Mohon tunggu...
Nicholas Andhika Lucas
Nicholas Andhika Lucas Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ancaman Keutuhan Persatuan di Masa Sekarang

6 Desember 2022   22:04 Diperbarui: 6 Desember 2022   22:08 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Keberagaman merupakan identitas khas dari masyarakat Nusantara dari zaman dahulu. Wilayah Nusantara, yang sekarang kita kenal sebagai negara Indonesia, pada awalnya terpisah oleh wilayah perbedaan etnisme, dan perbedaan kebudayaan. 

Namun, catatan sejarah membuktikan bahwa keberagaman mampu menjadi alat pemersatu bangsa yang mempersatukan wilayah Nusantara menjadi satu kesatuan. Catatan sejarah terdahulu menyebutkan bahwa di puncak Kerajaan Majapahit pada abad ke-14, Hayam Wuruk mampu mempersatukan wilayah kekuasaan Majapahit yang mencakupi Nusantara dan Malaysia di tengah keberagaman. Berkaca dari sejarah ini, Nusantara kembali berhasil dipersatukan menjadi negara Indonesia, berlandaskan Pancasila dengan semboyannya: "Bhinneka Tunggal Ika".

Terbentuknya negara Indonesia bukanlah suatu fenomena yang mudah dan dengan sekejap terjadi, tetapi melalui proses pembentukan bangsa yang penuh akan perjuangan dan tumpah darah. Adanya kesadaran segenap bangsa baru muncul setelah adanya penjajahan bangsa asing. Dilatarbelakangi oleh kesamaan latar belakang dan nasib, kesadaran inilah yang mendorong Nusantara untuk bersatu demi tujuan yang sama, yaitu kemerdekaan bersama sebagai negara Indonesia. 

Apabila kita bercermin kembali ke sejarah, masa kebangkitan nasional yang ditandai dengan berdirinya organisasi modern di Indonesia menjadi awal terdorongnya pergerakan menuju kemerdekaan yang berdasarkan nasionalisme dan persatuan. Persatuan di Indonesia diteguhkan dengan peristiwa Sumpah Pemuda pada tahun 1928 yang mempersatukan pemuda Indonesia dengan berbagai latar belakang yang berbeda. 

Isi dari Sumpah Pemuda, sebagai perjanjian leluhur, menjadi asas bagi perkumpulan dan perjuangan kebangsaan, yang berdasarkan kesamaan tanah air, bangsa, dan bahasa. Asas akan persatuan tersebut dicetuskan di dalam Pancasila, sebagai dasar negara yang nilai-nilainya menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, dijunjung oleh Pancasila dan UUD 1945, persatuan di Indonesia mampu terjaga dan dilestarikan.

Indonesia sendiri merupakan wilayah yang sangat luas dan bersifat kepulauan, apabila kita tinjau berdasarkan letak geografisnya. Kepulauan wilayah Indonesia terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia, serta di antara Samudra Hindia dan Samudera Pasifik. 

Karena letak Indonesia yang strategis, Indonesia berada di tengah-tengah persilangan jalur perdagangan internasional. Hal ini berpengaruh terhadap peradaban kebudayaan yang masuk ke dalam negara kita. Berkat adanya pedagang asing yang masuk ke wilayah Nusantara, agama dan budaya asing mampu berkembang dan berasimilasi ke dalam penduduk setempat yang berkontribusi terhadap keragaman Indonesia yang sekarang kita rasakan. Bentuk dari wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan pula mempengaruhi persebaran dan kebudayaan yang ada di indonesia

Setiap daerah memiliki suku asli, kepercayaan yang mendominasi, bahasa dan kebudayaan khas daerah tersendiri, serta perbedaan orientasi wilayah, dari perbukitan hingga daerah pesisir pantai yang membedakan kegiatan ekonominya. Letak geografis negara Indonesia menjadi faktor pendukung akan munculnya kemajemukan dan keberagaman.

Namun nyatanya, dalam perjalanan berdirinya negara Indonesia hingga zaman sekarang, keutuhan persatuan negara beberapa kali mengalami ancaman dan hambatan. Penyebab fenomena tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa faktor internal dan eksternal, tetapi secara khususnya ancaman keutuhan persatuan negara terbesar adalah kita adalah kekuatan terbesar kita, yaitu keberagaman yang melengkapi satu sama lain. Apabila kita tidak mampu menerima perbedaan, hal yang wajar muncul di negara multikultural seperti Indonesia, maka sikap menolak inilah yang akan melahirkan diskriminasi terhadap golongan tertentu, yang berujung pada konflik dan mengancam runtuhnya persatuan Indonesia.

