Namanya tim nasional Indonesia, tetapi setengah anggota tim sepak bola diimpor. Programnya bernama naturalisasi. Rata-rata pemain, memang ada darah Indonesia. Kebijakan yang didukung penggemar bola, tetapi juga dikritik.
Mereka yang mengkritik bilang kebijakan ini mengabaikan bibit lokal, terutama yang bermain di liga 1. Puncak karir para pemain bola itu menjadi punggawa tim nasional, kalau semua diambil dari luar, para pemain dometik ini mau dikemanakan. Kira-kira begitu argumen para pengkritik. Kebijakan naturalisasi juga dianggap cara gampang, potong kompas dan mengabaikan sistem pembinaan sepak bola berjenjang.
Ceritera lain, suatu saat di teve presiden SBY pidato melepaskan ekspor perdana mobil nasional ke Amerika Latin. Yang disorot kamera adalah mobil merek suzuki APV. Ekspor nasional Indonesia tetapi merek nasional lain yakni saudara tua, Jepang. Pertanyaannya di tengah arus globalisasi ini, mana yang nasional, mana yang internasional, mana yang nasional, mana yang lokal, mana yang global?
Nasionalisme dan Nasionalisme Indonesia
Nasionalisme itu sebuah gagasan bahwa manusia itu baru aman hidupnya  kalau menjadi anggota sebuah komunitas bangsa. Karena itu, kesetiaan, pengabdian, pengorbanan pertama-tama ditujukan pada bangsanya. Bangsa itu kesatuan budaya, ikatan emosional antara orang-orang. Ikatan itu bisa didasarkan pada kesamaan etnis, agama, kesamaan leluhur, kesamaan sejarah atau kesamaan nasib sepenanggungan. Salah satu pengalaman senasib itu adalah pernah menjadi korban penjajahan.
 Kapan nasionalisme muncul? Ada yang mengatakan sejak zaman purba, 'in time in memmorial', di suatu titik waktu yang tak lagi diingat. Karena mayoritas manusia itu awalnya adalah bagian dari suku tertentu, yang sudah muncul entah kapan dalam sejarah. Negara modern hanya buah dari benih kumpulan-kumpulan kesukuan yang diikat oleh kesamaan bahasa, agama, budaya atau sejarah migrasi.
Ada juga yang bilang bahwa nasionalisme itu fenomena modern. Ikatan kebangsaan berkembang, karena kelahiran kembaran hukumnya yakni negara modern. Elit yang butuh menjaga integrasi wilayah dan politik negara, memakai nasionalisme sebagai alatnya. Kita satu bangsa, satu nenek moyang karena itu kita harus berada dalam satu negara.
Negara modern butuh mobilisasi sumber daya, pembangunan ekonomi, kekuatan militer, kesamaan tujuan. Semua itu  perlu persatuan. Tuan tanah kaya, raja-raja, kepala suku, penguasa lokal, kelas menengah, pemilik cuan, kaum proletar harus ditundukkan. Penggunaan kekerasan ada batasnya. Negara moderen butuh ide yang mengikat semua elit, menyatukan elit dan masa. Nasionalisme, ide bahwa kita satu bangsa, satu nasib, satu tujuan, adalah cara lembut untuk mengikat semua kekuatan ke dalam satu negara. Karena itu, John Breuily (1993) bilang bahwa 'nasionalisme itu soal politik, politik itu soal kekuasaan. Dalam zaman modern, politik itu berkaitan dengan kontrol oleh dan atas negara.
Karena itu, sementara ikatan kebangsaan itu bersifat kultural, emosional dan berbasis pada solidaritas kolektif, nasionalisme sebenarnya juga fungsional dan instrumental. Dalam pengertian bahwa nasionalisme digunakan untuk elit untuk mengembangkan kesadaran kolektif demi tujuan-tujuan kolektif dan tujuan kekuasaan. Nasionalisme adalah semacam gelas kosong yang dapat diisi dengan minuman berbeda di waktu berbeda. Minuman itu adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh elit yang berkuasa, tetapi bertindak atas nama bangsa. Pada masa perang, gelas bernama nasionalisme diisi 'minuman' bernama musuh. Dalam persaingan ekonomi, gelas itu  diisi dengan anti ekonomi asing. Saat menghadapi pemberontakan internal, gelas nasionalisme dipenuhi dengan oleh integrasi nasional. Pada saat meminta tanah rakyat untuk waduk atau jalan, gelas nasionalisme diisi dengan kepentingan umum dan pembangunan. Bahasa memainkan peran penting dalam definisi dan implementasi gagasan nasionalisme.
Pandangan kedua lebih cocok untuk menjelaskan nasionalisme Indonesia. Sebagai bangsa, Indonesia itu relatif baru, penemuan modern. Â Meski Bapak bangsa, Â Prof.Muhamad Yamin mengatakan bahwa Indonesia sudah ada 1000 tahun. Alasannya berbagai macam tradisi dan budaya Nusantara sering mengkombinasikan warna merah putih, yang kemudian menjadi warna bendera nasional.
Sebagai bangsa, Indonesia itu dibentuk melalui pengumuman, yang bernama Sumpah Pemuda. Itu baru  tahun 1928. Sebelumnya hanya ada orang Jawa, Orang Ambon, Orang Sumatera, Orang Sulawesi atau Orang Timor. Para pemuda milleneal di zamannya memutuskan untuk mendeklarasikan  dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 bahwa kita orang ini 'satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa'. Pengumuman ini yang melahirkan bangsa bernama Indonesia.
Bentuk Hukum dari bangsa Indonesia diberi nama Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir belakangan, melalui sebuah pengumuman juga. Namanya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, oleh dua Bapak pendiri bangsa, Dwitunggal Sukarno-Hatta.
Bagaimana perasaan sebangsa itu ditular? Media cetak, surat kabar, buku berperan sangat penting membentuk pikiran dan perasaan sebagai bangsa. Karena itu, Benedict  Anderson (1991) bilang bangsa itu sebuah  imagined community (komunitas yang dibayangkan). Kesatuan yang dibayangkan sebagai komunio, tinggal dalam batas-batas teritorial tertentu.
 Orang Yogya  tidak pernah bertemu, mendengar, bicara satu dengan orang Aceh, Papua, Ambon atau yang lain,  tetapi  membayangkan sebagai saudara, sebagai kamerad. Kita membayangkan ada batas yang bernama bangsa Indonesia, Sabang sampai Merauke, Miangas sampai Rote. Kenyataannya ada komunitas-komunitas bangsa Indonesia di Sydney, Melbourne, London,  New York, Jeddah, Hongkong dan kota-kota dunia lain. Apa yang membentuk bayangan sebagai bangsa itu, juga menurut Anderson, adalah kapitalisme media cetak. Sekarang ditambah dengan media daring seperti feisbok, instagram, wasap dan lain-lain.
Batas bangsa menyeberangi batas negara. Mereka yang tinggal di luar garis batas Sabang-Merauke, cintanya pada Indonesia sama besar dengan yang tinggal di sini. Karena itu, mereka ribut-ribut karena tak bisa mencoblos di Pemilu 2024 kemarin. Beberapa di antara mereka juga langsung setuju ketika anak-anak turunannya diminta membela tim nasional sepakbola.
Globalisasi dan Nasionalisme (yang lebih) Fungsional
Ribut-ribut soal proyek naturalisasi pemain bola sepak memunculkan pertayaan tentang nasionalisme, tentang apa itu bangsa, tentang siapa bangsa Indonesia. Apakah bangsa Indonesia harus lahir di Indonesia, punya bapak dan mama Indonesia, bisa bahasa Indonesia, bisa lancar nyanyi Indonesia Raya, hapal Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, bersekolah di Indonesia, ikut tradisi-tradisi lokal Indonesia.
Pertanyaan di atas bukan monopoli Indonesia. Bangsa-bangsa lain juga pusing dengan pertanyaan yang sama. Dunia makin menyatu dan saling membutuhkan satu sama lain. Proses menyatunya dunia  disebut sebagai globalisasi.
Orang Kanada bernama Marshall McLuhan (1964) bilang bahwa dunia telah menjadi Global Village (desa dunia). Dalam desa dunia, ini orang-orang desa di Amerika, tahu apa yang dilakukan orang desa Indonesia ketika harga beras naik. Nona-nona di desa di Korea bergosip yang sama dengan nona-nona di desa Indonesia. Sama seperti Nasionalisme, media berperan besar dalam pembentukan desa dunia.
Dua aspek desa dunia yang menantang gagasan kebangsaan adalah migrasi dan kompetisi ekonomi. Di masa lalu, orang berpindah dari desa-desa di Eropa ke Amerika Utara dan Selatan, ke Afrika ke Asia Tenggara dan  Ke Asia Selatan. Perpindahan ini didorong oleh imperialisme dan kolonialisme. Ada perpindahan dari Afrika ke Amerika Utara dan Selatan. Perpindahan ini  secara paksa melalui perdagangan budak. Tipe migran utama adalah penduduk Eropa yang membuka pemukiman di koloni, seperti di Brasil, Mexico, India, Hindia Belanda dan koloni-koloni lain di Afrika.
Saat ini, arus migrasi terjadi dua arah. Dalam Eropa, Dari luar Eropa ke Eropa; Dalam benua Asia, dari Asia ke luar Asia dan sebaliknya; dari luar Amerika ke Amerika dan sebaliknya. Pada tahun 2020, sebanyak 87,6 juta migran internasiona menjadikan Eropa sebagai rumah, 85,6 juta di Asia, 58,7 memilih Amerika Utara (https://geopoliticalfutures.com/globa).
Lima negara teratas  tujuan migrasi global  adalah AS, Jerman, Saudi Arabia, Rusia dan Inggris. Sedangkan India, Mexico, Rusia, China, Suriah dan Bangladesh adalah enam negara teratas dalam daftar 20 negara pengirim migran internasional. Indonesia berada di urutan 14 dalam daftar tersebut.
Tipe imigran sangat beragam mencakup tenaga kerja, pelaku bisnis, profesional, mahasiswa, penyatuan  keluarga dan pengungi. Yang terakhir, suami atau istri yang berpindah ke negara lain lalu menarik anggota keluarga yang lain
Arus migrasi global menimbulkan benturan sosial budaya. Kompetisi pekerjaan dan bisnis membangkitkan sentimen anti migran. Politisi mengeksploitasi isu migrasi untuk menarik dukungan politik. Di Australia, Pauline Hanson menggemakan kebijakan anti-migran Asia. Di Perancis, politisi ultra kanan  Jean-Marie Le Pen juga menyalahkan migran atas angka pengangguran yang tinggi. Di Belanda, Geerts Wilders mengkampanyekan pembatasan migran dari negara-negara muslim.
Meski terjadi penolakan, migran internasional tetap terjadi. Negara-negara tujuan bahkan membuka pintu bagi migran. Meskipun sangat selektif. Dalam sebuah majalah di Australia, pernah muncul sebuah karikatur. Satunya berisi antrian imigran di depan loket imigrasi. Kelompok pertama berperut makmur, membawa koper berisi uang. Di belakang loket ditampilkan Australia yang indah, tempat wisata, ada kangguru, gugusan bongkahan karang yang disebut twelve apostles (dua belas rasul) Â di Great Ocean Road, gedung-gedung yang menggambarkan Australia sebagai tempat bisnis bagus. Kelompok yang satu antrian imigran miskin, ilegal dan pengungsi. Di belakang loket ditampilkan Australia yang penuh kalajengking beracun, ular derik, buaya. Pokoknya tidak menarik. Karikutar ini mewakili sikap selektif negara-negara maju tujuan migrasi internasional.
Mengapa imigran tetap dibutuhkan mereka. Â Sebabnya adalah kompetisi ekonomi global yang makin keras. Migran berpendidikan rendah dibutuhkan untuk pekerjaan 3 D (Dirty, Dangerous dan Difficult) seperti sektor konstruksi, perawatan sanitasi kota. Mana mau orang kulit putih masuk selokan, cerobong asap atau urus sampah. Â
Imigran dengan keahlian khusus dibutuhkan untuk menggerakan ekonomi berbasis teknologi tinggi, teknologi informasi, penerbangan dan otomotif. Â Migran pintar dan peneliti mengisi jabatan akademik di Universitas. Migran berduit membawa modal untuk perluasan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
 Arus migrasi global telah memaksa banyak negara menafsir ulang ikatan kebangsaan. Nasionalisme menjadi lebih fungsional. Orang Australia  tidak perlu lagi kulit putih. 'The Australians'  adalah pemegang paspor, semua yang bekerja dan memberikan kontribusi bagi bangsa Australia. Asal etnis, ras, beda budaya dan warna kulit, tidak terlalu penting. Siapa saja yang punya keahlian, modal, pengetahuan, taat pada hukum, menerima demokrasi liberal, menghormati hak asasi satu sama lain,  mencintai Australia dapat menjadi Warga bangsa Australia.
 Jerman mengubah konsep kebangsaan berbasis Volk (kaum) menjadi lebih plural. Sebelumnya, yang menjadi warga negara Jerman harus memiliki darah atau  keturunan Jerman. Sejak tahun 2000-an, turunan kedua orang Turki yang lahir di Jerman boleh menjadi warga Jerman. Mereka adalah anak-anak dari generasi awal Gast Arbeiter (pekerja tamu) dari Turki, didatangkan berdasarkan kesepakatan Pemerintah Jerman dan Turki di tahun 1970-an. Perubahan politik kewargaan ini didorong oleh  struktur penduduk yang menua dan kebutuhan generasi tenaga kerja baru untuk menghadapi persaingan ekonomi global. Sistem jaminan sosial Jerman butuh pekerja muda lebih banyak. Gaji yang muda dipotong untuk menopang jaminan sosial, termasuk pemeliharaan penduduk usia lanjut. Ketika yang tua lebih banyak, beban anggaran federal makin berat. Karena itu, harus ada lebih banyak pekerja berusia muda dan produktif. Kehadiran angkatan kerja muda juga membantu perusahaan Jerman berkompetisi dengan Perusahaan AS, Jepang, Korea Selatan dan perusahaan negara lain di tengah pasar global yang makin terintergrasi.
Multikulturalisme menjadi kontruksi kebangsaan fungsional untuk mempertahankan integrasi nasional sekaligus menarik lebih banyak migran yang memiliki keahlian dan uang. Kebijakan ini dilakukan dengan memisahkan wilayah pribadi dan publik. Di wilayah pribadi, keluarga dipersilahkan pakai bahasa Ibu, tradisi, agama, pola pendidikan yang dibawa dari negara asal. Di wilayah publik, siapa pun, warga negara atau penduduk tetap, harus menerima kesamaan di depan hukum, demokrasi liberal, hak asasi, kebebasan berpedapat dan kesamaan kesempatan ekonomi berbasis pasar.
Budaya dan tradisi yang dibawa imigran juga dilihat sebagai potensi ekonomi yang besar. Karena itu, negara mendorong preservasi budaya migran, antara lain, menyediakan penerjemah berbagai bahasa di lembaga-lembaga publik seperti departemen imigrasi dan tenaga kerja. Di Australia, tevelisi ABC bahkan memiliki siaran dan filem dalam berbagai bahasa.
Bagaimana Indonesia? Kompetisi global membutuhkan semua sumber daya, manusia, modal, teknologi, pengetahuan. Semua ini bergerak dari satu negara lain. Termasuk tenaga kerja dan pemain sepak bola. Semua ini adalah peluang yang perlu ditangkap untuk kemajuan Indonesia.
Nasionalisme yang lebih fungsional dan pragmatis perlu menjadi cara baru melihat ikatan kebangsaan Indonesia. Solidaritas kaum berbasis klaim kesamaan leluhur dan sejarah diperluas dengan solidaritas berbasis kontribusi dan kerja-kerja bagi Indonesia. Orang Indonesia adalah semua yang memberikan kontribusi bagi pembangunan, kesejahteraan dan kejayaan Indonesia. Yang mencintai Indonesia, membawa teknologi dan pengetahuan, investasi, membayar pajak, membuka lapangan kerja, mengatasi kemiskinan, tidak hanya datang mencuri dan korupsi dari Indonesia, mendidik anak-anak Indonesia, memperjuangkan kepentingan Indonesia di luar negeri, harus diterima sebagai bagian bangsa Indonesia. Kemampuan bahasa Indonesia bisa dipelajari pelan-pelan. Tradisi lain juga bisa diadopsi pelan-pelan. Setelah lama tinggal di kampung Indonesia, imigran yang mengindonesia baru diajak ikut arisan bapak-bapak atau para ibu.
Batasan cukup saja ia  memegang paspor Indonesia, atau penduduk tetap, setiap pada Pancasila dan UUD 1945. Putih, hitam atau kulit berwarna bukan kategori utama. Apalagi Indonesia ini sejatinya adalah bangsa migran yang datang dari berbagai benua ratusan tahun yang lalu.
Dalam pengertian ini, program naturalisasi perlu dipandang lebih positif dengan sebuah catatan. Program ini bersifat jangka pendek sebagai bagian dari domestifikasi kultur sepak bola modern. Sama seperti pengetahuan dan teknologi, demikian juga sepakbola. Awalnya kita belajar teknologi dari barat, lalu proses transfer terjadi, kemudian Indonesia belajar mengembangkan teknologi dalam negeri. Tanpa domestifikasi teknologi tidak akan terjadi pembangunan yang berkelanjutan dan  otonomi nasional.
Naturalisasi para pemain harus menjadi bagian dari industri sepakbola dalam jangka panjang. Pembinaan pemain pemuda, perbaikan tata kelola PSSI dan klub, pengembangan sepakbola moden harus tetap menjadi perhatian. Suatu saat, Indonesia mungkin bisa mengekspor lebih banyak pemain bola keluar. Bukan hanya Marcelino Ferdinand dan  Egy Maulana Fikri.
Proyek naturalisasi bisa diperluas ke profesi lain yang sangat dibutuhkan Indonesia. Turunan Indonesia atau bukan yang memiliki keahlian di bidang kedokteran, teknologi penerbangan dan ruang, teknologi militer, rekayasa nuklir, bioteknologi, kecerdasan buatan, teknologi informasi, teknologi nano, material cerdas, perlu juga diberi kesempatan mengabadi pada nasional Indonesia. Tindakan suharto menarik Habibie pulang dan Prabowo menarik seorang Indonesia ahli otomotif dari AS, perlu ditiru. Sistem karir dan gaji yang lebih baik diperlukan untuk menarik mereka menjadi warga negara Indonesia. Juga untuk mencegah 'brain drain', yakni larinya otak-otak cerdas ke luar negeri.
Penutup
Praktek nasionalisme fungsional yang berhasil membutuhkan syarat keadilan. Migran atau bukan harus diperlakukan adil. Sikap anti imigran di berbagai negara juga berakar dari soal keadilan. Pribumi yang merasa tersingkir dari lapangan kerja, kesempatan bisnis, akses ke pelayanan sosial, melihat imigran sebagai ancaman. Kritik terhadap program Naturalisasi pemain bola sepak nampaknya berhubungan  dengan soal keadilan juga. Sikap mengutamakan pemain turunan, tanpa memberikan kesempatan pada yang domestik, akan menimbulkan kecemburuan dan pertanyaan tentang siapa kita, siapa Indonesia. Juga tentang Indonesia untuk siapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H