Mohon tunggu...
nikmatul khoiroh
nikmatul khoiroh Mohon Tunggu... Guru - Kepala SMPN 2 Umbulsari, Kab. Jember

Ni’matul Khoiroh, S.Pd,. M.Pd, lahir di Jember 19 Juli 1981. Mengabdikan diri sebagai Kepala SMPN 2 Umbulsari, Kab. Jember. Nomor kontak yang bisa dihubungi : 085236008002, email: nkhoiroh@gmail.com, FB https://www.facebook.com/ninik.elk99. IG: nkhoiroh. Alamat rumah Jl. Garuda 55 RT 02 RW 01 Karangrejo Gumukmas Jember- Jatim.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Lintrik (Istri untuk Suamiku)

7 Mei 2023   20:03 Diperbarui: 7 Mei 2023   20:08 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LINTRIK (Istri Untuk Suamiku)

PART 1. (Pernikahan Kedua

"Ning, Ning lihat ini." Ririn dengan nafas tersengal-sengal menghampiriku. Aneh, sepagi ini dia sudah datang kerumahku. Tanpa permisi dia langsung nyelonong ke dapur. Dia menghampiriku yang masih santai memotong bawang merah. Kebetulan ini hari minggu, aku lebih santai menyiapkan sarapan. Tidak terburu waktu karena anak-anak juga libur sekolahnya.

"Ada apa? Kok sampai nafasmu seperti orang dikejar hantu. Ayo duduk dulu," dengan santai aku mengajaknya duduk dan memberikan air mineral padanya. Setelah itu aku matikan kompor. Biarlah aku tinggalkan bawang merah yang belum selesai aku kupas untuk menghormati tamu.

"Lihat ini, suamimu menikah lagi," cerita Ririn dengan wajah merah. Dia tampak marah melihat gambar di gawainya.

"Ohya, mana?" tanyaku santai.

"Ini lihat!" Ririn memberikan gawainya padaku. Aku melihat foto di postingan seorang wanita muda beranama Putri Melati. Dalam foto dan video itu tampak Mas War sedang melakukan ijab kabul. Dia mengenakan jas hitam, sementara disebelahnya ada wanita memakai kebaya putih. Ada juga foto mereka bertukar cincin pernikahan.

"Kamu gak marah Mas War menikah lagi?"

Aku menghela nafas panjang, tidak segera menanggapi pertanyaan Ririn. Sudah lama aku mengetahui hubungan Mas War dengan Putri, namun aku selalu menutupi. Seolah rumah tangga kami baik-baik saja. Kami tetap mesra. Aku menyimpannya rapat, tidak ingin anak-anak tahu. Aku juga menjaga perasaan ibuku, perasaan mertuaku. Biarlah sakit itu aku rasakan sendiri, biarlah luka ini aku sembuhkan sendiri. Ternyata Ririn dan Mas War tidak menghargai pengorbananku. Dia memposting acara pernikahnnya di media sosial.

"Kalau kamu jadi aku, gimana Rin?" aku balik bertanya padanya.

"Aku labrak dia, aku jambak rambutnya. Mas War juga aku bawakan parang," Ririn menjawab dengan penuh amarah. Tangannya dikepalkan.

"Apakah masalah selesai?" tanyaku lagi.

"Ya, harus diselesaikan. Kalau aku jadi kamu, aku suruh Mas War memilih antara aku dan dia!"

Beberapa saat ruangan menjadi sepi, Ririn tidak berkata sepatah kata. Pikiranku juga melayang jauh ke belakang. Aku teringat siang itu ketika mas War pulang kampung dari Pulau Garam. Seperti biasa tidak ada yang aneh padanya. Dia selalu mesra pada acara ulang tahun pernikahan kami yang ke 18.

"Dik, maafkan aku belum bisa menjadi suami yang baik, belum bisa membuatmu bahagia. Penghasilanku juga masih pas-pasan," ucap Mas War sambil memelukku dari belakang.

"Gakpapa Mas, disyukuri saja. Walaupun sedikit kalau kita bersyukur pasti berkah," jawabku sambil tersenyum. Aku menyadari Mas War sudah berusaha keras memberikan nafkah kepada kami, bahkan dia sampai rela pergi ke Pulau Garam untuk berjualan soto disana. Gagalnya dia dulu masuk AKABRI sempat membuatnya frustasi. Akhirnya dia membangun usaha mandiri mulai dari nol. Awalnya dia jualan soto keliling, kemudian karena sudah banyak pelanggan maka Mas War memilih mengontrak tempat di depan alun-alun.

Soto Mas War rasanya spesial, sehingga tidak butuh waktu lama banyak pelanggannya. Aku mencoba menawarkan diri untuk ikut kesana, tapi Mas War menolaknya. Alasannya masuk akal juga, eman karirku yang sudah babat alas sejak dulu menjadi tenaga honorer. Beberapa bulan lalu aku baru diangkat menjadi PNS di sebuah lembaga pemerintah dan belum melaksanakan diklat Prajabatan.

Mas War setiap bulan transfer ke rekeningku antara tiga sampai lima juta. Bagiku itu sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan kami setiap hari. Memang kami belum punya rumah, aku tinggal di PMI alias pondok mertua indah. Mas War berjanji, ketika usahanya lancar akan segera membelikan rumah untuk kami.

"Terimakasih Dik, kamu istri yang selalu menenangkan hati," ucapnya sambil mengecup keningku.

"Ohya Dik, aku juga minta maaf, mau meminta izin, meminta keikhlasanmu untuk ..." Mas War menggantung kalimatnya. Dia menghela nafasnya dalam, kemudian berdiri mengambil rokok di atas TV. Tidak berapa lama asap rokok sudah keluar dari mulutnya, berkali-kali dia menghirup asap putih itu dan menghembuskannya perlahan. Ada beban dihatinya yang belum bisa dia ungkapkan.

"Ada apa Mas? Ceritalah mungkin aku bisa membantu," aku mencoba duduk lebih dekat. Tiba-tiba saja dia membuang rokoknya. Mas War bersujud di kakiku. Ya tuhan, apa yang dilakukan Mas War.

"Jangan begini Mas, aku bukan Tuhan. Bangunlah. Seharusnya aku yang bersujud di kakimu sebagai baktiku padamu."

Netra Mas War basah, aku mencoba menghapus air matanya dengan bibirku.

"Dik, maafkan aku. Izinkan aku menikah lagi." Suara Mas War bergetar, jantungku tidak kalah cepat getarannya. Seandainya saja jantung ini bukan ciptaan Tuhan. Pastinya sudah meloncat seketika. Aku sangat kaget dengan ucapan Mas War, aku tidak tahu apa yang ada dalam hatinya. Kenapa dia tiba-tiba ingin menikah lagi. Aku ambil nafas dalam dan panjang, mencoba menenangkan perasaanku. Mencoba merelaksasi hatiku.

"Apa Mas War menghamilinya?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Tidak Dik," jawabnya.

"Apakah Mas War dipaksa menikahinya dengan alasan tertentu, missal hutang budi?"

"Tidak Dik."

"Lalu kenapa Mas?" tanyaku pasrah dengan suara parau . Aku sudah tidak tahan menahan emosiku. Air mataku tumpah, membanjiri pipiku.

"Maafkan aku Dik, aku mencintainya. Aku tidak bisa mengendalikan perasaanku. Rasa ini datang begitu saja." Jawaban Mas War membuat hatiku tercabik-cabik. Mas War rela membagi hatinya untuk wanita lain, bahkan Mas War meminta restuku untuk menikahi wanita itu. Ya Allah, kuatkanlah hambamu ini.

Mas War kembali duduk bersimpuh di hadapanku, memohon aku memberikan izin.

"Aku tidak mau melakukan dosa dengan berzina. Izinkan aku menikahi Putri Melati. Sungguh aku mencintainya. Aku janji akan berlaku adil."

Dadaku naik turun menahan emosi, jantungku memompa lebih cepat dari biasanya. Aku sangat marah mendengar pengakuan jujur suamiku. Aku sangat sakit dia jujur tentang perasaannya bahwa dia sangat mencintai wanita itu. Jika aku tidak memberinya izin, pasti dia juga akan menikah di bawah tangan. Aku tahu wataknya. Dia tidak membutuhkan pendapatku untuk melakukan segala sesuatu. Termasuk menikah lagi, dia tidak butuh restuku. Dia hanya sekedar pamit saja.

Tidak ada alasan yang syar'i dia harus menikah lagi kecuali hanya menghindari perbuatan zina. Tidak ada alasan yang diterima logika mengapa dia harus menikah kedua. Aku wanita normal, aku sudah memberikan keturunan padanya, bahkan aku sudah berupaya menjadi Siti Khadijah baginya. Ternyata semua sia-sia. Mas War jatuh cinta pada Putri Melati.

"Ning, kenapa diam saja? Ayo kalua mau dilabrak, aku akan membantumu!" Suara Ririn membuyarkan lamunanku.

"Tidak Rin. Biarkan saja dulu. Hatiku sakit, tapi aku selalu tidak tega pada Mas War jika melabrak istri keduanya. Entahlah, ada apa dengan hatiku."

"Pasti pelakor itu menggunakan guna-guna. Dia menggunakan lintrik agar Mas War jatuh cinta padanya dan kamu seperti sapi di cocok hidungnya. Lemah!" Ririn tampak penuh emosi.

"Lintrik?" Aku terkejut mendengar kata lintrik dari bibir Ririn. Aku memang pernah mendengarnya, tapi setahuku itu hanya cerita saja tidak ada dalam dunia nyata. Dulu yang kudengar, lintrik itu digunakan oleh kupu-kupu malam agar pelanggannya tetap setia. Apakah Putri Melati adalah salah satu kupu-kupu malam? Kalua dia banyak tamu sebelum menikah dengan Mas War, apa jadinya aku? Aku tidak ingin tertular penyakit kutukan itu.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun