Mohon tunggu...
Nico Andrianto
Nico Andrianto Mohon Tunggu... -

Bersyukur dalam kejayaan, bersabar dalam cobaan......

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

#puzzle 12: Cinta bertepuk sebelah tangan

3 Januari 2016   09:52 Diperbarui: 3 Januari 2016   09:52 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ethan adalah nama pemberian orangtuanya. Tidak ada nama Tionghoa selain nama bercitarasa Eropa itu. Ia generasi ketujuh imigran dari daratan China yang mendarat di Batavia di akhir abad ke-17. Leluhur Ethan adalah petani sederhana dari wilayah Fukian yang menikah dengan seorang niang dari Bali. Saat sepuluh ribu orang Tionghoa dibantai oleh VOC dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Adrian Valckenier, buyut Ethan melarikan diri ke pesisir utara Jawa. Setelah pemberontakan China yang gagal di Batavia pada tahun 1740 itu, buyut Ethan melanjutkan perlawanan terhadap VOC di Lasem.

Sejak itu leluhur Ethan bergabung dengan adipati Lasem bergelar Tumenggung Widyaningrat melawan VOC di daerah Rembang, Jepara, Pati, Tegal serta Semarang. Meski adipati Lasem dengan nama asli Oei Ing Kiat itu gugur dalam perlawanan, catatan kisah kepahlawanan “Perang Kuning” itu masih bisa dibaca di kelenteng Gie Yong Bio, Babagan. Perlawanan terhadap VOC itu begitu meluas, menandai kerjasama erat antara Tionghoa dan pribumi yang mendorong kebangkrutan VOC pada tahun 1799. Kenangan manis itu turut membentuk karakter keluarga Ethan yang menolak posisi golongan Timur Asing mereka, golongan yang diberi akses ekonomi dan politik oleh Belanda untuk memungut gerbang cukai atau monopoli candu terhadap pribumi sebagai bemper pemerintah Belanda.

Di masa revolusi fisik kakek Ethan masuk dalam Partai Tionghoa Indonesia. Kakek Ethan sangat antusias saat PPKI memberi opsi agar golongan Timur Asing seperti mereka melebur menjadi warga negara yang sejajar dengan penduduk lainnya. Ia mengkritik keras keinginan untuk memiliki kewarganegaraan ganda atau hak eksklusif lainnya yang pernah dinikmati saat penjajahan Belanda. Ingin membuktikan sikapnya itu, kakek Ethan hijrah ke Surabaya ikut memanggul senjata melawan Belanda yang ingin menjajah kembali Nusantara dengan membonceng tentara Inggris pada bulan November 1945.

Keluarga Ethan telah melepas atribut nenek moyangnya sebagai seorang dari China dan meleburkan diri dalam budaya masyarakat. Mereka sudah tak fasih berbahasa Mandarin dan hanya bisa berbahasa Melayu atau Jawa peranakan. Mereka paling anti jika kaumnya menyebut pribumi dengan sebutan “fan kui, huana, cuo kui atau tiko”, sebagaimana mereka tak mau dipanggil dengan istilah cina. Papa Ethan bekerja sebagai seorang teknisi sebuah perusahaan otobus di Surabaya, sebuah pekerjaan yang turut menumbuhkan perasaan sejajar dan berbaur dengan para pekerja pribumi lainnya. Selain memiliki rasa kebangsaan yang tinggi, keluarga Ethan aktif dalam berbagai kegiatan masyarakat di sekitar rumahnya di tengah kampung Wonokromo, seperti kegiatan kesehatan ibu dan anak, arisan kampung atau pendidikan anak-anak pra-sekolah.

Dalam urusan sekolah-pun, keluarga Ethan memilih menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah umum milik negara, dimana Ethan kecil berkembang menjadi anak yang cerdas. Ethan, sejak kecil dipanggil Sinyo oleh teman-temannya karena tubuhnya yang tinggi dan kulitnya putih seperti anak Belanda. Ia masih ingat saat diledek teman-temannya karena bahasa Jawa dengan logat Mandarinnya, seperti “Sinio takberiki (40)” saat ingin memberi makanan ke teman-temannya. Atau, “Makano sakadae”, “makanlah seadanya” yang bisa diartikan dalam bahasa Jawa “makanlah sekalian wadahnya”.

