Stereotipe adalah kecenderungan penilaian atau generalisasi dari suatu kelompok masyarakat yang didasarkan pada karakteristiknya, seperti ras, suku bangsa, atau perilaku. Sedangkan, menurut Baron dan Byrne (2004), prasangka dalam sosiologi adalah sikap negatif terhadap anggota kelompok tertentu, semata-mata berdasarkan keanggotaan mereka di dalam kelompok sehingga menilai anggota lain dengan pandangan negatif yang sama.
Adanya prasangka yang tercipta dalam masyarakat akan melahirkan stereotipe atas kelompok masyarakat tertentu, didasari dari persetujuan pandangan orang banyak mengenai kelompok tersebut yang cenderung negatif. Seperti yang disebutkan Dr Bondan Kanumoyoso, M.Hum, selaku Dekan FIB UI, inti dari penyebab perpecahan bangsa adalah adanya generalisasi atau stereotipe dan prasangka.
Ancaman terhadap keutuhan persatuan ini dapat terjadi kapanpun dan dimanapun. Berkaca kembali ke masa lalu, Indonesia sempat mengalami perlawanan dari dalam negeri dalam bentuk pendirian negara baru, ditujukan untuk mengubah ideologi Pancasila yang berlandaskan persatuan bangsa, walaupun pada akhirnya dapat ditumpaskan. Partai Komunis Indonesia sudah melakukan upaya pemberontakan sebanyak 2 kali, pertama pada tahun 1948, dan kedua pada tahun 1965, peristiwa yang kita kenal sebagai G30S/PKI. Sedangkan, Organisasi HTI dibubarkan pada tahun 2017 silam karena keinginan mereka untuk menggantikan ideologi Pancasila menjadi khalifah Islam. Kedua pemberontakan ini memiliki motif yang sama, yaitu penggulingan pemerintahan untuk menggantikan ideologi Pancasila menjadi komunisme.
Sedangkan, era reformasi sekarang juga tidak terlepas dari adanya ancaman persatuan bangsa. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 menjadi titik penting dalam pengajian ulang HAM di negara Indonesia. Hal ini bukanlah tanpa sebab. Dalam peristiwa tersebut, penduduk Indonesia beretnis Tionghoa menjadi subjek dari diskriminasi dan pelanggaran HAM akibat tuduhan-tuduhan semata yang tidak sepenuhnya benar. Kejadian ini dikenal juga dengan kerusuhan tahun 98.
Akibatnya, muncul perpecahan negara yang berbau etnis dalam bentuk rasisme, pelecehan verbal, dan penyerangan ditujukan terhadap kaum beretnis Tionghoa. Tidak hanya etnisme, tetapi agama juga menjadi subjek dari diskriminasi di Indonesia.
Tahun 2021 silam, Persatuan Gereja Gereja Jayapura (PGGJ) menolak untuk merenovasi Masjid Raya Al-Aqsha di Sentani, Papua, sebagai wilayah yang mayoritas didominasi penganut agama nasrani. Setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, permasalahan dari isu ini adalah sebagian umat Kristen di Jayapura yang menolak tempat ibadah lain di instansi pemerintah.
Hal ini berujung pada penolakan pembangunan masjid dan sikap diskriminatif terhadap agama lain dalam masyarakat setempat, seperti melarang siswi untuk memakai jilbab di sekolah. Padahal, jilbab adalah busana yang wajib dikenakan oleh wanita untuk setiap saat -kecuali beristirahat - dalam hukum agama Islam.
Kasus-kasus dari ancaman persatuan negara yang disebutkan ini, walaupun berhasil ditumpaskan, menunjukkan bahwa intoleransi bukanlah hal yang asing di Indonesia. Sikap intoleransi dan diskriminasi sudah terjerumus ke dalam masyarakat Indonesia, baik itu dalam skala kecil maupun besar, dan berpotensi mengakibatkan disrupsi akan integrasi nasional. Untuk mempertahankan eksistensi negara Indonesia, kita harus meninjau fenomena ini dengan landasan nilai-nilai Pancasila.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Dr Bondan Kanumoyoso, M.Hum, selaku Dekan FIB UI, setiap zaman akan menghadapi masalahnya sendiri, di mana sekarang kita menghadapi permasalahan disintegrasi dan konflik berbau SARA. Oleh karena itu, kita harus kembali berpatokan pada Pancasila, sebagai norma dasar dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap perilaku perbuatan kita dalam kehidupan sehari-hari harus sesuai dengan pokok nilai kelima sila Pancasila, yang berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kedaulatan dan kebebasan berpendapat, serta keadilan.
Dengan demikian, untuk mewujudkan kehidupan yang berlandaskan Pancasila ini, Pancasila harus dipahami, diakui, dan dihormati keberadaannya sebelum bisa diamalkan. Tanpa adanya pengakuan tersebut, maka seseorang akan menyimpang dari nilai-nilai Pancasila dan lebih mudah terpapar dengan perilaku atau pemahaman yang bersifat intoleran dan diskriminatif. Sayangnya, melihat kembali peristiwa diskriminatif yang masih terjadi akhir-akhir ini, pengamalan nilai Pancasila belum sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, tidak ada alasan apapun yang dapat membenarkan diskriminasi terhadap golongan tertentu, termasuk agama. Hal ini terutama penting di negara seperti Indonesia yang memiliki kemajemukan dalam kepercayaan. Menurut data terakhir dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil pada tanggal 30 Juni 2022, dari jumlah penduduk sebanyak 275.361.267, persebaran agama di Indonesia terdiri atas sekitar 85% agama Islam, sedangkan Katolik mengambil 3%, dan sisanya meliputi agama Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan aliran - aliran agama lainnya.