, penerapan deemed disposition dapat bertentangan dengan ketentuan P3B yang biasanya tidak mengenakan pajak atas unrealized gains.
B. Perhitungan Capital Gains:
- Pendekatan Bruto atau Neto: Pasal 13 tidak menjelaskan apakah perhitungan capital gains dilakukan berdasarkan basis bruto atau neto. OECD Commentary menyarankan basis neto dengan mengurangi harga perolehan awal, tetapi penentuan akhirnya diserahkan kepada ketentuan domestik masing-masing negara. Hal ini dapat mengakibatkan perbedaan nilai capital gains antarnegara.
C. Exit Tax dan Keuntungan yang Belum Terealisasi
- Exit Tax: Banyak negara menerapkan exit tax atau pajak keluar untuk menghitung gains yang belum terealisasi ketika seseorang pindah ke negara lain. Pajak ini biasanya diterapkan untuk menghindari potensi capital gains tidak terkena pajak ketika subjek pajak meninggalkan yurisdiksi. Penerapan ini kerap menimbulkan sengketa dalam konteks P3B, karena bisa dianggap sebagai pajak ganda atas aset yang sama.
D. Pemajakan atas Pengalihan Saham melalui Entitas Perantara
- Aturan Look-Through dan Penghindaran Pajak: Aturan look-through dalam Pasal 13 ayat (4) bertujuan untuk memastikan bahwa pengalihan saham perusahaan tidak digunakan untuk menghindari pajak atas harta tak bergerak di negara sumber. Namun, aturan ini menimbulkan interpretasi mengenai cara menghitung nilai aset tidak langsung dalam perusahaan perantara.Â
- Misalnya, nilai saham perusahaan holding dapat menjadi subjek pajak jika lebih dari 50% asetnya berupa harta tak bergerak di negara sumber, meskipun penjualan tidak langsung dilakukan melalui entitas perantara yang berlokasi di negara ketiga.
Referensi
- OECD. (2021). Model Tax Convention on Income and on Capital. OECD Publishing.
- Perjanjian-Penghindaran-Pajak-Berganda-Panduan-Interpretasi-danAplikasi.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H