Mempertimbangkan latar belakang dari permasalahan ini, kami merumuskan hipotesis bahwa ancaman keutuhan persatuan Indonesia adalah segala bentuk tindak diskriminatif dan intoleran terhadap golongan tertentu dengan alasan apapun yang berujung pada konflik.

Persoalan akan persatuan di tengah keberagaman di Indonesia lebih mengarah kepada realita sosial yang memperlihatkan bentuk diskriminasi dan intoleransi terhadap perbedaan yang ada di dalam masyarakat. Diskriminasi ini disebabkan oleh 2 hal, yaitu stereotipe dan prasangka. 

Stereotipe adalah kecenderungan penilaian atau generalisasi dari suatu kelompok masyarakat yang didasarkan pada karakteristiknya, seperti ras, suku bangsa, atau perilaku. Sedangkan, menurut Baron dan Byrne (2004), prasangka dalam sosiologi adalah sikap negatif terhadap anggota kelompok tertentu, semata-mata berdasarkan keanggotaan mereka di dalam kelompok sehingga menilai anggota lain dengan pandangan negatif yang sama. 

Adanya prasangka yang tercipta dalam masyarakat akan melahirkan stereotipe atas kelompok masyarakat tertentu, didasari dari persetujuan pandangan orang banyak mengenai kelompok tersebut yang cenderung negatif. Seperti yang disebutkan Dr Bondan Kanumoyoso, M.Hum, selaku Dekan FIB UI, inti dari penyebab perpecahan bangsa adalah adanya generalisasi atau stereotipe dan prasangka.        

Ancaman terhadap keutuhan persatuan ini dapat terjadi kapanpun dan dimanapun. Berkaca kembali ke masa lalu, Indonesia sempat mengalami perlawanan dari dalam negeri dalam bentuk pendirian negara baru, ditujukan untuk mengubah ideologi Pancasila yang berlandaskan persatuan bangsa, walaupun pada akhirnya dapat ditumpaskan. Partai Komunis Indonesia sudah melakukan upaya pemberontakan sebanyak 2 kali, pertama pada tahun 1948, dan kedua pada tahun 1965, peristiwa yang kita kenal sebagai G30S/PKI. Sedangkan, Organisasi HTI dibubarkan pada tahun 2017 silam karena keinginan mereka untuk menggantikan ideologi Pancasila menjadi khalifah Islam. Kedua pemberontakan ini memiliki motif yang sama, yaitu penggulingan pemerintahan untuk menggantikan ideologi Pancasila menjadi komunisme.

Sedangkan, era reformasi sekarang juga tidak terlepas dari adanya ancaman persatuan bangsa. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 menjadi titik penting dalam pengajian ulang HAM di negara Indonesia. Hal ini bukanlah tanpa sebab. Dalam peristiwa tersebut, penduduk Indonesia beretnis Tionghoa menjadi subjek dari diskriminasi dan pelanggaran HAM akibat tuduhan-tuduhan semata yang tidak sepenuhnya benar. Kejadian ini dikenal juga dengan kerusuhan tahun 98. 

Akibatnya, muncul perpecahan negara yang berbau etnis dalam bentuk rasisme, pelecehan verbal, dan penyerangan ditujukan terhadap kaum beretnis Tionghoa. Tidak hanya etnisme, tetapi agama juga menjadi subjek dari diskriminasi di Indonesia. 

Tahun 2021 silam, Persatuan Gereja Gereja Jayapura (PGGJ) menolak untuk merenovasi Masjid Raya Al-Aqsha di Sentani, Papua, sebagai wilayah yang mayoritas didominasi penganut agama nasrani. Setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, permasalahan dari isu ini adalah sebagian umat Kristen di Jayapura yang menolak tempat ibadah lain di instansi pemerintah. 

Hal ini berujung pada penolakan pembangunan masjid dan sikap diskriminatif terhadap agama lain dalam masyarakat setempat, seperti melarang siswi untuk memakai jilbab di sekolah. Padahal, jilbab adalah busana yang wajib dikenakan oleh wanita untuk setiap saat -kecuali beristirahat - dalam hukum agama Islam.

