“Nuklir ekonomi” akhirnya menghantam Jakarta membentuk awan cendawan, menimbulkan guncangan ekonomi 9 skala Richter. Krisis nilai tukar valuta asing itu secepat kilat mengerek Dollar Amerika dari 2.000-an menjadi 18.000-an rupiah. Para investor asing tergesa melarikan dana mereka, sementara orang bursa shock saat mengetahui lembaran-lembaran saham mereka menjadi seharga tisue toilet. Bank Sentral mencoba mengintervensi pasar uang dengan menggelontorkan cadangan dollar-nya ke pasar, sampai pasrah melepas kewenangannya menahan gejolak nilai tukar, karena tidak lagi memiliki cukup dollar. Bencana forex trading di tahun 1997 itu menyebar seperti permainan domino, bermula dari negeri Thailand, Malaysia, kemudian merembet ke Philipina dan negeri Asia lainnya termasuk Nusantara yang terdampak paling parah.
Respon rasional para pelaku ekonomi adalah buru-buru menarik dana mereka di bank-bank dan beralih membeli mata uang Dollar Amerika sebagai alat simpan nilai. Bank Sentral harus berderit-derit menahan perkembangan laju kurs rupiah itu, lalu secara dramatis menaikkan bunga simpanan di bank sampai menyentuh angka 60 persen setahun. Respon tidak rasional pelaku pasar di tengah kekacauan itu, mereka lebih mempercayai rumor yang beredar daripada pengumuman resmi otoritas pemerintah. Batuk kecil seorang teroris ekonomi, spekulan forex
Dalam kondisi kacau dan kepercayaan pasar nyaris ambruk, para pemilik dana melakukan rush besar-besaran di semua bank, setelah pemerintah menutup 17 bank swasta beberapa hari sebelumnya. ATM yang baru diperkenalkan beberapa tahun itu mengundang antrian panjang, orang-orang yang tergesa mengambil uangnya kembali. Mereka menyebut fenomena tersebut “krismon”, krisis moneter. Dalam kondisi terpaksa, pada akhirnya pemerintah memberikan dana talangan bernama BLBI sebesar lebih 1.000 trilyun kepada bank-bank itu, yang ironisnya menumbuhsuburkan para pencoleng ekonomi yang kemudian kabur ke negeri tetangga. Liberalisasi sistem perbankan sejak Paket Oktober 1988-an digulirkan dianggap sebagai pangkal permasalahan karut marut dunia perbankan itu.
Pada saat itu, untuk memenuhi komitmen dengan WTO, pemerintah meliberalisasi pasar per-bank-kan yang memiliki fungsi intermediasi keuangan dengan mempermudah ijin pendirian bank dan ijin operasi sebagai bank devisa. Di tengah suasana ekonomi yang lagi booming, para pengusaha dipermudah membuka bank, bahkan dengan modal dasar yang kecil dan dengan pengalaman yang minim dalam mengelola dana nasabah. Akhirnya dana masyarakat yang mereka tarik ini banyak disalurkan kepada perusahaan grup mereka sendiri dengan menabrak aturan legal lending limit dan kehati-hatian perbankan. Fungsi intermediasi dan amanah mengelola dana masyarakat dikhianati oleh ketamakan para pemilik bank, membuat fondasi perekonomian Nusantara seperti benteng pasir yang rapuh.
Getarannya tremor krisis ekonomi itu terus menjalar dari episentrumnya mengguncang semua makhluk hidup maupun benda mati, menyebabkan orang-orang kelaparan serta menghanguskan gedung-gedung dan pepohonan. Pasokan air minum menipis, listrik mati di banyak wilayah dengan luas yang semakin meningkat setiap waktu. Rumah-rumah pun menjadi kusam, jalan-jalan berlubang, karena pemerintah tidak memiliki dana cukup untuk pemeliharaan. GDP turun derastis sebesar 12% selama tahun paling menyedihkan itu, dimana inflasi menyentuh angka 80%. Tingkat bunga pinjaman yang meroket menyebabkan ribuan perusahaan tiba-tiba bangkrut dan meledaklah kredit macet. Kemiskinan naik sebesar 40% dan 15 juta orang tiba-tiba harus menganggur. Saat itu, tahun 1998, tergambar di layar-layar televisi politik berguncang hebat, kondisi sosial kacau-balau. Melalui transmisi internet, berita sedih serta kepanikan atas krisis ekonomi menyebar kemana-mana bak pandemi pes di Eropa di awal abad ke-20.
Yang terlihat semua serba antri, untuk mendapatkan beras sampai minyak goreng yang terjangkau, dimana harganya meningkat sebesar 160% pada tahun 1998 sendiri. Pemandangan itu seperti mengulangi kejadian tahun 1965 saat rakyat jelata harus antri sembako dengan pandangan mata kosong dari tubuh-tubuh yang kumal. Sejarah kembali terulang selayaknya putaran roda pedati. Dan roda sejarah itu selalu saja menggilas orang-orang yang lemah yang telah dipinggirkan oleh sistem ekonomi yang buas lagi jahat.
Tayangan teve dan radio menyiarkan kesedihan dan keputusasaan di mana-mana. Para pemimpin pemerintahan lemas seolah dilolosi semua jaringan otot dan syarafnya. Efek psikologis yang tercipta seperti ketika Jepang menyerah kalah dalam perang dunia II, karena dua kota-nya, Hiroshima dan Nagasaki hancur luluh dijatuhi bom atom oleh pesawat Enola Gay Amerika. Penjarahan telah meluluhlantakkan ibukota negara dan beberapa kota besar lainnya. Kerusuhan dan perpecahan karena isu SARA merebak mulai dari Kalimantan, kemudian membakar Ambon dan Poso. Timtim dengan dukungan asing serta para NGO komprador melepaskan diri dari pemerintah pusat. Kondisi penduduk Nusantara saat itu menurut para psikolog adalah setengah dari yang dirasakan muslim Bosnia saat dibantai oleh Serbia. Bukan saja aparat pemerintah dan militer terpana dengan keadaan yang menggoncang tersebut, para pertapa ekonomi turun gunung untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Masyarakat berbondong-bondong menjual emasnya yang tiba-tiba berharga tiga kali lipat (naik 212%) karena nilai intrinsik yang dikandungnya. Konsumsi rokok tiba-tiba meningkat derastis. Rakyat Nusantara seperti anak ayam kehilangan induknya. Burung Elang dan burung Nazar ekonomi melayang-layang mengincar anak-anak ayam yang cemas itu. Bisnis penggandaan uang yang menjual mimpi kaya mendadak menjamur seperti pencoleng ekonomi dengan korban yang bertambah-tambah. Bisnis berbasis skema ponzy dengan tanpa produk yang jelas itu hanya membuat untung para pengikut awal dan membuat buntung pengikut-pegikut terakhir. Secara rasional, maka kaki-kaki di level terakhir yang jumlahnya semakin banyak itu yang akan menanggung rugi.
Masih teringat di memori Ethan Zhang He, bagaimana seorang Michael Camdessus bersedekap menyilangkan tangan di depan Soeharto yang menandatangani Letter of Intent di saat krisis itu. Ia merasa sangat terhina dengan gesture boss IMF yang terlihat seperti sedang mendikte kepada pemimpin bangsa yang diberi hutang, sebuah kesombongan “penjajah” terhadap negaranya yang sedang lemah secara ekonomi. Gambar, video, foto tentang tangan yang dilipat dengan ekpresi menekan saat Soeharto meneken LOI itu ia anggap sebagai bentuk kepongahan IMF. Ethan Zhang He tahu, syarat-syarat (conditionalities) pemberian dana pinjaman adalah sebuah kekalahan ekonomi yang amat menyakitkan.
Pasal-pasal yang terkandung dalam leter of intent yang ditandatangani Soeharto adalah tentang penarikan subsidi, penutupan bank-bank bermasalah, pencabutan dukungan untuk industri-industri strategis; pabrik pesawat terbang dan kapal laut yang dianggap menghamburkan uang negara. Karena LOI mempersyaratkan dipotongnya bantuan intuk industri strategis seperti Industri Pesawat Terbang Nusantara agar tidak dibantu lagi oleh negara. Nusantara yang hampir terbang tinggal landas saat membuat N-2130 akhirnya tertingal di landasan. Ethan juga sadar, Indonesia yang punya banyak insinyur tidak bisa membuat mobil nasional, karena secara politik dagang telah dijepit oleh negara-negara pemilik industri mobil.
Kaum kapitalis juga menelusup dari balik kegelapan saat pemerintah sedang lemah atau rakyat sedang gaduh dengan berbagai isu yang tiba-tiba datang memecah belah kebersamaan. Ketika semua mata fokus pada permasalahan akibat melemahnya kontrol pemerintah pusat dan krisis ekonomi itu; sparatisme, isu SARA, masalah penyerobotan perbatasan negara, dan pertarungan ideology lainnya, tiba undang-undang investasi asing disahkan oleh parlemen. Konsesi pertambangan dan ijin kehutanan juga tiba-tiba berpindah kepemilikan kepada perusahaan asing. Ethan mencurigai terdapat agen-agen intelejen ekonomi asing di Kepulauan Nusantara, mencuri data-data vital tentang keuangan; anggaran negara, cadangan devisa, dan kebijakan invastasi, sehingga bobollah kekayaan Nusantara.