Mohon tunggu...
Niken Anggraini
Niken Anggraini Mohon Tunggu... Wiraswasta - podcast: anchor.fm/saya-niken

Novel : Suweng Mbah Tukah (gratis di Fizzo), Numa Dan Benda Bertuah (gratis di Fizzo), Pangeran Gelatik (gratis di Fizzo), Dita dan Sena: Sang Penakluk (gratis di Fizzo), Berlabuh Di Sisimu (Kwikku), Oh My Beebu (Hinovel, Sago, Bakisah, Ceriaca), Diary Cinta Naelsa:Macaca (Hinovel, Bakisah, Ceriaca)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Itu!

29 Maret 2022   23:48 Diperbarui: 29 Maret 2022   23:56 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Berapa harganya?"

Tanya perempuan paruh baya itu dengan suara terdengar ketus dan jijik memandang nasi bungkus yang kupegang.

"Tiga ribu rupiah,"

"Kok murah? Kalau murah begitu biasanya  pakai micin,"

"Iya. Nggak apa-apa. Saya lagi lapar. Uang saya cukupnya buat beli ini,"

"Kalau saya sih nggak mau beli makanan yang pakai micin,"

Aku menghembuskan nafas panjang untuk mengusir rasa kesal yang mendadak muncul

"Iih, bodoh amat kalau kamu nggak suka. Yang makan kan aku,"pekikku dalam hati.

Kulanjutkan mengunyah makanan tanpa menggubris perkataannya tadi.

"Aah, dia datang!"gerutunya seraya bergegas bangkit dari duduknya. Ia langsung berjalan menuju kamar suaminya di rawat dengan mulut bersungut kesal.

Seperti tadi aku tak menggubrisnya. Kuteruskan makan.

"Waah, sarapan apa nih Dik?"

Tanya seorang pria berumur sekitar 40 tahun itu padaku saat ia melewati tempatku duduk.

"Nasi pecel, Kak,"sahutku pada pria yang menyapaku itu.

Pria itu tersenyum dan mengangguk paham.
Ia pun kemudian pamit untuk menuju kamar ayahnya di rawat.

Aku hendak membuang bungkus nasi pecel ke tempat sampah saat perempuan paruh baya tadi terlihat berjalan terburu-buru membawa tasnya meninggalkan ruang rawat dengan wajah kesal.

Ia tak mengucapkan kata apa pun saat melintas di depanku.
Kupandangi saja tanpa menegurnya.
Malas bercakap-cakap dengannya.

Aku sedang duduk di bangku ruang tunggu sambil meneguk air minum saat
laki-laki berumur 40 tahun tadi muncul dari arah dalam ruang rawat inap pasien.

"Mau kemana Kak?"giliran aku yang bertanya.

"Nebus resep. Ada obat baru dari dokter,"sahutnya seraya menunjukan sehelai kertas yang di pegangnya.

"Perempuan itu malas menebusnya. Kalau udah urusan ginian dia ogah. Dulu waktu bapak saya masih muda, gagah, banyak uang dia setia nungguin. Apa-apa diladenin. Sekarang giliran bapak saya sudah tua dan sakit-sakitan dia males ngurus. Dasar perempuan matre,"katanya dengan raut muka emosi.

Aku meresponnya dengan manggut-manggut saja. Bingung harus berkata apa.

Perempuan paruh baya tadi aku dengar katanya istri siri dari bapak yang sedang dirawat  di sebelah  bapakku.

"Kutinggal dulu ya Dik,"

Kujawab dengan anggukan.

"Nitip bapakku dulu ya? Kalau perawat nanyain bilang obatnya masih ditebus,"

Sekali lagi aku mengangguk. Setelah laki-laki itu pergi, aku segera meraih buku bacaan yang kugeletakan di bangku tempat aku duduk saat aku makan tadi. Aku coba untuk menghabiskan waktu dengan membaca. Ibuku sudah ada di dalam menjaga bapakku. Jadi aku nunggu di luar ruangan saja. Biar ruangan di dalam sana longgar dari keluarga penunggu pasien. Nanti kalau ibuku menyuruh mengerjakan ini itu barulah aku ke sana kemari mengurusnya.

Tiga orang pria berusia sekitar 60 tahunan tampak serius berbicara. Tadi setelah aku membelikan air minum dan mengantarnya ke ibuku, ketiga bapak ini kulihat menengok bapak  yang sakit di sebelah bapakku.

"Nggak tahu diri perempuan itu. Sudah tahu suaminya sakit, dia ada aja alasannya biar nggak nungguin di rumah sakit," 

Pria berkacamata yang berkata seperti itu.

"Iya. Ada aja alasannya. Sejak kakak kita masuk rumah sakit, baru semalam aja dia mau nungguin,"  
Pria berperawakan ceking dengan rambut belah ke arah kanan yang barusan bicara.

"Nggak punya malu. Semua pasien yang dirawat di sini yang ngejagain pasti pasangannya. Lha, kakak kita, yang ngejagain anak, menantu dan adik-adiknya. Punya istri kayak nggak punya istri,"  

Pria berkaos abu-abu yang bersuara.

Aku diam saja. Berpura-pura tak mendengar percakapan mereka. Sesekali melirik dengan ekor mata untuk mengintip siapa yang baru saja berbicara.

"Kayaknya kakak kita ini sedang kena azab gara-gara kelakuannya di masa lalu," 

Si laki-laki ceking yang bersuara.

"Iya. Kayaknya gitu. Ingat kan sewaktu kakak ipar kita sakit menjelang ajalnya, ada di mana kakak kita waktu itu?"
Yang berkacamata yang tadi berbicara.

"Ya sama perempuan tak punya malu tadilah," 

Yang berkaos abu-abu yang berkata-kata.

"Padahal aku sudah bilang ke kakak, tolong jangan pulang ke rumah perempuan itu dulu. Jagainlah kakak ipar. Ini kakak sedang sakaratul maut," imbuhnya lagi.

"Dan kakak kita dengan santai tanpa rasa bersalah cuma bilang, nggak usah. Nggak perlu. Terus langsung pergi begitu saja,"ujar yang ceking.

"Dan nggak sampai satu jam dari kakak kita pergi, kakak ipar kita meninggal,"kata si pria berkacamata.

Aku menghembuskan nafas panjang mendengarnya.  Ada rasa sakit yang mendadak muncul di hati. Entah apa itu.
Percakapan mereka barusan menimbulkan perasaan sedih, perih dan kehilangan di hatiku.

"Kalau kayak gini terus, bisa-bisa kakak kita meninggal seperti kakak ipar kita meninggal dulu. Menghembuskan nafas terakhir tanpa ditemani oleh pasangan. Paling cuma anak-anaknya aja," 

Si kaos abu-abu yang bersuara.

"Anak-anak yang mana dulu yang bakalan nemenin? Anak-anak dari kakak ipar pertama kita nggak akur sama perempuan tadi. Tiap kali anak-anak dari kakak ipar pertama kita muncul, perempuan itu langsung kabur,"
Si ceking yang berbicara.

"Ya mana beranilah dia. Sewaktu kakak kita sehat, dia menyandera kakak kita terus. Sampai anak-anak dari kakak ipar pertama kita kesulitan kalau mau ketemu bapaknya sendiri,"
Si kacamata yang bersuara dengan nada emosi.

"Dari dulu aku selalu kasian sama Beni dan adik-adiknya. Sejak kakak kita kecantol pedagang kantin kantornya itu, Beni sama adik-adiknya sudah kehilangan perhatian bapaknya," Si kaos abu-abu yang berkata-kata dengan nada yang tak kalah emosinya.

"Aku nggak tega waktu ingat Beni kecil minta dibelikan kebutuhan sekolah, waktu itu kakak kita dengan cueknya ngasih uang dan nyuruh si Beni beli sendiri. Giliran anak dari perempuan tak punya malu itu, ke sekolah aja di antar. Pulang sekolah di jemput. Semua perhatian kakak tertumpah ke anak dari perempuan itu," Si Ceking yang kembali bersuara.