Kasus-kasus dari ancaman persatuan negara yang disebutkan ini, walaupun berhasil ditumpaskan, menunjukkan bahwa intoleransi bukanlah hal yang asing di Indonesia. Sikap intoleransi dan diskriminasi sudah terjerumus ke dalam masyarakat Indonesia, baik itu dalam skala kecil maupun besar, dan berpotensi mengakibatkan disrupsi akan integrasi nasional. Untuk mempertahankan eksistensi negara Indonesia, kita harus meninjau fenomena ini dengan landasan nilai-nilai Pancasila.

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Dr Bondan Kanumoyoso, M.Hum, selaku Dekan FIB UI, setiap zaman akan menghadapi masalahnya sendiri, di mana sekarang kita menghadapi permasalahan disintegrasi dan konflik berbau SARA. Oleh karena itu, kita harus kembali berpatokan pada Pancasila, sebagai norma dasar dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap perilaku perbuatan kita dalam kehidupan sehari-hari harus sesuai dengan pokok nilai kelima sila Pancasila, yang berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kedaulatan dan kebebasan berpendapat, serta keadilan. 

Dengan demikian, untuk mewujudkan kehidupan yang berlandaskan Pancasila ini, Pancasila harus dipahami, diakui, dan dihormati keberadaannya sebelum bisa diamalkan. Tanpa adanya pengakuan tersebut, maka seseorang akan menyimpang dari nilai-nilai Pancasila dan lebih mudah terpapar dengan perilaku atau pemahaman yang bersifat intoleran dan diskriminatif. Sayangnya, melihat kembali peristiwa diskriminatif yang masih terjadi akhir-akhir ini, pengamalan nilai Pancasila belum sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, tidak ada alasan apapun yang dapat membenarkan diskriminasi terhadap golongan tertentu, termasuk agama. Hal ini terutama penting di negara seperti Indonesia yang memiliki kemajemukan dalam kepercayaan. Menurut data terakhir dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil pada tanggal 30 Juni 2022, dari jumlah penduduk sebanyak 275.361.267, persebaran agama di Indonesia terdiri atas sekitar 85% agama Islam, sedangkan Katolik mengambil 3%, dan sisanya meliputi agama Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan aliran - aliran agama lainnya.

Namun, seringkali agama menjadi sumber perpecahan akibat adanya perbedaan tradisi, hukum, maupun kepercayaan. Di negara Indonesia sendiri, isu agama yang rawan terjadi adalah konflik berbau perbedaan antara agama Islam dengan Katolik. 

Fenomena sosial ini bukanlah sesuatu yang baru dan hanya terjadi di Indonesia, tetapi sudah terjadi dari zaman dahulu. Catatan sejarah menyebutkan bahwa dari tahun 1095 sampai 1291, terjadi Perang Salib, yaitu perang antara masyarakat beragama Islam dengan agama Kristiani untuk merebut kekuasaan yang terjadi di kawasan Eropa dan Timur Tengah. Padahal sebenarnya, kedua agama tersebut memiliki tujuan yang sama walaupun berbeda secara tradisi, yaitu untuk mengajarkan kebaikan bagi penganutnya dan mengarahkannya ke jalan yang benar, agar dapat diselamatkan di Akhirat.

Dokumen gereja yang mendukung gagasan tersebut dimuat dalam ensiklik ketiga, Fratelli Tutti, yang berisi pesan Paus Fransiskus kepada dunia teruntuk kaum kristiani. Isi pesan tersebut adalah agar kita kembali berkomunikasi berinteraksi bersosialisasi dengan orang-orang kristiani maupun non-kristiani, terhubung dengan siapa saja tanpa memikirkan adanya perbedaan. Seiring berkembangnya zaman, ada hal yang membuat kita menarik diri, kembali ke habitat dan memisahkan diri dari orang lain, seakan-akan ada tembok besar yang kembali memisahkan kita. Menurut Paus Fransiskus, teknologi adalah pencetus utamanya.

Dokumen gereja selanjutnya adalah Nostra Aetate, yang menyinggung pandangan gereja mengenai ajaran di luar Gereja. Katolik memang tidak membenarkan semua ajaran di luar ajaran Katolik, tetapi belum tentu ajaran tersebut salah dan hanyalah masalah perbedaan sudut pandang saja. Semua orang mempunyai pegangannya masing-masing dan pandangan yang bermacam-macam. Oleh karena itu, kita hanya menentukan bagaimana kita menilainya dari sudut pandang kita. Dokumen ini juga menekankan bahwa orientasi keagamaan harus ditujukan kepada nilai kemanusiaan, dan sebagai sesama kita manusia, kita harus menganggap orang lain sebagai keluarga.

Toleransi juga diajarkan didalam agama Islam. Ajaran-ajaran tentang toleransi ini termuat di Al Qur'an Qs Al-Baqarah: 256 yang berisi:

"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus."

Bacaan ini menjelaskan bahwa agama Islam sesungguhnya tidak memaksa semua agama harus seperti agama Islam, selama agama itu masih beriman kepada Tuhan Allah, atau dalam artian lain agama yang tidak sesat dan menyimpang. Hal ini demikian karena kebebasan beragama merupakan salah 1 bagian dari penghormatan terhadap hak-hak manusia yang paling dasar.

Tidak hanya itu, surat Al Kafirun Ayat 1-6 menegaskan bahwa Allah SWT menekankan tentang toleransi, dimana semua orang mempunyai kebebasan beragama dan tidak dapat mencampuri urusan agama lain. Surat tersebut berbunyi sebagai berikut:

"Katakanlah (Muhammad), "Wahai orang-orang kafir! aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

Penyebab terjadinya konflik keagamaan dapat disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan agama sendiri maupun agama orang lain akibat perbedaan sudut pandang. Adanya fenomena tersebut layaknya akan menyebabkan kesalahan penafsiran dari hukum keagamaan maupun pandangan yang tidak sesuai dengan agama sendiri. Oleh karena itu, alangkah baiknya kita mampu mempertahankan persatuan dan hidup bersama dengan kepercayaan yang berbeda, selayaknya dari kunjungan penulis ke Pondok Pesantren Al-Tajdid, kita sebagai umat non-muslim mampu diterima dan berbaur bersama dengan lingkungan setempat.

Tidak hanya itu, tetapi kesenjangan sosial tanpa kita sadari dapat membuahkan diskriminasi atas dasar perbedaan kasta sosial. Kesenjangan sosial adalah fenomena ketidakseimbangan dalam masyarakat yang mengakibatkan perbedaan drastis, secara khususnya perbedaan penghasilan dari masyarakat kelas atas dan kelas bawah. Adanya kesenjangan ini disebabkan berbagai faktor, seperti tidak meratanya pembangunan atau tertutupnya lapangan pekerjaan bagi masyarakat kelas bawah. Fenomena kesenjangan sosial ini menjadi salah satu sumber sikap diskriminatif dan generalisasi akibat perbedaan dari segi ekonomi.

Secara jangka panjang, ancaman persatuan negara yang diwujudkan dalam bentuk konflik diskriminatif akan berpotensi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, ditinjau dari perkembangan perekonomian dan pariwisata dari suatu daerah. Mengambil contoh salah satu peristiwa terkelam dalam sejarah Indonesia, peristiwa Bom Bali 2002, kita mampu menemukan dahsyatnya pengaruh konflik dan destabilitas keamanan terhadap perekonomian negara. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi balas dendam dari teroris atas konflik di Ambon dan Poso yang menyebabkan terbunuhnya sejumlah umat Muslim.

Pengaruh pertama adalah perekonomian daerah terpukul secara drastis dan menghilangkan lapangan pekerjaan. Pekerja di kawasan Legian Kuta Bali yang terkena jangkauan ledakan bom terpaksa kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Sektor pariwisata sebagai tulang punggung perekonomian di Bali terpukul akibat ketakutan wisatawan untuk mengunjungi Bali, bahkan dilarang oleh negara tertentu. Akibat merosotnya wisatawan, jumlah tamu hotel di 8 kawasan wisata Bali merosot secara drastis hingga mencapai 99%, mengakibatkan tingkat hunian hotel rata-rata menjadi 1,13% dari jumlah kamar yang tersedia. Kemudian, berdasarkan penelitian oleh Ni Wayan Suriastini di UGM Yogyakarta (2010), terjadi peningkatan jumlah pengangguran sebanyak 3,5%, penurunan upah sebanyak 47%, dan pendapatan rumah tangga menurun sebanyak 22,6% pasca terjadinya peristiwa Bom Bali.

Lalu, pengaruh kedua adalah penurunan harga saham di pasar modal. Ketidakstabilan keamanan dari suatu negara menjadi penyebab utama kecemasan investor yang berujung kepada penarikan modal atau penjualan panik saham miliknya. Pasca tragedi Bom Bali 2002, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta mengalami penurunan sebesar 10%, dari level 376,46 ke 337,47.

Melalui analisis permasalahan yang telah dilakukan, akar permasalahan dari ancaman keutuhan persatuan Indonesia dapat dirumuskan menjadi:

  1. Kurangnya penghargaan dan pengamalan terhadap nilai Pancasila
  2. Kurangnya toleransi terhadap golongan tertentu

Sedangkan, penyebab dari ancaman keutuhan persatuan Indonesia tersebut adalah:

  • Kurangnya pemahaman akan orang lain
  • Pandangan pribadi yang sempit dan tidak menerima perbedaan
  • Adanya generalisasi atau stereotipe terhadap golongan tertentu

Untuk mencegah ancaman ini semakin berkembang dan meruntuhkan persatuan bangsa kita, pertama-tama kita harus kembali merujuk ke Pancasila yang memegang nilai-nilai leluhur bangsa, sebagaimana dijelaskan oleh Dr Bondan. Dengan meluruskan pandangan hidup kita sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, maka kita akan terhindar dari kemungkinan menyimpang ke sikap diskriminatif dan intoleran.

 Solusi ini tentunya tidak dapat berjalan tanpa adanya dukungan dari seluruh pihak, sehingga baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat harus bekerja bersama dengan pemerintahan untuk aktif berperan dalam terus menjunjung tinggi nilai Pancasila dan kebhinekaan. 

Dengan demikian, nilai Pancasila dan kebhinekaan harus dibimbing kepada generasi muda sejak dini. Solusi ini digerakkan baik oleh lembaga pendidikan maupun lingkungan masyarakat dan keluarga. Kita dapat meneladani bagaimana pondok pesantren bawahan Muhammadiyah mendidik siswanya akan nilai kebhinekaan, pentingnya persatuan dalam bangsa, dan menghargai keberagaman di antara sesama. 

Sebagaimana dijelaskan oleh Ustad Yusep dalam wawancara yang dilakukan penulis selama di Pondok Pesantren Al-Tajdid. Beliau juga berpesan bahwa kita sebagai generasi muda memiliki peran penting untuk terus mendalami keberagaman dan terus menggerakkan tongkat persatuan di dalam negeri ini.

Solusi kedua adalah untuk mampu memahami orang lain dan menjalankan silaturahmi dengan mereka. Solusi ini disugesti oleh para santri di Pondok Pesantren Al-Tajdid yang penulis wawancarai. Sebagai anggota masyarakat di tengah-tengah perbedaan, kita harus sadar bahwa orang-orang lain di sekitar kita memiliki perbedaan. 

Kita harus terlebih dahulu memahami mereka, apa yang mereka pikirkan, rasakan, apa sudut pandang mereka, dan apa latar belakang dari mereka. Banyak kasus intoleransi terjadi akibat kegagalan masyarakat untuk menyadari bahwa perbedaan pasti akan muncul, sehingga kita tidak boleh menyamakan cara pandang kita dengan orang lain. Setelah kita mampu memahami dan berempati dengan orang lain, kemudianlah kita menjaga tali persaudaraan antar sesama. Dengan demikian, keutuhan persatuan negara kita dapat terjaga.

 Keutuhan persatuan di Indonesia yang terbentuk di atas keberagamannya berasal dari kesadaran segenap bangsa pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan dikokohkan dalam dasar negara Pancasila serta semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Namun, keutuhan persatuan leluhur ini mengalami ancaman yang bersifat diskriminatif dan intoleran dari dalam negeri sendiri, disebabkan oleh kurangnya pengamalan nilai Pancasila dan toleransi terhadap sesama. 

Apabila tidak dicegah dari sekarang, pengaruh ancaman ini akan meluas ke aspek kehidupan lain, mulai dari politik, sosial, keamanan, budaya, hingga ekonomi. Oleh karena itu, masyarakat dan pemerintah harus bekerja sama untuk terus menjunjung tinggi toleransi dan menumbuhkan nilai Pancasila serta kebhinekaan. Untuk terus mempertahankan negara tercinta kita, marilah kita aktif menjaga persatuan dan toleransi.-muslim mampu diterima dan berbaur bersama dengan lingkungan setempat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun