Dalam renungan malam, melihat langit-langit kamar penuh dengan gambaran sketsa secercah harapan masa depan, menunggu skenario Tuhan yang sangat dinantikan happy storynya. Beberapa hari belakangan ini Lini pusing dengan banyaknya dilema yang dihadapinya. Bingung bagaimana bisa memilih dua pilihan yang sangat sulit untuk dilakukan bersamaan.
Ya, itulah Afialini Khabibatul Ma'rifah seorang. Dia adalah anak pertama dari 3 bersaudara yang baru saja lulus 2 minggu lalu dari SMA Negeri 2 Gondang yang sebentar lagi akan menjadi waiters di sebuah kedai kopi.
Namun sebenarnya, meskipun dia sadar orang tuanya tidak bisa membiayainya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perkuliahan dengan tekatnya Lini mencoba mendaftarkan dirinya ke Universitas yang dia inginkan dari dulu.
Bukan tanpa alasan dia daftar, dari dorongan semangat yang diberikan ibunya dan beberapa saran dari guru dan temannya untuk melanjutkan sekolahnya karena dia juga merupakan salah satu dari siswa yang berprestasi di sekolahnya.
Teringat pesan bu Arini saat di kelas selesai pelajaran kimia “Lini jangan sia-siakan prestasimu ini ya nak! Kamu harus melanjutkan sekolahmu!” ucap beliau menghapiri meja Lini. Lalu Lini langsung menundukkan kepalanya dan kembali menatap bu Arini menjawab.
“Tapi maaf bu, bagaimana bisa? karena adik-adik saya juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk sekolah mereka. Dan saya pikir untuk biaya kuliah itu lebih besar, saya tidak mau lagi membebani orangtua saya bu” jawab Lini dengan putus asa.
“Tidak! Jangan berfikir seperti itu nak! Semua itu ada rezekinya masing-masing. Sekarang banyak sekali beasiswa apalagi kamukan punya beberapa sertifikat prestasi, nah itu kamu bisa memanfaatkannya. Ibu ada beberapa Universitas yang sepertinya kamu bisa untuk masuk kesana dan mungkin ibu bisa coba bantu kamu” nasihat bu Arini sangat menenangkan.
“Apakah begitu bu? Baik bu, insyaallah saya akan mencoba untuk daftar. Terimakasih banyak bu” jawab Lini dengan penuh harapan.
Singkat cerita Lini yang juga menyambi bekerja sambil menunggu hasil pengumuman daftarnya kuliah. Hari-hari berjalan dengan baik menuntun Lini menambah pengalamannya.
Di pagi hari tepatnya saat akan berangkat ke tempat kerja dengan tergesa karena jam sudah memperlihatkan pukul 9 pagi, sedangkan yang seharusnya sudah berangkat dari 20 menit sebelumnya.
“Nak sarapan dulu! ibuk suapin ya?” sapa bu Yuni dengan suara lembutnya. Bu Yuni ialah seorang ibu yang sangat beda dari ibu-ibu lain yang Lini kenal. Beliau sangat penyabar, tidak pernah sama sekali menggertak anaknya. Tapi “ndak bisa buk aku sudah terlambat” jawab Lini sambil menyalakan motor.
Lini pun turun sebentar untuk pamitan, berlari menuju ke dapur “Buk aku berangkat dulu ya”.
“Iya nak hati-hati tidak usah tergesa-gesa. Itu jangan lupa bekalnya dibawa ya!” jawab bu Yuni sambil menunjuk ke arah meja makan.
“Wah, pasti uenak pol nih, terimakasih ibuk” ucap Lina sambil mengecup pipi ibunya dengan penuh kegirangan. Seperti itulah bahagianya seorang anak yang selalu cocok dengan masakan ibunya. Tak lama setelah itu, Lini segera kembali menaiki motornya dan berangkat menuju kedai kopi tempatnya bekerja.
Sampailah Lini di depan pintu kedai “Din,bos ada nggak? bos ada nggak?” tanya Lini dengan nada terengah-engah.
“Nggak ada lin. Ini tadi katanya bos lagi ada di kedai yang di Karangrejo. Eh tapi kenapa kamu tumben hari ini siang banget datangnya?”.
“Alhamdulillah, iya hari ini aku bangun kesiangan, tadi malam nggak bias tidur” jawab Lini dengan menghela nafas lega.
“Ya sudah tolong antar ini ke meja nomor 8 ya!”. Lini langsung mengambil nampan untuk mengantar pesanan itu. “Huft akhirnya... nggak jadi kena marah besar” gerutu Lini.
Waktu terus berjalan sampai tak terasa sudah larut malam “Lin? Sudah jam 9 lebih tuh kamu nggak siap-siap pulang?” tanya Dino.
Lini yang tadinya asik membereskan meja pun seketika langsung mengambil tasnya “oh iya sampai lupa aku. Ayo pulangg!”.
Mereka berdua pun menutup kedai dan bergegas untuk pulang karena waktu yang sudah cukup larut malam dan jalanan-pun juga sudah sangat sepi, Dino yang tidak tega membiarkan Lini pulang sendirian mempunyai inisatif untuk mengantarnya pulang dengan mengawalnya dari belakang sampai pada titik lokasi yang dirasanya aman.
“Terimakasih Dino. Untung ada kamu kalau tidak pasti aku bawa motornya ngebut”.
“Iya, lain kali kalau butuh bantuan atau nggak berani pulang sendirian bilang ya!” tawar Dino.
“Ehehe iya Dino. Kamu hati-hati ya!”
Sesampainya di rumah, Lini mengucap salam “Assalamualaikum”.
“Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarakatuh” saut orang rumah (bapak, ibu, dan adik-adik Lini). Lini langsung masuk kamar untuk beberes dan mandi. Meskipun hari-harinya melelahkan tapi Lini selalu terlihat ceria karena dia menjalaninya dengan senang hati.
Selesai dia beberes dan mandi, dia lanjut shalat isya' sampai selesai shalatnya terdengar notifikasi dari handphonenya “kluntingg…” Lini langsung mengambil handphonenya dan melihat notifikasi, ternyata notifikasi berasal dari pengumuman yang selama ini dia tunggu-tunggu. Lini kaget campur aduk yang dia rasa tidak tahu mau berkata apa.
“Selamat anda DITERIMA di program studi.....” itulah teks yang ada di layar handphonenya. Lini seketika itu langsung sujud syukur, dia bahagia sekali sampai tak terasa air mata mengalir di pipinya. Kemudian Lini langsung melepas mukenanya dan bergegas untuk menyampaikan rasa bahagia ini ke ibunya “buk? ibuk dimana?”.
“Disini, di kamar musholla nak” jawab bu Yuni yang juga masih mengenakan mukenanya selesai shalat dan membaca Al-Qur'an. Lini yang langsung memeluk bu Yuni dari belakang dan masih sesenggukan karena sebahagia itu.
“Eh lhoh kenapa ini? kenapa nak? ada apa? kog sampai sesenggukan gitu? jelaskan ke ibu pelan-pelan saja” tanya bu Yuni membalikkan badannya dan kembali memeluk Lini.
“Alhamdulillah buk. Aku keterima di Universitas yang aku mau” jelas Lini terpatah-patah.“Masyaallah, Alhamdulillah. Apakah itu benar nak?”.
“Iya buk lihat ini” Lini menunjukkan handphonenya. Bu Yuni pun langsung menutup Al-Qur'annya untuk melakukan sujud syukur dan kembali memeluk Lini lagi.
“Masyaallah nak selamat ya, semoga ini yang terbaik untukmu. Ibuk selalu mendoakanmu karena ibuk tau kamu pasti bisa buat ibuk dan bapak kamu bangga” tutur bu Yuni yang juga ikut menangis bahagia.
Begitu suasana sudah mulai reda, Lini langsung melakukan verifikasi data untuk melanjutkan pendaftarannya. Sampai di satu tahap dimana Lini ternyata harus membayar puluhan juta terlebih dahulu untuk biaya pendaftaran.
Sebelumnya Lini tidak tahu kalau biaya sebesar itu karena bu Arini dulu pernah bilang kepadanya tidak terlalu mahal untuk itu. Mungkin ini program studi yang Lini inginkan memang harus membayar sebesar itu dan dia juga tidak tahu sebelumnya dengan rasa gelisah “bagaimana ini kog sebesar ini aku harus bilang apa ke ibuk dan bapak?”.
Karena untuk pembayaran tersebut hanya diberi jangka waktu 1 bulan, Lini setiap malam memikirkan bagaimana mengatasinya. Meskipun, Lini bekerja keras semua pekerjaan dilakukannya pagi sampai malam, tapi tetap saja uang dan tabungannya tidak cukup untuk membayar pendaftaran itu.
Sampai-sampai Lini berpikir untuk tidak mengambil kesempatan tersebut dan berniat mengundurkan diri tidak melanjutkan pendaftarannya. Karena dia tidak mau menceritakan masalah ini ke orangtuanya, dia takut kalau setelah dia bercerita akan memberatkan juga pikiran orangtuanya.
Malam hari tepatnya 2 hari sebelum besoknya penutup verifikasi data pendaftaran, Lini memberanikan diri untuk berbicara ke orangtuanya, karena Lini sangat bimbang akan keputusannya.
Saat semua berkumpul di ruang keluarga, “Pak, buk, sebenarnya Lini mau ngomong sesuatu” ucap Lini dengan mata berkaca-kaca, suasana di ruangan pun berubah hening.
“Ada apa nak?” tanya bu Yuni.
“Emm... Lini ingin mengundurkan tidak melanjutkan pendaftaran di Universitas yang dulu aku ceritakan buk” ucap Lini.
“Lhoh nak kenapa? Besok lusakan terakhir verifikasinya” saut bapak Lini.
“Nak? Kenapa? Ada apa yang sebenarnya terjadi dulu ibuk tau kamu sangat menginginkan dan semangat masuk di Universitas ini dari dulu” tanya bu Yuni menatap Lini.
“Iya pak, buk, sebenarnya untuk masuk di Universitas tersebut Lini harus membayar Rp 12.000.000,00. Tabungan Lini juga jauh belum cukup untuk membayarnya” jelas Lini. “Nak kenapa tidak bilang dari awal?” tanya bapak Lini.
“Lini takut pak, selama ini bapak dan ibu sudah banyak menanggung biaya sekolah Lini cukup banyak, kalau semisal Lini melanjutkan kuliah, nanti semester berikutnya malah semakin besar biayanya” jawab Lini dengan menundukkan kepalanya.
Melihat air mata Lini yang terus membasahi pipi, Bu Yuni mengusapnya dan berkata “Nak sudah berkali-kali ibuk bilang semua rezeki itu Allah yang mengatur dan setiap apapun masalahnya pasti ada jalan keluarnya, jangan berfikir seperti itu nak! Jika kamu punya tekat juga Istiqomah menjalaninya kamu pasti akan mendapatkannya”.
“Bapak ada sedikit tabungan yang mungkin cukup nak untuk kamu bisa membayar pendaftaran itu” saut bapak sambil menepuk bahu Lini untuk menenangkannya.
“Tapi pak...” sangkal Lini langsung dihentikan bapak, “sudah! besok kamu pergi ke bank dan ambil uangnya. Tidak usah kamu memikirkan semua biayanya. Selama bapak masih bisa membiayaimu dan adik-adikmu”. Lini yang merasa tenang dan langsung memeluk orangtuanya, pertama kalinya setelah bertahun-tahun tidak merasakan kehangatan seperti ini.
Lini juga memutuskan untuk keluar dari pekerjaan meskipun terasa berat tapi Lini ingin fokus untuk melanjutkan sekolahnya.
Tak terasa hari berlalu dengan cepat, Lini yang sudah menjadi mahasiswa di Universitas yang dia inginkan sejak dulu. Dan benar saja, terkaan pesan yang disampaikan bu Yuni dan bu Arini kepada Lini terwujud sekarang. Lini mendapatkan beasiswa berkat kesungguhannya untuk terus belajar, dan mempertahankan nilainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H