"Kalau kayak gini terus, bisa-bisa kakak kita meninggal seperti kakak ipar kita meninggal dulu. Menghembuskan nafas terakhir tanpa ditemani oleh pasangan. Paling cuma anak-anaknya aja,"Â
Si kaos abu-abu yang bersuara.
"Anak-anak yang mana dulu yang bakalan nemenin? Anak-anak dari kakak ipar pertama kita nggak akur sama perempuan tadi. Tiap kali anak-anak dari kakak ipar pertama kita muncul, perempuan itu langsung kabur,"
Si ceking yang berbicara.
"Ya mana beranilah dia. Sewaktu kakak kita sehat, dia menyandera kakak kita terus. Sampai anak-anak dari kakak ipar pertama kita kesulitan kalau mau ketemu bapaknya sendiri,"
Si kacamata yang bersuara dengan nada emosi.
"Dari dulu aku selalu kasian sama Beni dan adik-adiknya. Sejak kakak kita kecantol pedagang kantin kantornya itu, Beni sama adik-adiknya sudah kehilangan perhatian bapaknya," Si kaos abu-abu yang berkata-kata dengan nada yang tak kalah emosinya.
"Aku nggak tega waktu ingat Beni kecil minta dibelikan kebutuhan sekolah, waktu itu kakak kita dengan cueknya ngasih uang dan nyuruh si Beni beli sendiri. Giliran anak dari perempuan tak punya malu itu, ke sekolah aja di antar. Pulang sekolah di jemput. Semua perhatian kakak tertumpah ke anak dari perempuan itu," Si Ceking yang kembali bersuara.
Spontan aku kembali menghembuskan nafas panjang mendengar percakapan tiga bapak barusan ini. Perasaan sedih kembali menderaku. Mendadak hatiku merasa terluka. Nggak ngerti kenapa bisa sampai begitu. Tak terbayangkan bagaimana luka di hati si Beni atau adik-adiknya saat itu.
Ingatanku pun melayang pada kejadian tiga hari yang lalu. Usai mengerjakan salat Subuh aku mau ke kamar mandi melewati ranjang bapak itu.
Kulihat lelaki tua dengan tubuh ringkih, mata cekung dan nafas tersengal-sengal itu melambaikan tangan memanggilku.
Sewaktu aku mendekat, susah payah ia berkata meminta tolong supaya aku mengambilkan pispot untuknya.
Aku ambilkan pispot itu seraya bertanya kemana yang menjaganya. Mau aku panggil supaya nanti mengurusnya. Dan kembali dengan susah payah dia bilang tak ada yang menjaganya sejak kemarin malam.
Istrinya tak datang. Meski sudah janji mau datang. Akhirnya dia sendirian sejak kemarin malam.
Setelah menyerahkan pispot aku segera mencari perawat supaya mengurus lelaki tua itu. Aku juga segera menelepon pria 40 tahun tadi. Untungnya aku punya nomornya. Selama menunggu orang tua kami yang sakit, aku sering mengobrol dengan pria itu. Dan ia memberi nomor teleponnya. Laki-laki itu bernama Moesa.
Aku mengabarinya kalau ayahnya tak ada keluarga yang menjaga sejak semalam. Pria itu sempat mengumpat kesal saat kutelepon. Tapi tak sampai satu jam kemudian, pria gondrong yang bekerja sebagai seniman itu muncul di rumah sakit untuk mengurus ayahnya.