Kebijakan menjual BUMN profitable dengan harga rendah kepada bangsa asing ibarat menyerahkan angsa bertelur emas kepada orang lain. Sebuah tindakan sangat bodoh para pemimpin negeri ini yang bisa diduga hanya akan mengeruk keuntungan untuk biaya politik. Pihak asing sangat berpeluang membonceng isu-isu privatisasi, liberalisasi ekonomi melalui multinational corporation untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Pertarungan wacana mahzab-mahzab ekonomi dengan mengkhianati bangsa sendiri berujung pada obral kekayaan alam kepada asing. Tak aneh muncul berbagai teori konspirasi tentang para kapitalis pembonceng dibelakang lembaga semacam Dana Moneter Internasional (IMF) dan World Bank demi penguasaan ekonomi, seperti pasukan Belanda yang membonceng Inggris dalam perang Surabaya 1945. Di mata Ethan sudah jelas, serangan spekulan forex
World Bank, sebagaimana IMF sebenarnya didirikan untuk sebuah misi suci membantu negara-negara yang hancur setelah Perang Dunia ke-II, serta memerangi kemiskinan untuk menjaga perdamaian dunia. AS sebagai pemegang saham terbesar Bank Dunia dengan 16% hak suara bisa menentukan presidennya, dimana 25 dewan anggota lainnya mewakili 187 pemerintahan anggota. World Bank menggabungkan modal dari negara-negara donor, ditambah penghasilan melalui penjualan obligasi, mendukung proyek pembangunan, seperti membangun dam, jalan, sekolah, dan peternakan. Namun seiring berjalannya waktu, kedua lembaga internasional ini mengalami birokratisasi, politisasi dan korupsi serta sering dijadikan alat negara besar untuk memastikan hegemoni atas dunia ketiga, setidaknya demikian pengakuan seorang economic hit man, John Perkins.
Ethan mulai sadar, menjamurnya perbankan bersistem rente menyimpan kelemahan fundamental saat krisis ekonomi terjadi. Cacat sistem kapitalisme ekonomi ternyata bukan saja menjadi penyakit khas Asia, tetapi juga menyebabkan krisis keuangan global 2008 dan krisis ekonomi Eropa setelahnya. Resep pemulihan ekonomi yang ditawarkan oleh IMF untuk krisis ekonomi Asia dikritik oleh pakar ekonomi semacam Joseph Stiglitz sebagai kesalahan diagnosis dokter yang membuat sakit pasien semakin parah, sebuah malpraktik yang seharusnya diberikan sanksi keras. Bukan IMF penyelamat Nusantara saat krisis ekonomi mendera, justeru kekuatan ekonomi kecil dan menengah. Para pengusaha makanan, ekonomi kreatif, perajin, petani, nelayan dan bisnis turunannya yang telah menyelamatkan konsumsi domestik Nusantara, sekoci penyelamat ditengah ekspor para konglomerat yang turun derastis karena bahan baku impor menjadi amat mahal saat nilai dollar meroket.
Kini, di University of Melbourne, Ethan mendapatkan berbagai teori ekonomi yang semakin memperluas wawasannya. Bahwa candu hutang luar negeri yang menjadi jerat untuk mengeruk kekayaan alam suatu negara. Dollar Amerika yang menguasai 60% mata uang global dan seringkali ditopang dengan berbagai invasi militer untuk mengukuhkannya dianggap sebagai instrumen penjajahan ekonomi baru. Sebabnya adalah nilai nominalnya jauh melebihi nilai instrinsiknya, karena sejak tahun 1934 tidak dijamin lagi dengan cadangan emas. Hal tersebut bertentangan dengan sistem Bretton Woods Treaty 1944 dimana menetapkan satu ounce emas senilai 35 dollar.
Sehingga uang kertas yang dengan mudahnya dicetak ulang itu bisa digunakan untuk membeli minyak bumi, kayu, emas, batu bara, biji besi, timah dan bahan tambang lainnya. Sejak saat itu orang mulai berfikir tentang mata uang dinar dan dirham berbasis emas dan perak serta bank dengan sistem syariah. Inflasi terjadi di negara yang menerapkan mata uang kertas dan sistem riba, tapi negara yang mengunakan uang dinar-dirham akan stabil. Redenominasi menjadi isu mengemuka di Nusantara hari-hari ini, dimana seribu rupiah akan dijadikan satu rupiah untuk memberi kesan kuat pada mata uang Rupiah. Sementara China memiliki strategi dua mata uang, yaitu Yuan untuk keperluan dalam negeri dan Renmimbi untuk keperluan forex dan expor impor.
@@@
Secara tak sengaja Canka bertemu Ethan setelah lama berpisah, di rumah makan Nelayan, di bilangan Swanson Street. Ditengah metropolitan Melbourne, awalnya Canka mengira Ethan adalah orang Tionghoa dari Malaysia atau Singapura. Namun, mendengar logat Jawa Timuran-nya yang medok membuat Canka yakin Ethan adalah teman lamanya yang sudah tujuh tahun tak bersua. Kepada Cankaya, Ethan mengatakan ia sedang menempuh doctoral degree of Syariah Economics di Faculty of Economics and Business di UniMelb[1]”.
“Wah, hebat banget, Ethan. Ngomong-ngomong kita kuliah di kampus yang sama lho, ambil S-2 jurusan e-commerce. Kok, kita nggak pernah ketemu, ya?”, balas Cankaya dengan mata berbinar.
“Tiga tahun lalu aku telah menyelesaikan Master-ku di IIUT Malaysia, jurusan Syariate Economics juga”, tambah Ethan Zhang He.
“Aku punya mimpi, membumikan kembali ekonomi syariah di bumi Nusantara, Canka”, kata Ethan mantap.
“Aku bangga denganmu, Ethan. Ternyata kau sangat tertarik ekonomi syariah, ya. Aku yakin kau bisa menyelesaikannya dengan baik.”, kata Canka yang dibalut dengan senyuman.