Mohon tunggu...
Nico Andrianto
Nico Andrianto Mohon Tunggu... -

Bersyukur dalam kejayaan, bersabar dalam cobaan......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

#Puzzle 14: Tahafutul Falsafah al Libraliyah(51)

6 Januari 2016   13:12 Diperbarui: 6 Januari 2016   14:32 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Intelektual yang mabuk oleh peradaban Barat tanpa memfilternya akan menjadi orang yang hanya bisa mem-foto copy tanpa memodifikasi atau memfilter pemikiran yang akarnya jauh berbeda itu. Sebab, ”ada atau tidak adanya bukti tidak harus bergantung pada anda”. Kerusakan peradaban akan membayangi negeri. Pertentangan-pertentangan yang tercipta dari pikiran nyleneh, akan menyita perhatian dan energi bangsa Nusantara, sehingga lupa dengan permasalahan yang lebih strategis seperti penjajahan ekonomi yang dilakukan asing atas kekayaan alam mereka yang kaya. Padahal islam berkembang pesat di dunia Barat karena keunggulan ajarannya yang terasa logis, menyentuh logika berfikir Barat tentang konsep Tuhan yang terasa jauh lebih masuk akal.

Hal-hal yang jelas dilarang dalam Al Quran dibela oleh kaum liberal; minuman keras, perkawinan sejenis, aliran sesat; sampai orang menyebut kucing sebagai Tuhan-pun, akan mereka bela mati-matian. “Kencingi sumur Zam-Zam, kalau kau ingin terkenal”, demikian rumus yang mereka pegang kuat-kuat. Kaum liberal mendekonstruksi sakralitas kitab suci. Bukannya kelakuan yang belum sesuai dengan Al Qur’an diperbaiki, namun justeru al Quran yang harus diubah, atau dicomot sepotong-sepotong untuk mendukung keinginan sang liberalis melalui cara penafsiran yang kacau, hermeneutika.

Menurut penulis Oxford, Inggris, Richard Webster, dalam buku A Brief History of Blasphemy (54), menyampaikan bahwa konflik yang terjadi menyusul terbitnya novel the Satanic Verses (Ayat-ayat Setan) Salman Rushdie, bukanlah antara otoritarianisme dengan kebebasan – seperti dikampanyekan kaum Liberal di seluruh dunia saat itu. Tapi lebih merupakan benturan dua buah kekakuan sikap, yaitu dua bentuk fundamentalisme antara agama Islam versus agama Liberal.

Kalau jaman duhulu selalu ada batas yang jelas antara kejahatan dan kebaikan, sekarang ini batas itu mulai kabur. Bahwa kejahatan pun bisa menang dan menguasai, seperti film tentang kehidupan bandit, yang tanpa nilai kebenaran tapi memenangi kenyataan. Nilai-nilai telah bergeser, dan kebenaran menjadi relatif. Manusia diberikan keleluasaan untuk menggerakkan tubuhnya, berpikir, berperasaan, memerintahkan tangan dan kakinya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, termasuk yang haram dalam ukuran agama.

Meski kelihatan sepele, tetapi sesungguhnya menggambarkan masalah yang besar. Pemikiran liberal merasuki kepala calon-calon pemimpin Nusantara, dan pemikiran itu tentu memiliki implikasi terhadap wacana ekonomi dan politik Nusantara. Liberalisasi ekonomi dan politik adalah tujuan besar yang coba didorong oleh bangsa-bangsa Barat melalui perang pemikiran. Perang yang tidak menggunakan mesiu dan roket, namun memiliki dampak yang luar biasa dahsyat. Penduduk negeri yang kalah akan meniru-niru budaya sang penakluk, dan menjajah mereka secara budaya.

Bahaya liberalisasi terkait kenyataan bahwa para pengusungnya hanya digunakan sebagai instrumen penjajahan ekonomi. Gerakan liberalisasi menciptakan kegaduhan sosial dan politik yang akan dimanfaatkan para liberalis ekonomi untuk menyelinap memaksakan aturan-aturan pembukaan pasar untuk keuntungan para kapitalis internasional. Pemikiran Liberal itu hanyalah ilusi, meski awal-awalnya menyilaukan dan menarik laron-laron pemikir, namun kemudian terlihat kecacatannya. Karena didasarkan pada pesanan, mereka menjadi tidak obyektif. Jika kepada musuhnya, maka tidak akan pernah dibela walaupun dengan parameter yang jelas-jelas telah dibuatnya sendiri.

Istilah yang diberikan kepada kaum liberalis adalah memakai pisau asing untuk menikam bangsa sendiri. Buktinya para pegiat liberal dalam posisinya yang hanya boneka akhirnya melakukan standar ganda atas parameter yang dibuatnya sendiri, misalnya dalam masalah penegakan HAM dan demokrasi di Mesir dalam kasus kudeta militer terhadap presiden yang terpilih secara demokratis bernama Muhammad Mursi. Bahkan kalangan liberalis Nusantara mendukung diam-diam pembantaian militer Mesir terhadap ribuan demonstran pro-demokrasi Mesir yang mendukung Muhammad Mursi.

NGO pengusung liberalisme, terutama yang dibiayai asing memang diarahkan oleh sponsornya untuk membidik sebuah Negara. Hal tersebut terbukti saat terjadi kejadian yang sama atau lebih parah di negara tetangganya, tak akan pernah ada sepatah katapun kritik terucap dari NGO liberal, padahal mereka berjaringan internasional. Mereka tidak mungkin berbeda pendapat dengan para pemberi funding apalagi kritis. Paling tidak, kulit mereka yang juga sawo matang memudahkan peran “data mining” yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan intelejen asing. Penyebutan terhadap mereka bisa terus berubah seperti ular yang selalu mengganti sisiknya, dari LSM (55), lalu NGO (56), CSO (57), Ornop (58), kemudian OMS (59), dan entah nama apalagi di masa depan. Yang paling berbahaya adalah, saat kaum liberalis bertindak sebagai broker asing untuk menguasai sumber-sumber daya alam Nusantara melalui perundingan yang menekan dengan sihir wacana “menarik investasi”, “pasar bebas”, “swastanisasi”, serta “liberalisasi ekonomi”.

#

Perjanjian kontrak karya masa lalu yang merampok kekayaan alam Nusantara harus direnegosiasi menjadi adil, sebagaimana saran seorang Joseph Stiglitz (60). Kekuatan ekonomi asing ingin menguasai perekonomian Nusantara dengan mendesakkan liberalisasi perekonomian, membuka pasar-pasar tradisional, dan membanjiri pasar dengan produk-produk mereka.

Di negeri ekonomi liberal Australia, rakyat diberikan jaminan sosial, diberikan tunjangan bagi penganggur, cacat dan mereka yang tua renta yang tidak mampu bersaing dalam pasar bebas. Padahal negeri Nusantara sudah menetapkan dalam konstitusinya; “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Jadi apa yang salah dengan pemerintah, sehingga tidak menaati konstitusi. Negeri Nusantara terus terjangkiti liberalisme ekonomi overdosis. Liberalisasi ekonomi adalah pintu masuk untuk menjarah kekayaan alam Nusantara. Memang tidak ada negara yang bisa maju tanpa berhubungan ekonomi dengan bangsa lain. Namun perdagangan itu harusnya adil, bukan melanggengkan penghisapan seperti yang terjadi di jaman penjajahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun