Mohon tunggu...
Nico Andrianto
Nico Andrianto Mohon Tunggu... -

Bersyukur dalam kejayaan, bersabar dalam cobaan......

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

#puzzle 12: Cinta bertepuk sebelah tangan

3 Januari 2016   09:52 Diperbarui: 3 Januari 2016   09:52 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabut putih menyelimuti seluruh Canberra pagi itu. Suhu mencapai empat derajat celsius pada pukul sembilan pagi, terasa menusuk hingga ke dalam tulang. Telstra Tower di puncak Black Mountain hanya terlihat puncaknya yang memuat antena-antena telekomunikasi yang seperti stupa Borobudur dalam versi ramping. Melewati jembatan yang membelah Lake Burley Griffin seakan mendapatkan sebuah teka-teki tentang surga atau neraka di depan sana, meski semua orang Canberra tahu Parliament House bersembunyi di balik kabut itu. Di depan jendela “National Geographic” kamarnya di Toadhall, Lawe merenungkan cerita Ahmad kemarin malam sepulang dari Menzies Library.

Kau tahu cerita menarik dari Bis tua yang kita tumpangi ini, Lawe?”, tanya Ahmad yang segera dijawab dengan gelengan kepala Lawe. Setelah menarik nafas dalam, Ahmad meneruskan penjelasannya yang mengular panjang, “Kau tahu bapak sopir di depan itu? Dia adalah orang tua dari seorang mahasiswi korban penculikan yang hilang di malam hari di area kampus kita ini. Kekecewaannya memuncak karena protesnya kepada para birokrat kampus atas kejadian yang menimpa anaknya itu seakan membentur batu. Pun polisi juga tidak mampu menemukan anaknya serta para penculiknya. Akhirnya dia berinisiatif membeli bis tua berwarna cokelat ini dan menuliskan nomor telepon agar bisa dihubungi. Ia mewakafkan dirinya mengoperasikan bis ini hanya di malam hari untuk semua mahasiswa yang kemalaman di kampus kita. Dedikasinya adalah ekspresi rasa cinta agar kejadian yang menimpa putri tercintanya tidak terulang kepada orang lain”.

Kata “cinta” sedang memenuhi benaknya kali ini. Lima bulan meninggalkan Tanah Airnya, Lawe rindu kepada tempat dimana ia menghabiskan sebagian besar umurnya. Di tengah segala pemberitaan sensasional media massa yang mengusung kredo “bad news is a good news”, jujur ia kangen suasana dimana ia dilahirkan dan tumbuh besar. Berita tentang korupsi, banjir tahunan, jalanan macet dan ketegangan sosial dari negaranya tak menghalangi kerianduannya akan sate ayam, durian, dan Masakan Padang kegemarannya. Yang jelas ia rindu keluarganya, tetangganya, sahabat-sahabat dekatnya dan lantunan azan lima kali sehari yang tidak ia jumpai di Canberra.

Perasaan itu menyembul-nyembul, seperti air bendungan yang meluap-luap. Dari pembicaraan-pembicaraan santai, perasaan itu pula yang sedang dirasakan oleh sahabat-sahabatnya. Cinta tanah air itu ibarat seorang anak yang terbiasa dengan bau alami ibunya. Bukankah sejak lahir, seorang anak yang diinisiasi memiliki kemampuan alamiah untuk menemukan sumber asupan ASI ibunya itu meski matanya belum bisa melihat. Al Quran memerintahkan seorang ibu menyusui anaknya sampai dua tahun, disinyalir bukan semata-mata demi asupan gizi, namun juga untuk membangun kedekatan batin seorang ibu dengan anaknya. Sebuah riset kedokteran meneliti tentang lebih efektifnya “metode Kanguru” untuk membesarkan anak yang dilahirkan prematur dengan memanfaatkan suhu tubuh sang ibu daripada alat inkubator buatan.

Lawe merasakan cinta tanah air itu seringkali tragis, karena para penyelenggara negara yang korup membuat negaranya tidak terlalu mempedulikan rakyatnya. Di Australia Lawe lebih suka menggunakan kata Indonesia, meskipun sebutan Indo terdengar lebih akrab di telinga. Rasa nasionalismenya muncul saat teringat bangsa lain yang banyak menampung para TKI kita menyebutkan kata “Indon” yang terdengar menyakitkan telinga. Kalau institusi negara adalah orangtua yang bertanggung jawab, apakah pembiaran mereka kepada para anaknya itu seperti anak-anak angsa Bernankle yang harus terjun dari ketinggian puluhan meter setelah setengah jam menetas. Rasanya tidak. Induk angsa Bernankle sengaja mengerami telurnya di tebing agar tidak dimangsa serigala, sementara pemerintah kurang memperhatikan anak-anak bangsa karena memang kurang perhatian dan rasa cinta. Negara menganggap mereka seperti anak tiri yang tidak perlu diberi kasih sayang.

