Boleh jadi produk yang dihasilkan anak bangsa tak langsung bagus kualitasnya, namun bukankah negara manapun juga melalui jalan yang sama. Korea atau China harus membelah mobil Jepang sebelum bisa meniru dan memproduksinya secara masal. Jika sudah bisa membuat merek kendaraan lokal dan bisa memasarkannya, maka industri komponen lokal juga akan melejit sesuai kebutuhan pasar. Intinya orang Nusantara yang memegang kendali, bukan asing. Sehingga kita tidak menjadi “bangsa kuli dan kuli diantara bangsa-bangsa” seperti ungkapan Bung Karno. Rasa inferior yang menganggap bangsanya belum mampu seperti itu yang membuat konsesi-konsesi pertambangan diobral kepada asing dengan bagian penerimaan negara yang mirip penerima zakat 2,5% itu.
Orang bilang kematian adalah bukti cinta yang tertinggi, karena kematian hanya sekali. Ada rasa ironis diluar logika atas pembuaktian cinta dengan kematian. Dulu para pemuda generasi 1945 ikhlas menyirami tanah Ibu Pertiwi dengan darah mereka demi melepaskan dari cengkeraman penjajahan Belanda. Bahkan negara lain memberikan medali kepada merpati, anjing, kuda dan kucing yang telah berjasa karena kepahlawanan mereka selama selama PD-II. Jangankan untuk menyerahkan nyawanya demi Negara, kini pemuda-pemudi kita ragu untuk membaktikan ilmunya jika mereka merasa negara ternyata tak mencintainya. Jika negara yang ia cintainya ternyata tak mengacuhkannya, maka rasa frustrasi akan menutup keinginan untuk menyumbangkan pikirannya bagi negerinya. Cinta memang seringkali bertepuk sebelah tangan.
@@@
Catatan kaki:
40 Takberiki dalam bahasa Jawa berarti “ditanduk”, padahal arti yang ingin disampaikan bahasa China-Jawa tersebut adalah “diberi sesuatu”.
41 Rumah merpati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H