Tiba – tiba airmata ibu mengingatkanku pada Rain. Pada semua kejailannya juga cita – citanya. Akhirnya, aku ingat semua yang telah terjadi. Tanpa mampu ku tahan, airmataku akhirnya tumpah juga setelah sekian lama. Aku merindukannya…. Aku pun merindukan ibu.
“ Tidak apa – apa nak, menangislah jika itu mampu melepaskan semua dukamu. Itu lebih baik daripada ibu harus melihatmu membisu sekian lama, sejak kematian Rain,” ujar Ibu.
Ku luapkan semua rasa sedih, sakit, kecewa juga rasa bersalahku. Hanya karena kemarahan dan kekeliruanku yang mengira Rain tidak ingin bersamaku lagi, aku harus kehilangan dia. Padahal tanpa sepengetahuanku, ia juga mendaftarkanku dalam seleksi beasiswa di universitas negeri di Jakarta dan kami berdua sama – sama lolos tanpa harus menjalani ujian seleksi. Namun ketika ia ingin memberiku kejutan, justru aku bersikeras untuk kuliah di Surabaya. Hal ini ku ketahui dari Farhan.
“ Aku ingin kuliah dan mewujudkan cita - cita Rain, bu,” ujarku akhirnya. Sebenarnya sejak dulu aku tak pernah tahu ingin jadi apa, sedangkan Rain, dia selalu punya banyak mimpi. Dia ingin menjadi seorang Dokter juga menjadi penulis.
Ketika tak mampu lagi ku dengar suaramu
Ketika tak dapat lagi ku lihat senyummu
Aku takkan pernah membencimu
Sekalipun kau telah pergi meninggalkanku
Justru aku ingin wujudkan mimpimu
Karena ku ingin bahagiamu
Itulah janjiku….duhai belahan jiwaku…