Bagaimana tidak, beasiswa yang diterima Zay dari pemerintah dirasakan lebih seperti cobaan daripada sebuah anugerah. Datangnya selalu telat tiga sampai enam bulan, karena urusan birokrasi yang berbelit dan dengan bau korupsi yang menyengat. Teman Lawe di Wollongong University itu tidak bisa membiayai kehidupannya sendiri dan selalu terlambat membayar tuition fee. Tempat tinggal dan makanpun harus menumpang pada mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah asing atau biaya sendiri karena anak orang kaya. Akhirnya ia dipaksa keadaan untuk kerja sambilan, karena Dollar yang menipis. Kerja sebagai cleaner atau memetik jamur ia jalani di negeri Kanguru. Akhirnya ia harus menjalankan kredo, “full time work, part time study”. Dan orang seperti Zay banyak di Australia.

Si Johan harus kena DO karena uang beasiswa tak segera dikirim oleh pemerintah daerahnya. Hidup selalu dalam kondisi tertekan karena keterbatasan dana. Sudah banyak yang menjadi korban oleh sistem korup tersebut. Apakah karena uang dibungakan dulu oleh pihak-pihak tertentu, sehingga selalu terlambat datangnya. Atau mereka bekerja kalau ada sogokan, sehingga tak sungguh-sungguh bekerja karena tak mendapatkan persentase bagian. Seperti tabiat penjajah, bukan aparat pemerintahan profesional. Seharusnya pelayanan pemerintah itu bukan karena kebaikan hati, tetapi karena sudah menjadi tugasnya.

Di Nusantara biaya masuk fakultas kedokteran yang berkisar satu milyar rupiah tentu tidak terjangkau anak-anak pintar tapi miskin. Sistem Neoliberalisme yang kejam di bidang pendidikan telah membawa banyak korban. Lawe dulu punya beberapa teman yang kemampuan otaknya lebih tinggi, namun harus tergilas oleh sistem kapitalisme pendidikan sehingga berakhir menjadi kondektur bus karena kurang biaya untuk melanjutkan kuliah. Memang untuk maju itu harus punya semangat yang kuat, namun pemerintah sepertinya setengah hati membantu rakyatnya.

Bukankah dimasa Restorasi Meiji, kekaisaran Jepang bersemangat mengirimkan para pelajarnya ke negeri-negeri Barat yang telah maju pendidikannya. Mereka menciptakan orang-orang terpelajar yang akan membangun negeri Matahari Terbit itu. India adalah contoh negara miskin dengan jumlah profesor “terbanyak” di dunia. Negara maju seperti Australia memastikan orang-orang yang bermigrasi ke negaranya memberikan nilai tambah berupa brain inflow. Persyaratan bagi para pemohon Permanent Residence di Australia haruslah memenuhi kriteria seperti tingkat pendidikan dan syarat keahlian yang dimiliki. Pemerintah kurang memikirkan hal-hal semacam ini. Padahal, kalau anak-anak pintar itu tersalurkan semua, maka Nusantara akan jauh lebih maju dari sekarang ini.

Dari amatan Lawe, mahasiswa Iran di Australia terkenal sebagai the most ambitious student. Tak cukup dengan literatur yang disodorkan, mereka minta daftar literatur tambahan ke dosen untuk mengerjakan assignment mereka. Pewaris peradaban Persia itu tidak akan puas sebelum mendapatkan nilai High Distinction. Jika mahasiswa Kamboja, Vietnam, China begitu bersemangat, mahasiswa Malaysia terasa biasa saja. Sementara mahasiswa Arab terkenal paling malas, sebab meskipun gagal studi, mereka tetap akan dibiayai pemerintah mereka. Syaratnya, judul thesis tidak boleh kritis terhadap pemerintahnya. Mahasiswa Australia yang kebanyakan part time study terkenal pintar, meski beberapa diantaranya dibawah capaian mahasiswa asing. Mahasiswa India, Pakistan, Bangladesh terkenal paling rese saat mengerjakan tugas kelompok, tetapi rata-rata sangat pintar.

Di mata Lawe, mahasiswa Nusantara di Australia bisa bersaing dengan mahasiswa lainnya dari seluruh dunia. Mereka meneliti banyak hal yang akan sangat bermanfaat bagi kemajuan negara. Seorang kawan Lawe di University of Wollongong sedang melakukan penelitian dengan judul: Nanostructured-materials for Lithium Ion Battery di Institute for Superconducting and Electronic Materials (ISEM). Cita-cita tertingginya adalah membuat mobil listrik nasional dengan mempekerjakan kawan-kawannya yang ahli berbagai kemampuan teknis. Setidaknya, kalau bisa dipertemukan dengan produsen mobil listrik di Nusantara, maka ia bisa merancang batereinya sehingga tidak harus impor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun