Tokoh bernama lengkap Abu Zaid Abdurrahman Ibnu Muhammad Ibnu Khaldun ini menyatakan bahwa peran pemerintah sangat penting untuk menjaga ketertiban dan menegakkan hukum demi menciptakan kondisi yang kondusif bagi kegiatan perekonomian, serta menjaga keadaan sosial dan politik yang ideal. Negara yang baik adalah yang bisa menjamin hak kepemilikan properti, serta menjaga jalur perdagangan agar masyarakat merasa aman melakukan kegiatan perekonomian. Negara harus menyediakan infrastruktur yang layak, membangun pusat-pusat perdagangan, dan memberikan insentif untuk kegiatan produksi.
Ibnu Khaldun telah berfikir tentang spesialisasi produksi untuk meningkatkan produksi dan mencapai efisiensi maksimum. Dari pengamatannya, campur tangan pemerintah yang terlalu jauh dalam urusan produksi dan perdagangan serta ditambah pajak yang terlalu tinggi akan menyebabkan kontraksi ekonomi. Karena sifat pemerintah yang birokratik dan tidak memahami kegiatan perdagangan serta entrepreneurship, apalagi para aparat yang mulai terjangkit mengejar kemewahan dengan cara apapun termasuk membiayainya dengan cara menaikkan pajak.
Menurut Ibnu Khaldun, pajak (kharaj, dan jizyah) hanya dipungut jika tidak mengganggu produksi dan perdagangan. Karena pajak yang mencekik akan menurunkan produksi, dan pada akhirnya malah akan menurunkan pendapatan pajak. Untuk itu, Ibnu Khaldun menyarankan belanja birokrasi dan militer tidak boros dengan mempertahankan postur aparat birokrasi yang ramping sehingga tidak terlalu membebani perekonomian negara. Hasil pengamatannya menyimpulkan banyak kota-kota menjadi miskin dan ditinggalkan penduduknya karena terjadinya salah urus perekonomian.
Dalam urusan tenaga kerja, tokoh ini telah mengidentifikasi bahwa, “Nilai dari laba dan modal harus memasukkan nilai dari tenaga kerja. Tanpa tenaga kerja, tak bakal ada keuntungan”. Pendapat ini menginspirasi David Hume (1711-1776) yang menuliskan dalam bukunya yang terbit tahun 1752 berjudul Political Discourses, bahwa “Segala yang ada di dunia ini dibeli dengan tenaga kerja” yang ditambahkan kalimat oleh Adam Smith dalam catatan kaki dalam bukunya The Wealth of Nations, “sebanyak kerja keras yang mampu dilakukan oleh tubuh kita”. Karl Marx (1818-1883) lebih lantang lagi menyuarakan masalah ini dalam bukunya Zur Kritik der Politischen Ekonomie bahwa “upah buruh harus sebanding dengan hasil produksinya”. Islam menyeru melalui sabda Nabi yang mulia, “Bayarlah upah buruhmu sebelum keringat mereka kering”.
Sebelum diangkat menjadi Nabi, Muhammad adalah seorang pedagang yang sukses dan memahami bisnis dengan baik. Nabi dengan petunjuk Tuhan adalah seorang fundamentalis pasar. Nabi pernah menolak keinginan umat yang meminta harga-harga di pasar diturunkan karena dianggap terlalu tinggi, sebuah pengaturan harga diluar mekanisme pasar. Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah itu penetap harga, yang menahan, yang melepas, yang memberi rizqi, dan sesungguhnya aku berharap bertemu Allah (nanti) dalam keadaan tak seorangpun dari kalian menuntut aku lantaran (aku) menzalimi jiwa maupun harta”. Jadi seharusnya harga, upah, sewa ataupun suasana persaingan terbentuk melalui mekanisme pasar yang alamiah tanpa campur tangan pemerintah. Demikianlah sekelumit sistem perekonomian islami yang menjunjung keadilan ekonomi dan sejarah penerapannya di Kepulauan Nusantara.
@@@
(“Respon Ethan Zhang He terhadap kebangkrutan ekonomi Nusantara 1998 ditentukan oleh letaknya secara relatif di dalam sejarah. Dalam hidup Ethan melekat atribut-atribut yang tidak bisa ia hilangkan sepenuhnya, seperti suku, bangsa, agama, kesukaan makanan, hubungan kekerabatan, status pernikahan, level pendidikan, pekerjaan dan banyak lagi. Manusia bisa meminimalisir pengaruh-pengaruh itu saat berinteraksi dengan orang dengan berbeda atribut, namun tidak bisa membuangnya 100 persen. Dan atribut-atribut itu melekat diluar kehendak manusia. Respon manusia terhadap berbagai kejadian menggambarkan pilihan posisinya dalam sejarah. Dalam hal ini, Ethan Zhang He memposisikan dirinya sebagai orang Nusantara asli yang berjuang untuk negerinya yang ia cintai”, batin Cankaya).
“Bagus, Ethan. Ekonomi syariah itu memang telah tercatat dalam sejarah, dan memiliki akar yang kuat di Nusantara.”, kata Cankaya sambil mulai membaca tulisan Ethan yang kedua yang berjudu: “Konsep dan Perkembangan Ekonomi Syariah”.
“Aku kira, ekonomi syariah tak hanya tentang bank atau BMT[2], bukan”, tambahnya.
@@@
Maqasid asy-Syariah terdiri dari menjaga pengayaan terhadap agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (maal) manusia tanpa kecuali, sebagai realisasi islam sebagai rahmatan lil alamin. Falah adalah kebaikan dalam aneka bentuknya, seperti memberi bantuan orang miskin, membebaskan budak, atau membantu orang yang terlilit hutang. Kurva maksimalisasi kesejahteraan falah menjadi tujuan ekonomi islam, bukan maksimalisasi profit yang egoistis seperti ekonomi kapitalis. Pencapaian tertingginya adalah membuat karya-karya fenomenal demi kebaikan orang banyak. Tujuan ekonomi syariah adalah benefit melalui sektor riil, bukan derivative dan profit semata Tak mengherankan ajaran islam sangat memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Perkataan Nabi yang terkenal menyampaikan, “Walau esok hari akan kiamat, kalau engkau memiliki sebiji benih maka tanamlah”.