"Citayam mah deket, ya. Istri saya juga dari sana asalnya. Sekarang jualan nasi di deket stasiun. Lumayan buat nambah uang belanja." Obrolan antara mereka pun berlanjut.
Hati Ryo sangat senang. Berulang kali ia membayangkan pertemuannya dengan Sandra. Meskipun mereka tidak pernah mengutarakan perasaan, tapi ia yakin Sandra pasti menyukainya juga. Ryo berjanji dalam hati, setelah lulus SMU akan mengatakan apa yang selama ini dirasakannya.
Motor terus melaju melewati gang-gang kecil. Banyak anak kecil berlarian tanpa alas kaki dengan tubuh penuh tanah. Melihat keriangan mereka membuat Ryo pun teringat masa kecilnya dengan Sandra.
"Nomor 27 ya, Dek? Rumah ini kayaknya, deh." Pak Parjo menghentikan motornya dan menunjuk pada sebuah kontrakan kecil yang sedikit tak terawat.
"Oh iya, Pak. Bener. Ya udah, makasih ya, Pak. Ini ongkosnya." Setelah memberi ongkos pada tukang ojek, Ryo segera mengetuk rumah tersebut.
Ketukan pertama tak ada yang menjawab. Ryo pun mengulang dengan menambah tekanan pada ketukannya, berharap si pemilik rumah mendengar.
"Cari siape, Tong?" Seorang ibu muda yang sedang mengandung bertanya seraya menghampiri Ryo.
"Permisi, Bu. Benar ini rumah Pak Rino?" tanya Ryo yang mengetahui nama paman Sandra.
"Oh, orangnye udeh pindah. Lu siapenye?"
"Saya saudara jauhnya. Kira-kira pindah ke mana ya, Bu?"
"Lah, aye juga kagak tau, Tong. Kalo kagak salah, anaknye si Sandra tekdung deh. Eh, maap ye, aye keceplosan dah tuh."