Kenakalan kecil seperti mencuri mangga milik tetangga ia nikmati bersama anak-anak kampung itu. Ia terbiasa bermain sepakbola dengan mereka yang membentuk karakter ironis-spartan bernama “bonek”, bondo nekat. Selain itu, Ethan cilik juga menikmati setengah mati permainan adu balap merpati sepulang sekolah. Anak-anak SD itu akan menunggu merpati mana yang paling cepat mencapai pagupon (41) setelah dilepaskan dari jarak sekitar 10 kilometer jauhnya. Permainan yang sangat memacu adrenalin itu hanya bisa disamai sensasinya oleh permainan adu layang-layang, kegemaran Ethan lainnya.

Berebut layang-layang putuslah yang sangat menyenangkan hati Ethan kecil. Meski ancaman kecelakaan lalu lintas maupun tersengat aliran listrik selalu menghantui, justeru di situlah tantangannya. Semakin tinggi resiko, semakin terasa sensasinya. Disamping itu, permainan adu layang-layang menuntut kepiawaian untuk membuat benang tajam dari ramuan berbahan bubuk kaca dan lem yang direbus dalam air. Layang-layang dari bahan kertas minyak dan bambu buatannya paling digemari teman-temannya, yang secara tak sadar telah membentuk jiwa berdagang Ethan kecil.

Meski terkesan oleh ajaran kebijaksanaan Konfusius maupun cinta kasihnya Isa al Masih, tak membuat Ethan kecil ragu ikut menunggui teman-temannya yang sedang mengaji di langgar kampung. Ia hanya duduk di teras tanpa mengikuti ritual apapun. Mungkin kebiasaannya itulah yang mengantarkannya menjadi mualaf sepuluh tahun yang lalu, sebuah pilihan pribadi yang tanpa paksaan. Dari perenungannya Ethan menyimpulkan bahwa memeluk Islam hanyalah kembali kepada fitrah manusia, sehingga ia tidak merasa meninggalkan ajaran sebelumnya. Sejak saat itu, ia menambah namanya dengan Zhang He.

Bakat dagang rupanya terus menjalari diri Ethan Zhang He. Saat menjadi mahasiswa Akuntansi Universitas Nusantara, Ethan aktif di organisasi kewirausahaan sebagai bendahara umum. Disitulah pertama kalinya ia bertemu Lawe sang ketua umum dan Canka sang ketua divisi inovasi bisnis. Saat itu, Ethan juga praktek bisnis kecil-kecilan dengan berjualan kaos kreatif yang ia beli di Bandung dan Surabaya untuk membiayai kuliahnya. Ia juga membuka usaha fotocopy di dekat stasiun kereta api Depok sambil menyalurkan hobinya membaca cerita-cerita silat Ko Ping Ho. Bukan karena orang tuanya tak mampu membiayai, namun ia telah menetapkan hati untuk mandiri.

Tak mudah bagi Ethan Zhang He memulai bisnisnya diakhir Orde Baru saat perubahan melanda negeri, dan kerusuhan rasial melanda dimana-mana. Ia sadar dari 40 trilyuner terkaya di negaranya bisa dipastikan sekitar delapan dari sepuluh-nya berasal dari suku-nya. Kaumnya menguasai 80 persen bisnis di Indonesia, kebanyakan mengumpulkan kekayaannya dari produksi rokok, perbankan, perkebunan, pertambangan serta hampir semua kegiatan bisnis dari hulu sampai hilir. Saat itu beberapa pengusaha Tionghoa banyak dituding menjadi kaki tangan Cendana, sebuah proses pengaruh mempengaruhi yang diteorikan sebagai perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha.

Ethan Zhang He sadar, kaumnya seringkali masih mendapatkan didiskriminasi oleh aparat pemerintah. Seorang pemain bulutangkis putri terkenal boleh dielu-elukan setinggi langit setelah mempersembahkan Piala Uber bagi negaranya, namun harus menghadapi kenyataan pahit ketika berhadapan aparat birokrasi yang korup. Tahun 1996 saat sang maestro ingin mengurus dokumen-dokumen kewarganegaraan untuk pernikahannya, ia harus dimintai surat SBKRI karena dianggap “orang keturunan”. Konsekuensinya, pemain bulutangkis internasional itu harus membayar lebih untuk keterangan WNI-nya dan dipersulit mengurusnya selama sembilan tahun lamanya. Padahal ia adalah generasi keempat dan salah satu neneknya adalah pribumi.

Sebenarnya bukan dia seorang yang berhadapan dengan sistem birokrasi yang tak berhati seperti itu. Beberapa olahragawan yang pernah mengharumkan nama bangsa tidak diperhatikan oleh negara saat kemiskinan melanda di masa tuanya. Seorang peraih medali emas balap sepeda Sea Games yang dulu kebanggan bangsa akhirnya menjadi seorang penarik becak di masa tuanya. Seorang petinju juara dunia yang pernah dipuja-puja seluruh bangsa berakhir kariernya menjadi petugas keamanan sebuah tempat hiburan malam.

Pertanyaannya kemudian, dimana kredo negara melindungi dan menyejahterakan segenap warga negaranya serta mengurusi fakir miskin dan anak terlantar seperti dikatakan oleh UUD. Yang terjadi malah keironisan setelah lebih seumuran manusia bangsa Nusantara merdeka dari penjajahan asing. Kemerdekaan administratif memang tak terlalu penting saat negara masih mewarisi watak penghisap dari penjajah sebelumnya seperti terjadi di banyak negara post-colonial, demikian inti penjelasan dosen public policy.

Namun, Ethan Zhang He sangat mencintai negerinya, seperti cinta Laksamana Ceng Ho yang berasal dari etnis Hui pada negeri Bangsa Han di daratan China. Cheng Ho akhirnya dipercaya menjadi laksamana armada kapal terbesar dalam sejarah yang membawa misi diplomatik dan perdamaian ke seluruh dunia, yang oleh Gavin Menzies dikatakan mendarat di Amerika jauh sebelum Columbus. Laksamana Cheng Ho yang muslim taat itu mengirimkan beberapa anak buahnya untuk menjadi ulama di Nusantara. Pengaruh China itu bisa dilihat dari keramik-keramik di makam para wali di tanah Jawa, seperti makam Sunan Bonang di pesisir Tuban.

Ethan tak paham kenapa kaumnya masih sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, mulai dari urusan birokrasi, pembatasan fasilitas pendidikan sampai menjadi pegawai negeri. Padahal dari bacaannya, sejarah di Nusantara tak lepas dari pengaruh China. Sejak berabad lalu pemukiman muslim China telah ada di Sembung (Cirebon), Ancol (Jakarta), Lasem, Tuban, Tse Tsun (Gresik) serta Cangki (Mojokerto). Dari catatan sejarah, Di era Majapahit telah terdapat masyarakat Cina dinasti Tang, muslim taat yang tinggal di ibukota kerajaan. Integrasi Tionghoa baik muslim maupun non-muslim di kota-kota pesisir Jawa itu turut memacu aktivitas perekonomian. Di Nusantara banyak makanan yang telah dianggap milik lokal adalah pengaruh dari China, seperti Bakso, Bakmi, Bakwan, Lumpia, Tahu, Bakpao, dan Bakpia. Kesenian ukiran di Jepara karena pengaruh ahli ukir China bernama Sun Ging.

Ethan merasa beruntung menemukan buku langka terbitan Monash University berjudul: “Chinese Muslims in Java”, tulisan H.J. de Graaf dan Th G Th. Pigeaut. Diceritakan di buku itu, bahwa pada puncak kejayaan Dinasti Ming (1368-1645), armada laut China dibawah Laksamana Haji Sam Po Bo berhasil menguasai Nanyang (Asia Tenggara). Armada itu juga berhasil menguasai Kukang (Palembang) yang telah beberapa puluh tahun dikuasai bajak laut dari Hokkian. Haji Sam Po Bo mengangkat pemimpin Tionghoa muslim di banyak wilayah, seperti di Champa (Vietnam), Manila dan Matan (Filiphina), Tuban, Palembang dan Sambas. Perkembangan komunitas muslim Tionghoa di Nusantara mendorong Dinasti Ming mengangkat Haji Ma Hong Fu sebagai duta besar pertama di Majapahit.

Dari catatan sejarah diketahui beberapa tokoh muslim Tionghoa menjadi pejabat kerajaan dari Majapahit, Demak, Mataram sampai Cirebon sebagai syahbandar dan kedudukan ekonomi lainnya seperti seorang Gan Eng Tju di Tuban dan Gan Eng Wan sebagai Bupati Majapahit pertama beragama Islam. Banyak ulama Nusantara adalah keturunan Tionghoa, terkait erat dengan Marga Gan yang ikut dalam ekspedisi Laksamana Haji Sam Po Bo dan Laksamana Cheng Ho. Mereka telah berhasil menerjemahkan al Quran kedalam bahasa Mandarin pada abad ke-17. Untuk menghargai jasa-jasa dua laksamana legendaris itu, sebuah klenteng yang dibangun di Semarang diberi nama Sam Po Kong dan beberapa masjid yang dibangun oleh masyarakat Tionghoa diberi nama Masjid Laksamana Cheng Ho.

Namun kemesraan hubungan Tionghoa-pribumi Jawa yang signifikan di abad 16 sampai 17 itu menurun sejak akhir abad ke-17. Penurunan derastis jumlah muslim Tinghoa telah menimbulkan ketegangan dengan komunitas Tionghoa non-muslim. Kondisi itu diperburuk dengan terjadinya perubahan politik di daratan China, dimana saat Dinasti Mancu menggantikan Dinasti Ming, Kaisar Sun Chih melakukan diskriminasi terhadap pemeluk islam sehingga tak ada lagi kasim istana beragama Islam. Pun imigran China yang datang ke Nusantara berikutnya didominasi oleh orang-orang Fukian, Kwang Ju dan Makau.

Yang paling memukul kondisi hubungan Tionghoa-Pribumi adalah kebijakan Belanda yang mencegah keduanya untuk berbaur karena munculnya banyak kaum peranakan. Mereka adalah kaum Tionghoa yang masuk islam, potong kuncir (taucang) dan menanggalkan celana komprang di penghujung abad ke-18 akibat trauma pembantaian di Batavia. Tionghoa yang terlanjur memeluk islam itu seperti di Batavia dan Madura itu lalu dikeluarkan dari permukiman pribumi dan dikembalikan ke wijk Tionghoa yang dipisah menjadi muslim dan non-muslim dengan masing-masing dipimpin seorang kapiten. Belanda juga mengeluarkan passenstalsel atau surat jalan keluar kota bagi Tionghoa untuk memastikan mereka membayar “pajak kepala” yang tinggi bagi kas Belanda.

Menurut Politiek Verslag Madoera, pada tahun 1865 tercatat 80 persen dari 5.302 penduduk Tionghoa yang menyebar di Sumenep, Sampang serta Pamekasan adalah muslim. Namun secara keseluruhan pada tahun-tahun menjelang Perang Jawa populasi Tionghoa muslim di Batavia dan kota-kota di Jawa jumlahnya pada titik paling rendah. Pada tahun 1827 posisi kapiten Muslim Tionghoa dihapus yang turut mendorong ketegangan-ketegangan dengan pribumi, sesuatu yang sangat dinikmati oleh Belanda. Pada Perang Jawa 1825-1830, posisi kaum Tionghoa yang terlanjur menjadi sumber dana dan logistik Belanda menjadi sasaran serangan pasukan Diponegoro, meskipun menurut catatan seorang petualang bernama Ong Tae Hae sejak awal perang banyak muslim Tionghoa bergabung dengan prajurit Jawa.

Membaca catatan sejarah itu Ethan Zhang He meneteskan air matanya, karena kecintaannya pada Tanah Air-nya itu hampir seperti sebuah cinta buta. Perasaan itu memang ironis, mirip laba-laba jantan the widow maker Australia yang rela dimakan oleh si betina setelah melakukan pembuahan. Atau seperti ikan Salmon jantan yang rela dimakan betinanya dalam prosesi bertelur tahunan, sebuah insting masokis hewani yang mengerikan, serta mengiris hati demi sebuah kecintaan dan keberlangsungan generasi. Bagaimanapun leluhurnya yang bermigrasi telah memilih Nusantara sebagai tanah airnya dan mulai menuliskan sejarah mereka. Ethan bersyukur telah terdapat banyak perkembangan positif di negaranya pasca reformasi, diantaranya adalah pengakuan atas etnisnya pada undang-undang kewarganegaraan.

Sebuah jajak pendapat tahun 2002 menyimpulkan bahwa Etnis keturunan Tionghoa jika diperlakukan setara dengan etnis lain akan merasa 100 persen orang Nusantara, tidak akan memaksakan terjun di dunia bisnis, akan masuk kedalam profesi lainnya termasuk di lembaga pemerintahan, pendidikan, politik, angkatan bersenjata, berasimilasi dengan pribumi lebih cepat, menikah dengan etnis lain termasuk menjadi mualaf, turut membantu mengentaskan kemiskinan dan lebih aktif dalam kegiatan sosial, semakin giat aktif dalam dunia olahraga untuk mengharumkan nama negara, tidak berlaku diskriminatif terhadap etnis lain yang bekerja di perusahaannya, akan mendorong semakin banyak pribumi yang terjun ke dunia bisnis dan menjadikan Nusantara negara yang lebih kuat dan bersatu.

