Ekonomi syariah menurut Ethan mengusung keadilan ekonomi dan memberi panduan moral yang secara eksplisit diatur dalam islam. Zhang He sangat memahami hukum-hukum ekonomi dan mekanisme pasar yang banyak diulas oleh para ekonom muslim klasik. Para ekonom islam klasik seperti; Abu Fadhl, Abu Yusuf dengan kitab al Khoroj, Al Ghazali, Muhammad Bin Al Hasan As Syaibani dengan kitab Al Kasab, Abu Ubaid dan kitab al Amwaal, Yahya bin Adam ataupun Al Maqrizi telah memberi inspirasi tentang keadilan ekonomi bagi seorang Ethan Zhang He.
“Ini, Canka, aku punya dua buah artikel papuler yang akan kukirim ke media massa di Nusantara. Kalau kau tertarik, silakan baca, kebetulan sudah aku print tadi. Siapa tahu ada masukan dari kritikus hebat seperti dirimu.”, Ethan tersenyum sambil menyerahkan dua buah artikel itu.
Canka menerima kertas yang di klip itu, sambil memasukkan sebutir kue klepon kesukaannya ke dalam mulutnya. Canka tak mau mengecewakan sahabatnya itu, dan segera membacanya dengan seksama lembar-demi lembar tulisan yang berjudul: “Ekonomi Syariah, Nusantara, dan Keadilan Ekonomi”. Ekonomi syariah semakin menarik perhatiannya, seperti manis gula jawa yang meledak di mulutnya dari sebutir klepon yang sedang ia kunyah.
@@@
Nilai emas meningkat selama tiga puluh tahun terakhir sejak 1980 dengan rata-rata peningkatan 23% per tahun. Sebagai logam mulia, emas seperti telah ditetapkan sebagai bahan mata uang dari surga yang mengusung keadilan ekonomi. Emas adalah logam mulia yang stabil dalam jumlah yang ditambang, memenuhi berbagai syarat sebagai material bernilai tinggi. Dengan Dinar, harga seekor kambing yang berkualitas baik adalah sama sejak jaman Rasulullah sampai hari ini. Demikian pula selama lebih 1400 tahun harga seekor ayam bisa dibeli dengan satu keping dirham. Uang emas Dinar adalah salah satu pilar ekonomi islami, disamping prinsip-prinsip keadilan dan penghindaran terhadap praktik riba.
Dinar saat ini adalah koin emas standar 22 karat dengan kemurnian 91,7 persen seberat 4,25 gram, sedangkan Dirham adalah perak murni 95 persen seberat tiga gram. Sekarang juga telah terdapat digital gold currency atau e-Dinar dimana satuan transaksi mata uang emas ini bisa diperkecil sampai empat desimal untuk membuatnya sederhana. Dinar yang nilainya relatif stabil berpotensi menjadi mata uang perdagangan internasional menggantikan Dollar sebagai hard currency. Karena sifatnya sebagai logam mulia, Dinar maupun Dirham menjamin dirinya sendiri sebagai barang berharga, mengembalikan fungsi uang sebagai alat tukar yang menutup celah bagi para spekulan forex trading semacam George Shoros.
Dalam sejarahnya, uang Dinar emas telah digunakan oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara seperti Malaka, Samudera Pasai, Banten, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, Gowa serta Kepulauan Maluku. Kerajaan Samudera Pasai pertama kali mencetak mata uang Dinar pada masa Sultan Muhammad (1297-1326). Dinar pada saat itu digunakan bersama mata uang Keueh yang terbuat dari timah, dimana satu Dinar sebanding dengan 1.600 Keueh. Standar Dinar kerajaan Pasai adalah sebanding dengan 2,6 gram emas (40 grains). Pada masa kekuasaan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir, koin dinar tersebut yang dinamai Derham mas yang dicetak dalam pecahan satu Derham dan setengah Derham.
Dinar sebagai standar mata uang menyebar di seluruh Sumatera dan Semenanjung Malaka setelah kerajaan Aceh menaklukkan Samudera Pasai tahun 1524. Uang itu tetap digunakan sampai Jepang menyerbu di tahun 1942. Sementara di bagian lain Nusantara, kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Allaudin Awwalul Islam (1593-1639) mencetak Dinar seberat 2,46 gram emas yang digunakan di Gowa, Tallo, Ternate, Tidore, Butung, Minahasa, Sumbawa sampai Papua. Sebagai penyimpan nilai di satu sisi dan alat tukar di sisi lainnya, keping-keping Dinar dan Dirham sebagai alat tukar yang adil benar-benar pernah eksis dalam perdagangan di kepulauan Nusantara.
Kesultanan Mataram di tahun 1600-an mencetak Dinar dan Dirham, termasuk pada masa kekuasaan VOC. Saat itu Dinar dicetak dengan berat 16 gram emas dengan kadar 75%, dan Dirham dibuat dengan berat 6,575 gram perak. Pada kepingan-kepingan Dinar tersebut tercetak “Derham min Kumpani Welandawi dan Ila djazirat Djawa al kabir”. Pada masa setelahnya, terdapat Dirham Inggris (1813-1816) bertuliskan: “Kempni Hinglis, Jasa hing sura-Pringga” di satu sisi, serta, “Hinglis, sikkah kompani, sannah AH 1229 dhuriba, dar dhazirat Djawa” di sisi satunya. Sistem mata uang berbasis emas dan perak itu hilang secara perlahan bersamaan dengan pengaruh Belanda yang semakin kuat mencengkeram menguasai kekayaan negeri-negeri Nusantara.
Dalam bukunya berjudul al-Muqadimah (Prolegomena), cendekiawan pengelana bernama Ibnu Khaldun menguraikan hasil pengamatannya terhadap perekonomian dan bahkan memprediksi kelangsungan hidup bangsa-bangsa. Kitab ini mengulas secara sistematis tentang kebijakan ekonomi yang masih relevan sampai saat ini. Ekonom muslim abad keempat belas ini telah mencetuskan peran penting pemerintah untuk menghasilkan kelebihan permintaan dalam ekonomi untuk menstabilkan perekonomian, lima abad sebelum John Maynard Keynes. Sedangkan pemerintah Amerika Serikat mengambil pendapat Keynes dengan membuat berbagai proyek infrastruktur besar untuk mengatasi depresi ekonomi tahun 1930 dan krisis finansial global tahun 2008.
Lahir di Tunisia tahun 1332 Masehi, Ibnu Khaldun menuliskan teori pasar bebas dan peran penting pemerintah untuk menstabilkan ekonomi sebagai fondasi bagi pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa. Bagi Ibnu Khaldun, spesialisasi produksi, penggunaan teknologi, surplus ekonomi, meningkatkan output, penciptaan lapangan kerja serta perdagangan luar negeri penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mengenai spesialisasi produksi, Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) di Amerika Serikat menyebutkannya dalam teori mereka sebagai division of labour.