Sebenarnya bukan dia seorang yang berhadapan dengan sistem birokrasi yang tak berhati seperti itu. Beberapa olahragawan yang pernah mengharumkan nama bangsa tidak diperhatikan oleh negara saat kemiskinan melanda di masa tuanya. Seorang peraih medali emas balap sepeda Sea Games yang dulu kebanggan bangsa akhirnya menjadi seorang penarik becak di masa tuanya. Seorang petinju juara dunia yang pernah dipuja-puja seluruh bangsa berakhir kariernya menjadi petugas keamanan sebuah tempat hiburan malam.
Pertanyaannya kemudian, dimana kredo negara melindungi dan menyejahterakan segenap warga negaranya serta mengurusi fakir miskin dan anak terlantar seperti dikatakan oleh UUD. Yang terjadi malah keironisan setelah lebih seumuran manusia bangsa Nusantara merdeka dari penjajahan asing. Kemerdekaan administratif memang tak terlalu penting saat negara masih mewarisi watak penghisap dari penjajah sebelumnya seperti terjadi di banyak negara post-colonial, demikian inti penjelasan dosen public policy.
Namun, Ethan Zhang He sangat mencintai negerinya, seperti cinta Laksamana Ceng Ho yang berasal dari etnis Hui pada negeri Bangsa Han di daratan China. Cheng Ho akhirnya dipercaya menjadi laksamana armada kapal terbesar dalam sejarah yang membawa misi diplomatik dan perdamaian ke seluruh dunia, yang oleh Gavin Menzies dikatakan mendarat di Amerika jauh sebelum Columbus. Laksamana Cheng Ho yang muslim taat itu mengirimkan beberapa anak buahnya untuk menjadi ulama di Nusantara. Pengaruh China itu bisa dilihat dari keramik-keramik di makam para wali di tanah Jawa, seperti makam Sunan Bonang di pesisir Tuban.
Ethan tak paham kenapa kaumnya masih sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, mulai dari urusan birokrasi, pembatasan fasilitas pendidikan sampai menjadi pegawai negeri. Padahal dari bacaannya, sejarah di Nusantara tak lepas dari pengaruh China. Sejak berabad lalu pemukiman muslim China telah ada di Sembung (Cirebon), Ancol (Jakarta), Lasem, Tuban, Tse Tsun (Gresik) serta Cangki (Mojokerto). Dari catatan sejarah, Di era Majapahit telah terdapat masyarakat Cina dinasti Tang, muslim taat yang tinggal di ibukota kerajaan. Integrasi Tionghoa baik muslim maupun non-muslim di kota-kota pesisir Jawa itu turut memacu aktivitas perekonomian. Di Nusantara banyak makanan yang telah dianggap milik lokal adalah pengaruh dari China, seperti Bakso, Bakmi, Bakwan, Lumpia, Tahu, Bakpao, dan Bakpia. Kesenian ukiran di Jepara karena pengaruh ahli ukir China bernama Sun Ging.
Ethan merasa beruntung menemukan buku langka terbitan Monash University berjudul: “Chinese Muslims in Java”, tulisan H.J. de Graaf dan Th G Th. Pigeaut. Diceritakan di buku itu, bahwa pada puncak kejayaan Dinasti Ming (1368-1645), armada laut China dibawah Laksamana Haji Sam Po Bo berhasil menguasai Nanyang (Asia Tenggara). Armada itu juga berhasil menguasai Kukang (Palembang) yang telah beberapa puluh tahun dikuasai bajak laut dari Hokkian. Haji Sam Po Bo mengangkat pemimpin Tionghoa muslim di banyak wilayah, seperti di Champa (Vietnam), Manila dan Matan (Filiphina), Tuban, Palembang dan Sambas. Perkembangan komunitas muslim Tionghoa di Nusantara mendorong Dinasti Ming mengangkat Haji Ma Hong Fu sebagai duta besar pertama di Majapahit.
Dari catatan sejarah diketahui beberapa tokoh muslim Tionghoa menjadi pejabat kerajaan dari Majapahit, Demak, Mataram sampai Cirebon sebagai syahbandar dan kedudukan ekonomi lainnya seperti seorang Gan Eng Tju di Tuban dan Gan Eng Wan sebagai Bupati Majapahit pertama beragama Islam. Banyak ulama Nusantara adalah keturunan Tionghoa, terkait erat dengan Marga Gan yang ikut dalam ekspedisi Laksamana Haji Sam Po Bo dan Laksamana Cheng Ho. Mereka telah berhasil menerjemahkan al Quran kedalam bahasa Mandarin pada abad ke-17. Untuk menghargai jasa-jasa dua laksamana legendaris itu, sebuah klenteng yang dibangun di Semarang diberi nama Sam Po Kong dan beberapa masjid yang dibangun oleh masyarakat Tionghoa diberi nama Masjid Laksamana Cheng Ho.
Namun kemesraan hubungan Tionghoa-pribumi Jawa yang signifikan di abad 16 sampai 17 itu menurun sejak akhir abad ke-17. Penurunan derastis jumlah muslim Tinghoa telah menimbulkan ketegangan dengan komunitas Tionghoa non-muslim. Kondisi itu diperburuk dengan terjadinya perubahan politik di daratan China, dimana saat Dinasti Mancu menggantikan Dinasti Ming, Kaisar Sun Chih melakukan diskriminasi terhadap pemeluk islam sehingga tak ada lagi kasim istana beragama Islam. Pun imigran China yang datang ke Nusantara berikutnya didominasi oleh orang-orang Fukian, Kwang Ju dan Makau.
Yang paling memukul kondisi hubungan Tionghoa-Pribumi adalah kebijakan Belanda yang mencegah keduanya untuk berbaur karena munculnya banyak kaum peranakan. Mereka adalah kaum Tionghoa yang masuk islam, potong kuncir (taucang) dan menanggalkan celana komprang di penghujung abad ke-18 akibat trauma pembantaian di Batavia. Tionghoa yang terlanjur memeluk islam itu seperti di Batavia dan Madura itu lalu dikeluarkan dari permukiman pribumi dan dikembalikan ke wijk Tionghoa yang dipisah menjadi muslim dan non-muslim dengan masing-masing dipimpin seorang kapiten. Belanda juga mengeluarkan passenstalsel atau surat jalan keluar kota bagi Tionghoa untuk memastikan mereka membayar “pajak kepala” yang tinggi bagi kas Belanda.
Menurut Politiek Verslag Madoera, pada tahun 1865 tercatat 80 persen dari 5.302 penduduk Tionghoa yang menyebar di Sumenep, Sampang serta Pamekasan adalah muslim. Namun secara keseluruhan pada tahun-tahun menjelang Perang Jawa populasi Tionghoa muslim di Batavia dan kota-kota di Jawa jumlahnya pada titik paling rendah. Pada tahun 1827 posisi kapiten Muslim Tionghoa dihapus yang turut mendorong ketegangan-ketegangan dengan pribumi, sesuatu yang sangat dinikmati oleh Belanda. Pada Perang Jawa 1825-1830, posisi kaum Tionghoa yang terlanjur menjadi sumber dana dan logistik Belanda menjadi sasaran serangan pasukan Diponegoro, meskipun menurut catatan seorang petualang bernama Ong Tae Hae sejak awal perang banyak muslim Tionghoa bergabung dengan prajurit Jawa.
Membaca catatan sejarah itu Ethan Zhang He meneteskan air matanya, karena kecintaannya pada Tanah Air-nya itu hampir seperti sebuah cinta buta. Perasaan itu memang ironis, mirip laba-laba jantan the widow maker Australia yang rela dimakan oleh si betina setelah melakukan pembuahan. Atau seperti ikan Salmon jantan yang rela dimakan betinanya dalam prosesi bertelur tahunan, sebuah insting masokis hewani yang mengerikan, serta mengiris hati demi sebuah kecintaan dan keberlangsungan generasi. Bagaimanapun leluhurnya yang bermigrasi telah memilih Nusantara sebagai tanah airnya dan mulai menuliskan sejarah mereka. Ethan bersyukur telah terdapat banyak perkembangan positif di negaranya pasca reformasi, diantaranya adalah pengakuan atas etnisnya pada undang-undang kewarganegaraan.
Sebuah jajak pendapat tahun 2002 menyimpulkan bahwa Etnis keturunan Tionghoa jika diperlakukan setara dengan etnis lain akan merasa 100 persen orang Nusantara, tidak akan memaksakan terjun di dunia bisnis, akan masuk kedalam profesi lainnya termasuk di lembaga pemerintahan, pendidikan, politik, angkatan bersenjata, berasimilasi dengan pribumi lebih cepat, menikah dengan etnis lain termasuk menjadi mualaf, turut membantu mengentaskan kemiskinan dan lebih aktif dalam kegiatan sosial, semakin giat aktif dalam dunia olahraga untuk mengharumkan nama negara, tidak berlaku diskriminatif terhadap etnis lain yang bekerja di perusahaannya, akan mendorong semakin banyak pribumi yang terjun ke dunia bisnis dan menjadikan Nusantara negara yang lebih kuat dan bersatu.