Mohon tunggu...
eny mastuti
eny mastuti Mohon Tunggu... -

Ibu dua orang remaja. Suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Harus (Bisa) Kuliah Jangan Jadi Kordis, Kormod, dan Korik

15 Juli 2017   17:49 Diperbarui: 15 Juli 2017   20:12 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

www.jenius.com

Selepas SMA, saya ingin melanjutkan ke perguruan  tinggi negeri / PTN.  Atau jika gagal,  ke PTS pun, tidak apa-apa.  Asalkan bisa belajar ke kota besar, merantau,  seperti teman-teman.

Tetapi,  harapan itu menempatkan saya bagai "pungguk merindukan bulan".  Kemampuan dan kemauan orang tua berseberangan. Dengan alasan hemat  biaya, mereka ingin saya kuliah di kota kami, seperti kakak-kakak. 

Saya  menolak.  Saya tidak  merantau, tetapi juga tidak kuliah. Saya pilih  bekerja dengan ijasah SMA. Rencana jangka panjang, menabung untuk bekal  kuliah nantinya.

Bekerja di media, bertemu banyak praktisi dan  bahkan pemilik media, berkeliling di hampir semua propinsi di pulau  Jawa, membuat saya merasa kerdil, secara ilmu. Betul bahwa pengalaman  mengajarkan banyak hal tentang bidang tugas. Tetapi tetap ada yang  kurang, karena belum menguasai ilmu (jurnalistik) secara formal. Lebih  dari itu, meskipun tidak selamanya benar, menurut saya pendidikan  (tinggi) mampu merubah banyak hal. Seperti pola pikir, cara pandang,  pemecahan masalah dan sebagainya.

Empat tahun bertahan,  rasa minder membuncah.  Akhirnya saya putuskan resign dan kuliah di  ibukota propinsi. Memilih Fakultas Ilmu Komunikasi. Berbaur dengan mahasiswa baru, para lulusan SMA.

Belum  rampung kuliah, pinangan pria yang mengajak menikah, saya terima.  Karena pertimbangan usia dan lain-lain. Bagi saya ini bukan sikap  ceroboh, kurang perhitungan dan hal negatif lain. Saya lebih suka  memegang prinsip : jodoh, rejeki, maut, ada di tangan Tuhan. Maka ketika  hal itu datang, tak akan kuasa kita menolaknya.

Saya hamil di  tahun yang sama dengan pernikahan. Padahal sebelum menikah, kami serius  konsultasi program menunda kehamilan. Sekali lagi, rejeki -dalam hal ini  anak-, tak ingin saya tolak.

Saya tetap kuliah, nge-kos  sendiri, sementara suami bekerja di kampung halaman. Kuliah berjalan  hingga kehamilan hampir 9 bulan. Akhirnya saya mengajukan cuti kuliah,  pulang kampung, melahirkan dan mengurus baby, hingga layak untuk  ditinggal dan dititipkan ke Eyang Putri.

Ketika bersiap untuk  kembali meneruskan kuliah, tiba-tiba hamil lagi. Dengan kondisi alat  kontrasepsi ( IUD ) masih terpasang.  Di titik itu, di tengah semangat  kuliah yang masih membara, diantara tanggung jawab mengurus bayi dan  tiba-tiba akan memiliki bayi lagi, padahal sudah berusaha untuk  menunda  hamil, saya ambil keputusan : stop mengejar impian pribadi  kuliah di  kota besar. Lebih baik fokus membesarkan dua batita sekaligus, berkumpul dengan  keluarga dan kelak mencari kerja. Saya tetap merasa mulia, jika mampu  menjadi ibu yang baik, menyiapkan generasi yang sehat,mandiri dan bisa  diandalkan.

Kini Saatnya Kuliahkan Anak-Anak

Sembilan  belas tahun berlalu, anak pertama lulus SMK. Jaman sekarang, lulusan  SMK tidak selalu berorientasi kerja. Banyak yang ingin melanjutkan  kuliah. Termasuk anak saya.

Hanya masalahnya, siswa SMK memang  diproyeksikan menjadi ahli madya di bidangnya, belajar teknis pekerjaan, bukan belajar materi tes  masuk perguruan tinggi. Sahingga pada saat tes, lulusan SMK kalah  bersaing dengan jebolan SMA.

Jika ingin kuliah, peluang lebih  banyak terbuka di jalur pendidikan. Maka akhirnya banyak yang (terpaksa)  memilih kuliah di PTS. Dan..... umumnya, biaya kuliah di PTS lebih  mahal dibanding PTN.

Maka inilah yang  kini menjadi prioritas saya  dan suami. Membiayai kuliah anak, di sebuah PTS di kota besar. Biaya  kuliah, biaya kos, biaya bulanan harus tersedia.

Anak kedua, juga  sedang persiapan masuk perguruan tinggi. Maka, biaya pendidikan menjadi  dua kali lipat. Tetapi selama anak-anak  memiliki semangat belajar, saya  mendukungnya. Sekali lagi, inilah prioritas kami saat ini.

Saya tidak ingin anak-anak mengalami hal yang sama dengan saya, yang harus mengubur mimpi kuliah selepas SMA.

Pengelolaan Keuangan

Sama-sama  bekerja di perusahaan swasta, tentu saja andalan saya dan sumai adalah  gaji bulanan. Dan sejak membiayai kuliah, beban ekonomi terasa semakin  berat. Masa prihatin sedang berlangsung. Sering tersenyum kecut,  mendengar istilah gaji 10 koma, 15 koma dan sebagainya. Karena, ungkapan  itu gue banget, gitu loh..

Saya memutuskan untuk melakukan :

a. Pemahaman tentang kemampuan keuangan.

Menjelaskan  kepada anak-anak tentang kondisi keuangan. Perbandingan antara  pendapatan dan  kebutuhan yang harus dipenuhi. Tentu saja bukan angka  atau struk gaji yang kami perlihatkan. Hanya prosentase nya saja.

Agar  mereka memahami sikap ayah ibu nya, ketika merespon permintaan mereka.  Seperti ketika kami menerima dengan syarat,  memberikan alternatif  pilihan, menunda atau bahkan menolak.

Kami biasakan membahas apa yang dibutuhkan dan inginkan, dalam studi dan kehidupan sosial / pertemanan mereka.

Diskusi menjadi adem dan solutif ketika saya biasakan terbuka tentang kemampuan keuangan kami.

b. Penghematan

  1. Berhemat  menggunakan listrik, air dan Bahan Bakar Minyak /BBM

Berhemat tidak perlu teori njlimet. Karena dapat dilakukan dalam kegiatan harian yang  terkesan sepele. Yang diperlukan adalah pembiasaan, yang terwujud karena kesadaran dan disiplin dalam pelaksanaan.

Seperti pada himbuan hemat energi yang disebarkan melalui berbagai media:

- Tidak membiarkan kran mengalir/ air terbuang selama menyikat gigi. 

-  Mematikan peralatan listrik usai pemakaian. Dengan cara mencabut  colokan, sehingga aliran listrik benar-benar terputus. Ternyata, seperti      pernah saya baca, mematikan barang elektronika berenergi listrik,  hanya dengan menekan tombol off pada power /posisi standby, tetap             mengalirkan daya listik.

-  Menanak nasi pada pagi hari, untuk keperluan sarapan, sampai  makan malam. Sehingga pada malam hari, alat penanak nasi, off.       

- Penggunaan bahan bakar gas dan BBM seperlunya saja.

Kegiatan ini mudah dan murah, namun memberikan hasil yang cukup signifikan dalam berhemat  tagihan listrik, air dan pembelian gas.

Apalagi ada program pencabutan subsidi listrik saat ini, berhemat wajib hukumnya.

       2.Mengatur belanja makanan harian

Pos belanja makanan menyedot porsi cukup besar. Apalagi jika keseringan makan di luar. Wah.. bisa tekor.

Pertama, saya ajak keluarga untuk memahami bahwa yang utama dari makanan adalah sehatnya, baru kemudian cita rasanya.

Jika  dibalik, yang penting enaknya, baru kemudian sehatnya.., maka bisa-bisa  tiap hari minta makan di resto karena enak, meskipun belum tentu sehat  dan halal.

Maka,  saya memasak sendiri menu harian. Meskipun harus  membagi waktu dan tenaga, tetapi banyak manfaatnya. Seperti : hemat  anggaran, makanan lebih sehat dan bersih, mengasah kreatifitas memasak,  dan sekaligus olahraga. Hmm ... iya, sibuk wira-wiri membuat body tetap terjaga , tidak melar.

        3. Hindari menjadi kordis, kormod dan korik

Terus terang saya pernah menjadi  kordis - korban diskon, kormod - korban mode, dan korik- korban iklan.

Tiga hal yang dulu menjadi perontok iman dalam menjaga keamanan dompet.

Menjadi KORDIS

Begitu  tahu ada diskon barang tertentu, saya akan menjadi korban yang tak  berdaya. Langsung gelap mata dan memburunya sampai kena. Alasan hanya  satu : mumpung lagi murah. Saya abaikan pertimbangan tentang kebutuhan  atau keinginan, penting tidak penting, mendesak atau bisa ditunda dan  seterusnya. Pokonya beli, titik.  Biasanya,  ini menyangkut  barang-barang untuk kebersihan rumah tangga yang sifatnya  tahan lama.

Sekarang sih, sudah insaf. Hanya membeli barang ketika diperlukan.

MenjadiKORMOD.

Menjadi  korban mode, membuat saya selalu ingin tampil kekinian. Baju, tas,  sepatu dan aksesoris lainnya harus sesuai perkembangan. Jika ada  undangan pernikahan dan sebagainya. Saya hunting  ke berbagai toko, mencari kelengkapan untuk hadir di acara tersebut dengan tampilan prima.

Kini...,   tiap kali mendapat undangan, yang saya lakukan adalah bongkar-bongkar lemari baju. Padu  padankan koleksi yang ada. Atau pakai baju lama. Pokoknya sebisa mungkin  tidak membeli.

Ketika saya terapkan, ternyata dengan baju lama pun, no problemo. Saya tetap merasa cantik, cie...

Parameter cantik, bagi saya saat ini sudah bergeser (hmm.., meskipun telat lat).  Cantik bukan melulu pada apa yang kita kenakan. Saya merasa cantik  dengan memelihara rasa syukur kepada Alloh SWT. dan sikap baik kepada  sesama.

Menjadi KORIK

Iklan adalah salah  satu perontok iman yang dahsyat juga. Bahasa dan tayangan persuasif nya,  sering mengaburkan makna, antara kebutuhan dan keinginan. Gara - gara  iklan, barang atau kegiatan tak penting pun, seolah harus dipenuhi dan  harus terlaksana secepatnya.

Sekarang.... dengan menggenggam teguh  prioritas kuliahkan anak-anak, maka saya melihat iklan secara sambil  lalu saja. Hanya untuk sekedar mengetahui trend, bukan untuk terbawa arus.

c. Perluasan Pendapatan 

Selain berhemat, kami juga berusaha meningkatkan dan meluaskan sumber penghasilan dengan memaksimalkan segala kemampuan.

Di luar jam kerja kantor, saya menekuni beberapa usaha sampingan. Seperti : 

PPOB -Payment Point Online Bank di rumah, melayani pembayaran listrik telpon dan tagihan jasa lainnya.

Menjadi koordinator arisan barang-barang elektronik, mebeler dan perlengkapan rumah tangga.

Menerima pekerjaan /freelance, sebagai tenaga kasir dan pembukuan lembaga kantor.

Pokoknya,  tawaran kerja  yang dapat saya selesaikan di luar jam kantor, saya  ambil. Saya juga melibatkan anak-anak. Karena mereka sudah cukup umur,  pantas untuk latihan, cari pengalaman dan tahu seluk beluk usaha.

Jika  ada waktu, mereka ikut melayani konsumen, setor/tranfer uang ke bank,   antar pesanan pelanggan dan sebagainya. Bisnis sampingan ini, kami kami  jadikan usaha bersama. Jerih payah kami untuk mencukupi kebutuhan  keluarga.

Selain kegiatan profit oriented, saya juga  rutin terlibat dalam kegiatan sosial. Aktifitas ini menjadi semacam  ruang rehat bagi saya, istirahat dari hiruk pikuk kesibukan mencari uang

Ponorogo, Juli 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun