Batasan cukup saja ia  memegang paspor Indonesia, atau penduduk tetap, setiap pada Pancasila dan UUD 1945. Putih, hitam atau kulit berwarna bukan kategori utama. Apalagi Indonesia ini sejatinya adalah bangsa migran yang datang dari berbagai benua ratusan tahun yang lalu.
Dalam pengertian ini, program naturalisasi perlu dipandang lebih positif dengan sebuah catatan. Program ini bersifat jangka pendek sebagai bagian dari domestifikasi kultur sepak bola modern. Sama seperti pengetahuan dan teknologi, demikian juga sepakbola. Awalnya kita belajar teknologi dari barat, lalu proses transfer terjadi, kemudian Indonesia belajar mengembangkan teknologi dalam negeri. Tanpa domestifikasi teknologi tidak akan terjadi pembangunan yang berkelanjutan dan  otonomi nasional.
Naturalisasi para pemain harus menjadi bagian dari industri sepakbola dalam jangka panjang. Pembinaan pemain pemuda, perbaikan tata kelola PSSI dan klub, pengembangan sepakbola moden harus tetap menjadi perhatian. Suatu saat, Indonesia mungkin bisa mengekspor lebih banyak pemain bola keluar. Bukan hanya Marcelino Ferdinand dan  Egy Maulana Fikri.
Proyek naturalisasi bisa diperluas ke profesi lain yang sangat dibutuhkan Indonesia. Turunan Indonesia atau bukan yang memiliki keahlian di bidang kedokteran, teknologi penerbangan dan ruang, teknologi militer, rekayasa nuklir, bioteknologi, kecerdasan buatan, teknologi informasi, teknologi nano, material cerdas, perlu juga diberi kesempatan mengabadi pada nasional Indonesia. Tindakan suharto menarik Habibie pulang dan Prabowo menarik seorang Indonesia ahli otomotif dari AS, perlu ditiru. Sistem karir dan gaji yang lebih baik diperlukan untuk menarik mereka menjadi warga negara Indonesia. Juga untuk mencegah 'brain drain', yakni larinya otak-otak cerdas ke luar negeri.
Penutup
Praktek nasionalisme fungsional yang berhasil membutuhkan syarat keadilan. Migran atau bukan harus diperlakukan adil. Sikap anti imigran di berbagai negara juga berakar dari soal keadilan. Pribumi yang merasa tersingkir dari lapangan kerja, kesempatan bisnis, akses ke pelayanan sosial, melihat imigran sebagai ancaman. Kritik terhadap program Naturalisasi pemain bola sepak nampaknya berhubungan  dengan soal keadilan juga. Sikap mengutamakan pemain turunan, tanpa memberikan kesempatan pada yang domestik, akan menimbulkan kecemburuan dan pertanyaan tentang siapa kita, siapa Indonesia. Juga tentang Indonesia untuk siapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H