"Apakah masalah selesai?" tanyaku lagi.
"Ya, harus diselesaikan. Kalau aku jadi kamu, aku suruh Mas War memilih antara aku dan dia!"
Beberapa saat ruangan menjadi sepi, Ririn tidak berkata sepatah kata. Pikiranku juga melayang jauh ke belakang. Aku teringat siang itu ketika mas War pulang kampung dari Pulau Garam. Seperti biasa tidak ada yang aneh padanya. Dia selalu mesra pada acara ulang tahun pernikahan kami yang ke 18.
"Dik, maafkan aku belum bisa menjadi suami yang baik, belum bisa membuatmu bahagia. Penghasilanku juga masih pas-pasan," ucap Mas War sambil memelukku dari belakang.
"Gakpapa Mas, disyukuri saja. Walaupun sedikit kalau kita bersyukur pasti berkah," jawabku sambil tersenyum. Aku menyadari Mas War sudah berusaha keras memberikan nafkah kepada kami, bahkan dia sampai rela pergi ke Pulau Garam untuk berjualan soto disana. Gagalnya dia dulu masuk AKABRI sempat membuatnya frustasi. Akhirnya dia membangun usaha mandiri mulai dari nol. Awalnya dia jualan soto keliling, kemudian karena sudah banyak pelanggan maka Mas War memilih mengontrak tempat di depan alun-alun.
Soto Mas War rasanya spesial, sehingga tidak butuh waktu lama banyak pelanggannya. Aku mencoba menawarkan diri untuk ikut kesana, tapi Mas War menolaknya. Alasannya masuk akal juga, eman karirku yang sudah babat alas sejak dulu menjadi tenaga honorer. Beberapa bulan lalu aku baru diangkat menjadi PNS di sebuah lembaga pemerintah dan belum melaksanakan diklat Prajabatan.
Mas War setiap bulan transfer ke rekeningku antara tiga sampai lima juta. Bagiku itu sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan kami setiap hari. Memang kami belum punya rumah, aku tinggal di PMI alias pondok mertua indah. Mas War berjanji, ketika usahanya lancar akan segera membelikan rumah untuk kami.
"Terimakasih Dik, kamu istri yang selalu menenangkan hati," ucapnya sambil mengecup keningku.
"Ohya Dik, aku juga minta maaf, mau meminta izin, meminta keikhlasanmu untuk ..." Mas War menggantung kalimatnya. Dia menghela nafasnya dalam, kemudian berdiri mengambil rokok di atas TV. Tidak berapa lama asap rokok sudah keluar dari mulutnya, berkali-kali dia menghirup asap putih itu dan menghembuskannya perlahan. Ada beban dihatinya yang belum bisa dia ungkapkan.
"Ada apa Mas? Ceritalah mungkin aku bisa membantu," aku mencoba duduk lebih dekat. Tiba-tiba saja dia membuang rokoknya. Mas War bersujud di kakiku. Ya tuhan, apa yang dilakukan Mas War.
"Jangan begini Mas, aku bukan Tuhan. Bangunlah. Seharusnya aku yang bersujud di kakimu sebagai baktiku padamu."