Di malam-malam sepi dari flat-nya di Melbourne, Ethan mengetikkan di laptopnya sebuah puisi. Puisi itu lalu ia posting di akun Facebook-nya sebagai pelipur kerinduannya pada Tanah Air-nya:

Nusantara, begitu mudahnya mencintaimu

By Ethan Zhang He on Saturday, October 19, 2012 at 02:23 am

Nusantara, justeru dari seberang lautan ini aku mengakui mencintaimu

Alammu subur menghijau, dikelilingi rangkaian gunung berapi

Tanahmu liat, tanah yang tak mudah dikalahkan

Lautmu selalu bergerak mencumbui ribuan pulaumu, menyembunyikan keindahan surgawi

Sejak lahir aku telah meminum airmu dan berpijak diatas tanahmu

Nusantara, begitu mudahnya mencintaimu

Engkau surga bagi para pecinta alam dan budaya

Penduduknya murah senyum dan sapa

Berbicara dalam ratusan bahasa

Nusantara, cintaku bagai cinta ikan salmon

Pun cintaku masokis bagai laba-laba the widowmaker

Nusantara, kuharap kau sudi menerima cintaku

Meski mataku sipit

Aku bukanlah huaqiao, duhai negeriku

Aku terus berjuang untukmu

Seluruh jiwa ragaku untukmu

Karena cintaku demi keridhaan Allah Ta’ala, Tuhanku

(Dalam waktu singkat 105 orang memberikan tanda pada postingan tengah malam itu).

#

Kabut putih menyelimuti seluruh Canberra pagi itu. Suhu mencapai empat derajat celsius pada pukul sembilan pagi, terasa menusuk hingga ke dalam tulang. Telstra Tower di puncak Black Mountain hanya terlihat puncaknya yang memuat antena-antena telekomunikasi yang seperti stupa Borobudur dalam versi ramping. Melewati jembatan yang membelah Lake Burley Griffin seakan mendapatkan sebuah teka-teki tentang surga atau neraka di depan sana, meski semua orang Canberra tahu Parliament House bersembunyi di balik kabut itu. Di depan jendela “National Geographic” kamarnya di Toadhall, Lawe merenungkan cerita Ahmad kemarin malam sepulang dari Menzies Library.

Kau tahu cerita menarik dari Bis tua yang kita tumpangi ini, Lawe?”, tanya Ahmad yang segera dijawab dengan gelengan kepala Lawe. Setelah menarik nafas dalam, Ahmad meneruskan penjelasannya yang mengular panjang, “Kau tahu bapak sopir di depan itu? Dia adalah orang tua dari seorang mahasiswi korban penculikan yang hilang di malam hari di area kampus kita ini. Kekecewaannya memuncak karena protesnya kepada para birokrat kampus atas kejadian yang menimpa anaknya itu seakan membentur batu. Pun polisi juga tidak mampu menemukan anaknya serta para penculiknya. Akhirnya dia berinisiatif membeli bis tua berwarna cokelat ini dan menuliskan nomor telepon agar bisa dihubungi. Ia mewakafkan dirinya mengoperasikan bis ini hanya di malam hari untuk semua mahasiswa yang kemalaman di kampus kita. Dedikasinya adalah ekspresi rasa cinta agar kejadian yang menimpa putri tercintanya tidak terulang kepada orang lain”.

Kata “cinta” sedang memenuhi benaknya kali ini. Lima bulan meninggalkan Tanah Airnya, Lawe rindu kepada tempat dimana ia menghabiskan sebagian besar umurnya. Di tengah segala pemberitaan sensasional media massa yang mengusung kredo “bad news is a good news”, jujur ia kangen suasana dimana ia dilahirkan dan tumbuh besar. Berita tentang korupsi, banjir tahunan, jalanan macet dan ketegangan sosial dari negaranya tak menghalangi kerianduannya akan sate ayam, durian, dan Masakan Padang kegemarannya. Yang jelas ia rindu keluarganya, tetangganya, sahabat-sahabat dekatnya dan lantunan azan lima kali sehari yang tidak ia jumpai di Canberra.

Perasaan itu menyembul-nyembul, seperti air bendungan yang meluap-luap. Dari pembicaraan-pembicaraan santai, perasaan itu pula yang sedang dirasakan oleh sahabat-sahabatnya. Cinta tanah air itu ibarat seorang anak yang terbiasa dengan bau alami ibunya. Bukankah sejak lahir, seorang anak yang diinisiasi memiliki kemampuan alamiah untuk menemukan sumber asupan ASI ibunya itu meski matanya belum bisa melihat. Al Quran memerintahkan seorang ibu menyusui anaknya sampai dua tahun, disinyalir bukan semata-mata demi asupan gizi, namun juga untuk membangun kedekatan batin seorang ibu dengan anaknya. Sebuah riset kedokteran meneliti tentang lebih efektifnya “metode Kanguru” untuk membesarkan anak yang dilahirkan prematur dengan memanfaatkan suhu tubuh sang ibu daripada alat inkubator buatan.

Lawe merasakan cinta tanah air itu seringkali tragis, karena para penyelenggara negara yang korup membuat negaranya tidak terlalu mempedulikan rakyatnya. Di Australia Lawe lebih suka menggunakan kata Indonesia, meskipun sebutan Indo terdengar lebih akrab di telinga. Rasa nasionalismenya muncul saat teringat bangsa lain yang banyak menampung para TKI kita menyebutkan kata “Indon” yang terdengar menyakitkan telinga. Kalau institusi negara adalah orangtua yang bertanggung jawab, apakah pembiaran mereka kepada para anaknya itu seperti anak-anak angsa Bernankle yang harus terjun dari ketinggian puluhan meter setelah setengah jam menetas. Rasanya tidak. Induk angsa Bernankle sengaja mengerami telurnya di tebing agar tidak dimangsa serigala, sementara pemerintah kurang memperhatikan anak-anak bangsa karena memang kurang perhatian dan rasa cinta. Negara menganggap mereka seperti anak tiri yang tidak perlu diberi kasih sayang.

Bagaimana tidak, beasiswa yang diterima Zay dari pemerintah dirasakan lebih seperti cobaan daripada sebuah anugerah. Datangnya selalu telat tiga sampai enam bulan, karena urusan birokrasi yang berbelit dan dengan bau korupsi yang menyengat. Teman Lawe di Wollongong University itu tidak bisa membiayai kehidupannya sendiri dan selalu terlambat membayar tuition fee. Tempat tinggal dan makanpun harus menumpang pada mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah asing atau biaya sendiri karena anak orang kaya. Akhirnya ia dipaksa keadaan untuk kerja sambilan, karena Dollar yang menipis. Kerja sebagai cleaner atau memetik jamur ia jalani di negeri Kanguru. Akhirnya ia harus menjalankan kredo, “full time work, part time study”. Dan orang seperti Zay banyak di Australia.

Si Johan harus kena DO karena uang beasiswa tak segera dikirim oleh pemerintah daerahnya. Hidup selalu dalam kondisi tertekan karena keterbatasan dana. Sudah banyak yang menjadi korban oleh sistem korup tersebut. Apakah karena uang dibungakan dulu oleh pihak-pihak tertentu, sehingga selalu terlambat datangnya. Atau mereka bekerja kalau ada sogokan, sehingga tak sungguh-sungguh bekerja karena tak mendapatkan persentase bagian. Seperti tabiat penjajah, bukan aparat pemerintahan profesional. Seharusnya pelayanan pemerintah itu bukan karena kebaikan hati, tetapi karena sudah menjadi tugasnya.

Di Nusantara biaya masuk fakultas kedokteran yang berkisar satu milyar rupiah tentu tidak terjangkau anak-anak pintar tapi miskin. Sistem Neoliberalisme yang kejam di bidang pendidikan telah membawa banyak korban. Lawe dulu punya beberapa teman yang kemampuan otaknya lebih tinggi, namun harus tergilas oleh sistem kapitalisme pendidikan sehingga berakhir menjadi kondektur bus karena kurang biaya untuk melanjutkan kuliah. Memang untuk maju itu harus punya semangat yang kuat, namun pemerintah sepertinya setengah hati membantu rakyatnya.

Bukankah dimasa Restorasi Meiji, kekaisaran Jepang bersemangat mengirimkan para pelajarnya ke negeri-negeri Barat yang telah maju pendidikannya. Mereka menciptakan orang-orang terpelajar yang akan membangun negeri Matahari Terbit itu. India adalah contoh negara miskin dengan jumlah profesor “terbanyak” di dunia. Negara maju seperti Australia memastikan orang-orang yang bermigrasi ke negaranya memberikan nilai tambah berupa brain inflow. Persyaratan bagi para pemohon Permanent Residence di Australia haruslah memenuhi kriteria seperti tingkat pendidikan dan syarat keahlian yang dimiliki. Pemerintah kurang memikirkan hal-hal semacam ini. Padahal, kalau anak-anak pintar itu tersalurkan semua, maka Nusantara akan jauh lebih maju dari sekarang ini.

Dari amatan Lawe, mahasiswa Iran di Australia terkenal sebagai the most ambitious student. Tak cukup dengan literatur yang disodorkan, mereka minta daftar literatur tambahan ke dosen untuk mengerjakan assignment mereka. Pewaris peradaban Persia itu tidak akan puas sebelum mendapatkan nilai High Distinction. Jika mahasiswa Kamboja, Vietnam, China begitu bersemangat, mahasiswa Malaysia terasa biasa saja. Sementara mahasiswa Arab terkenal paling malas, sebab meskipun gagal studi, mereka tetap akan dibiayai pemerintah mereka. Syaratnya, judul thesis tidak boleh kritis terhadap pemerintahnya. Mahasiswa Australia yang kebanyakan part time study terkenal pintar, meski beberapa diantaranya dibawah capaian mahasiswa asing. Mahasiswa India, Pakistan, Bangladesh terkenal paling rese saat mengerjakan tugas kelompok, tetapi rata-rata sangat pintar.

Di mata Lawe, mahasiswa Nusantara di Australia bisa bersaing dengan mahasiswa lainnya dari seluruh dunia. Mereka meneliti banyak hal yang akan sangat bermanfaat bagi kemajuan negara. Seorang kawan Lawe di University of Wollongong sedang melakukan penelitian dengan judul: Nanostructured-materials for Lithium Ion Battery di Institute for Superconducting and Electronic Materials (ISEM). Cita-cita tertingginya adalah membuat mobil listrik nasional dengan mempekerjakan kawan-kawannya yang ahli berbagai kemampuan teknis. Setidaknya, kalau bisa dipertemukan dengan produsen mobil listrik di Nusantara, maka ia bisa merancang batereinya sehingga tidak harus impor.

Boleh jadi produk yang dihasilkan anak bangsa tak langsung bagus kualitasnya, namun bukankah negara manapun juga melalui jalan yang sama. Korea atau China harus membelah mobil Jepang sebelum bisa meniru dan memproduksinya secara masal. Jika sudah bisa membuat merek kendaraan lokal dan bisa memasarkannya, maka industri komponen lokal juga akan melejit sesuai kebutuhan pasar. Intinya orang Nusantara yang memegang kendali, bukan asing. Sehingga kita tidak menjadi “bangsa kuli dan kuli diantara bangsa-bangsa” seperti ungkapan Bung Karno. Rasa inferior yang menganggap bangsanya belum mampu seperti itu yang membuat konsesi-konsesi pertambangan diobral kepada asing dengan bagian penerimaan negara yang mirip penerima zakat 2,5% itu.

Orang bilang kematian adalah bukti cinta yang tertinggi, karena kematian hanya sekali. Ada rasa ironis diluar logika atas pembuaktian cinta dengan kematian. Dulu para pemuda generasi 1945 ikhlas menyirami tanah Ibu Pertiwi dengan darah mereka demi melepaskan dari cengkeraman penjajahan Belanda. Bahkan negara lain memberikan medali kepada merpati, anjing, kuda dan kucing yang telah berjasa karena kepahlawanan mereka selama selama PD-II. Jangankan untuk menyerahkan nyawanya demi Negara, kini pemuda-pemudi kita ragu untuk membaktikan ilmunya jika mereka merasa negara ternyata tak mencintainya. Jika negara yang ia cintainya ternyata tak mengacuhkannya, maka rasa frustrasi akan menutup keinginan untuk menyumbangkan pikirannya bagi negerinya. Cinta memang seringkali bertepuk sebelah tangan.

@@@

 

 

Catatan kaki:

40 Takberiki dalam bahasa Jawa berarti “ditanduk”, padahal arti yang ingin disampaikan bahasa China-Jawa tersebut adalah “diberi sesuatu”.

41 Rumah merpati.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun