Pendahuluan
Proses globalisasi ekonomi pasar yang dimotori oleh AS dan Barat memberikan banyak janji. Salah satu janjinya adalah dunia akan main damai dan stabil. Sesudah tahun 1990-an, gelombang liberalisasi terjadi di berbagai negara. Era pasar bebas disambut dengan tangan terbuka.Â
Rivalitas ideologi, ancaman nuklir perang dingin, mengendur. Di mana-mana demokrasi dirayakan bersama pertukaran nilai dan kebudayaan. Solidaritas internasional menjadi nilai baru dan sebuah peradaban global sedang bertumbuh. Bagaimana sekarang?
Jalan Dagang menuju Damai.
Pendukung globalisasi berpendapat bahwa perekonomian global yang liberal adalah syarat perdamian. Ketika ekonomi dunia terbuka, negara-negara akan berdagang satu sama lain.Â
Bersamaan itu, investasi langsung, teknologi, dan uang bergerak antarnegara. Semakin lama, ekonomi negara-negara makin saling bergantung.Â
Negara yang terlibat dalam ekonomi global akan memiliki pasar ekspor lebih luas, investasi lebih banyak, pertumbuhan ekonomi tinggi, lapangan kerja bertambah, kemiskinan turun. Singkatnya negara-negara akan makin makmur dalam pasar global yang makin menyatu.
Ketika hidup warganya makin makmur dan ekonominya makin menyatu dengan negara lain, kecenderungan negara untuk konflik akan menurun. Dengan kata lain, orang kaya dan makmur itu cenderung tidak mau terlibat konflik. Bikin rugi. Apalagi jika hidup orang kaya itu saling bergantung.
Pandangan terutama disokong oleh orang-orang liberal komersial. Ada hubungan positif antara ekspansi kapitalisme global dengan perdamaian dunia.Â
Bisnis itu membuat negara saling membutuhkan dan menguntungkan. Negara yang mau perang dan menarik diri dari bisnis merugikan diri sendiri
Bill Clinton, presiden AS 1993-2001, nampaknya diinspirasi pandangan ini. Setelah dilantik, ia mengadopsi 'the third way'. Jalan ketiga yang menggabungkan platform ekonomi kiri dan kanan.Â
Peran pemerintah yang besar dan boros dikurangi. Ia memperkuat pasar dan perusahaan swasta, seraya tetap memperhatikan kelas menengah, kaum miskin dan kelompok marjinal.
Keluar negeri, Clinton menggunakan kekuatan ekonomi dan militer AS untuk 'membujuk' negara lain membuka pasar.Â
Perundingan persetujuan umum tariff perdagangan (GATT) dirampungkan, sebagai ganti AS memotori pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 1995.
Clinton juga meratifikasi Zona perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA), mendorong Asia Timur menempuh ekonomi terbuka untuk pemulihan krisis 1998, membuka pasar teknologi informasi, memperkuat pasar AS_Cina, mendorong Afrika lebih terbuka dan normalisasi hubungan dengan Vietnam.Â
Rusia dan Eropa Timur yang sebelumnya tertutup, menjalani liberalisasi ekonomi cepat. Awalnya menyakitkan, tetapi kemudian menikmati kemajuan cukup pesat berkat integrasi ekonomi mereka ke pasar global.Â
Hubungan dengan Cina makin stabil dan produktif di periode kedua Clinton (1997-2001). Tahun 1997, Kongres melalui pemilihan suara 259 lawan 173, memperpanjang MFN (Most favoured nation) untuk Cina.Â
Negara-negara yang memperoleh status ini menikmati kemudahan tarif ekspor ke pasar AS. Kunjungan Presiden Jiang Zemin ke AS di tahun yang sama, memperkuat kecenderungan positif pada stabiltas ekonomi dan keamanan global.
Selama era Clinton, ekonomi dunia makin terbuka, makin tergantung satu sama lain. Masyarakat dunia percaya bahwa dunia sedang menuju pada kesatuan global yang makmur berdasarkan ekonomi pasar, demokrasi, penghormatan HAM dan Universalisme budaya.
Bagaimana Konflik?
Realitas dunia berkembang ke arah yang lain. Liberalisasi dan integrasi ekonomi global tidak menghapus konflik. Negara berdagang jalan terus, konflik juga jalan terus.Â
Pertama, integrasi ekonomi memicu konflik dagang, karena hasilnya yang tidak simetris. Paling seru adalah konflik dagang Cina dan AS di bawah era Trump.
Perang dagang Cina-AS dipicu oleh ketidakseimbangan neraca perdagangan kedua negara. Sejak tahun 1990, AS terus mengalami defisit perdagangan dengan Cina.Â
Artinya ekspor AS ke Cina lebih kecil dari impornya. Cina mendapat untung lebih banyak dari perdagangan. Pada tahun 2018, deficit perdagangan AS Cina mencapai $ 419 milliar.
Untuk mengurangi defisit, Trump menerapkan tarif impor dari Cina sebesar $ 250 milliar di tahun yang sama. Cina membalasnya dengan mengenakan tarif $110 milliar, padahal total impor dari AS hanya senilai $ 120 milliar di tahun yang sama.
Kedua, perang senjata seperti kasus Rusia dan Ukraina. Ekonomi Rusia makin terintegrasi dengan Eropa. Eropa adalah pasar energi utama Rusia. AS dan Jerman juga merupakan penyumbang utama investasi asing di Rusia.Â
Interdependensi ekonomi antara Rusia dan Barat seharusnya bisa memoderasi konflik. Perang terbuka tidak sampai meledak.Â
Orang berharap bahwa ketergantungan Rusia pada pasar global akan mencegah invasi ke Ukraina. Yang terjadi Rusia tidak peduli, perang terus berjalan meski diberi sanksi ekonomi yang sangat keras.Â
Dalam kasus Rusia, para penganjur integrasi global lupa bahwa negara memiliki dua tujuan dalam berdagang. Pertama adalah kesejahteraan dan kedua keamanan-kelangsungan hidup. Tujuan kedua jauh lebih penting bagi negara.
Tanpanya, tujuan pertama tidak akan tercapai. Karena itu, ketika keamanan terancam, negara akan mengorbankan apa pun, termausuk hubungan ekonomi.Â
Sebelum konflik Rusia Ukraina, dunia menyaksikan berbagai konflik dengan skala lebih kecil. Di satu pihak, serangan teroris September 11/2001 terhadap WTC, memang harus dikutuk karena membunuh manusia yang tidak bersalah.Â
Di pihak lain, serangan ini dan konflik-konflik lain setelah tahun 2000 dipicu oleh ketidakadilan yang muncul dari proses globalisasi dan integrasi ekonomi.Â
Interdependensi ekonomi dari perdagangan dan investasi lintas negara memicu konflik komunitas. Ekspansi kapital menyebabkan konflik lahan.Â
Kerusakan lingkungan oleh kapitalisme perkebunan dan industri perkayuan juga menimbulkan perang kecil antar rakyat dan negara, antara rakyat dan perusahaan.Â
Ekspansi modal juga memicu perang lain yakni perang atas ruang. Pertumbuhan investasi pariwisata, misalnya, menimbulkan konflik lahan di sepanjang pantai-pantai Labuan Bajo dan Flores.
Penutup
Janji kemakmuran dan perdamaian yang ditawarkan globalisasi ekonomi tidak terpenuhi. Sumbernya terletak dalam logika kapitalisme itu sendiri.Â
Agar hidup dan bertahan, kapitalisme harus beranak pinak dan berakumilasi. Makin banyak 'anak' dalam bentuk investasi, makin untung dan makin bertumbuh.Â
Logika akumulasi tidak bisa berdamai dengan logika distribusi. Kemakmuran yang merata membutuhkan akumulasi lebih kecil atau paling tidak seimbang dengan distribusi.Â
Ekonomi global tidak bisa berekspansi tanpa logika akumulasi yang eksploitatif. Tanpa upaya sadar mendorong pemerataan, globalisasi kapialisme tidak berujung perdamaian, tapi konflik dan perang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H