Spontan aku kembali menghembuskan nafas panjang mendengar percakapan tiga bapak barusan ini. Perasaan sedih kembali menderaku. Mendadak hatiku merasa terluka. Nggak ngerti kenapa bisa sampai begitu. Tak terbayangkan bagaimana luka di hati si Beni atau adik-adiknya saat itu.

Ingatanku pun melayang pada kejadian tiga hari yang lalu. Usai mengerjakan salat Subuh aku mau ke kamar mandi melewati ranjang bapak itu.
Kulihat lelaki tua dengan tubuh ringkih, mata cekung dan nafas tersengal-sengal itu melambaikan tangan memanggilku.
Sewaktu aku mendekat, susah payah ia berkata meminta tolong supaya aku mengambilkan pispot untuknya.

Aku ambilkan pispot itu seraya bertanya kemana yang menjaganya. Mau aku panggil supaya nanti mengurusnya. Dan kembali dengan susah payah dia bilang tak ada yang menjaganya sejak kemarin malam.
Istrinya tak datang. Meski sudah janji mau datang. Akhirnya dia sendirian sejak kemarin malam.

Setelah menyerahkan pispot aku segera mencari perawat supaya mengurus lelaki tua itu. Aku juga segera menelepon pria 40 tahun tadi. Untungnya aku punya nomornya. Selama menunggu orang tua kami yang sakit, aku sering mengobrol dengan pria itu. Dan ia memberi nomor teleponnya. Laki-laki itu bernama Moesa.

Aku mengabarinya kalau ayahnya tak ada keluarga yang menjaga sejak semalam. Pria itu sempat mengumpat kesal saat kutelepon. Tapi tak sampai satu jam kemudian, pria gondrong yang bekerja sebagai seniman itu muncul di rumah sakit untuk mengurus ayahnya.

"Perempuan tak punya malu itu seperti lupa ingatan aja, dia lupa seperti apa dia sewaktu mengejar kakak kita dulu,"
Si kacamata kembali bersuara. Lamunanku buyar mendengar perkataannya barusan.

"Kemana kakak kita pergi dia selalu nempel terus. Kakak kita main tenis sama temannya aja dia ikut. Dia takut kakak kita kembali ke istri pertama atau nyari perempuan lain lagi kayaknya,"
Si kaos abu-abu berkata yang diikuti dengan anggukan kepala setuju dari si Ceking dan si Kacamata.

"Jelas dia takut kehilangan tambang emasnya," Kata si Kaos abu-abu.

"Tapi itu dulu. Sekarang dia mungkin sudah menganggap kakak kita cuma beban hidupnya aja," Tambahnya lagi.

"Dulu dia sibuk menyandera kakak kita karena kakak kita masih muda, gagah. Dan banyak uang. Sekarang kakak udah sakit-sakitan. Nggak mau dia direpotin laki-laki tua penyakitan. Harta kakak kita juga udah habis. Sekarang aja biaya berobat kakak kebanyakan ditanggung sama anak-anak dari istri pertama," Ujar si Ceking.

"Iya jelas ditanggung anak dari istri pertamalah. Anak dari perempuan itu kan nggak jelas apa pekerjaannya. Yang anak laki-lakinya aja udah sepuluh tahun sarjana kerjanya cuma luntang-lantung terus. Yang perempuan bolak-balik pindah kerjaan melulu. Nggak jelas kerja apaan juga. Mana ada duit. Gitu aja dua anak itu sok sibuk. Nggak mau ngejagain bapaknya kalau pagi. Maunya sore aja. Jam pulang kantor. Kayak kerja bener aja. Wong lagi nganggur banyak tingkah,"kata si  Kacamata.

"Kakak kita malu nggak tuh? Anak yang dia abaikan waktu kecil malah yang saat ini sepenuh hati merawatnya,"kata si kaos abu-abu.

"Harusnya sih malu," tandas si kaos abu-abu.

Aku diam menyimak sambil terus pura-pura membaca buku yang aku bawa. Diam-diam aku terus mendengarkan percakapan mereka. Kisah yang menarik untuk didengarkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun