Mohon tunggu...
EKASRIWIDIANI
EKASRIWIDIANI Mohon Tunggu... Arsitek - mahasiswa

bermain music

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nilai Tradisi Umat Hindu dalam Perayaan Nyepi di Bali

13 Maret 2024   16:06 Diperbarui: 23 Maret 2024   07:48 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk mendapatkan data yang spesifik, maka tahapan dalam penelitian ini dimulai dari penentuan subjek. Subjek dalam penelitian ini adalah akademisi yang mengetahui secara teoretis tentang upacara Nyepi serta keterkaitan antara Nyepi dengan pendidikan multikultur. Teknik pengumpulan data diperoleh dengan melakukan observasi, wawacara, dan studi dokumen. Observasi bertujuan untuk melakukan pengamatan mengenai prosesi sebelum pelaksanaan Nyepi dan sesudah pelaksanaan Nyepi, ada aspek apresiasi sosial yang ditunjukkan oleh setiap individu dalam ruang sosial yang majemuk. Wawancara bertujuan untuk mengumpulkan data berkaitan dengan keberadaan upacara Nyepi yang bertujuan untuk membentuk sikap menghargai ataupun toleransi sebagai bentuk praksis pendidikan multikultural. Dan studi dokumen bertujuan untuk menganalisis sumber yang dipergunakan untuk menafsirkan aspek pelaksanaan Nyepi dalam proses internalisasi pendidikan multikultur. Metode analisis data terdiri dari beberapa tahap. Pertama, pengumpulan data, pada tahapan ini peneliti melakukan proses observasi, wawancara dan studi dokumen yang relevan untuk melihat eksistensi pelaksanaan Nyepi dan aspek pendidikan multikultur yang terkandung didalamnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menemukan data-data yang diperlukan dalam riset mengenai Nyepi dan keterkaitannya dengan aspek penanaman nilainilai multikultur. Proses observasi dan wawancara dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Maret 2022 (sebelum pelaksanaan Nyepi), data yang dikumpulkan berkaitan dengan pelaksanaan Nyepi dan implikasinya bagi penanaman nilai-nilai keberagaman. Kedua, reduksi data, pada tahapan ini peneliti melakukan proses seleksi, melakukan pemfokusan serta penyederhanaan data yang didapatkan di lapangan. Data yang didapatkan disesuaikan dengan tema riset Nyepi dan aspek pendidikan multikultur. Data yang direduksi adalah datadata yang berhubungan dengan interpretasi pelaksanaan Nyepi serta nilai-nilai yang ada didalamnya yang berkaitan erat dengan nilai-nilai multikultur sebagai upaya untuk membangun nilai-nilai kolektivitas. Ketiga, penarikan kesimpulan, pada tahapan ini peneliti menarik pernyataan untuk menjawab pertanyaan "what" dan "how" terkait pelaksanaan Nyepi dan implikasinya pada pendidikan multikultur.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 HASIL

Orang Bali sangat akrab merayakan Nyepi sebagai Malam Tahun Baru Saka. Begitu juga orang luar yang datang ke Bali bertepatan dengan perayaan Nyepi. Tidak ada yang istimewa dari pelaksanaan tradisi Nyepi di Bali, antara lain, Pemerintah Provinsi Bali bekerjasama dengan seluruh komponen masyarakat Bali mendukung dan menutup bandara internasional Ngurah Rai, larangan berkeliaran di jalanan, menyalakan api dan cahaya, seluruh masyarakat Bali diharuskan beristirahat di rumah atau tempat yang baik selama 24 jam. Kalaupun semua orang telah menjalankan amati gni, amati lelungan, amati karya dan amati lelanguan, apakah masyarakat sudah mengetahui bahwa merayakan Nyepi tidak sebatas itu?. Nyepi memiliki sirkuit dan mengandung makna yang dalam, seperti wahana untuk menjaga kesucian diri dan alam semesta. Nyepi bukannya tanpa makna, Perayaan akan lebih bermakna jika dapat diselenggarakan untuk menyederhanakan kehidupan sehari-hari melalui peningkatan kedamaian hati, bumi, dan seluruh elemen dan lapisan alam semesta. Rangkaian Nyepi sebagai berikut; melasti, nyejer, tawur, sipeng, ggembak geni dan dharma santi. Pertama, melasti atau melis. Dua atau tiga hari sebelum Tilem Kesanga disebut setengah gelap tiga belas (kekuatan Trayodasi Krsna) saatnya untuk mengadakan upacara Melasti dengan cara membawa Arca atau Pratima Sang Hyang Tri Wisesa (Arca Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem) dibawa ke pantai dan membawa persembahan kepada dewa Varuna. Maksud dan makna upacara Melasti adalah membasuh dan mencairkan segala penderitaan yang menimpa Masyarakat (Anganyutaken laraning Jagat, papa klesa letuhing Bhuwana) dan mengambil saripati dari air suci kehidupan atau Tirtha Empat Musim (Amretha sarining amet Empat Musim) untuk keselamatan dan kesejahteraan Umat Manusia.

 1. Upacara Melasti

Dalam Lontar Widhisastra Bhatara Putranjaya, Sundarigama dan Aji Swamandala, Tilem diyakini sebagai waktu suci untuk masa transisi yaitu berakhirnya setengah gelap dan awal setengah terang. Pada saat tilem dipercaya dewa matahari (Vivasvan) melakukan yoga menemani Siwa (Siwa Purana). Di Sundarigama ketika Tilem adalah waktu untuk mengasimilasi segala bentuk noda, kotoran, kemiskinan, penderitaan dan bencana yang menimpa manusia (wenang mepuja lara Roga wigna ring sarira). Di antara tilem yang ada adalah Tilem Kesanga yang diyakini keramat. Kedua, nyejer. Nyejer dilakukan setelah semua Pretima datang dari laut. Semua Pretima sebagai simbol manifestasi Tuhan di tempatkan di aula besar di pura desa. Biasanya saat nyejer orang melakukan puja ketika nyejer dan meprani. Pada saat upacara dapat dijumpai masyarakat sedang makan bersama-sama berbagi prasadam/lungsuran antara satu dengan yang lain. Ketiga, Pada saat Tilem Kesanga masyarakat Bali diharapkan untuk membuat upacara Bhuta Yadnya yang terletak di perempatan desa, bahkan tidak hanya dilakukan oleh desa adat tetapi juga dilaksanakan oleh pemerintah mulai tingkat provinsi sampai di kabupaten, upacara tawur tersebut saat tilem Kesanga rangkaian Nyepi dimuat dalam berbagai sumber seperti kutipan di bawah ini.

Lontar Sundarigama menguraikan bahwa: Tawur yantan kalaksaita santangkana, bawur ikang Desa, ntwang kasurupan Kala Bhuta, katadah denira Sang Hyang Adi Kala, ameda-meda lakunya, polahnya, apan Sang Hyang Adi Kala wenang anadah ikang wwang tanpa kretigama, apan matangyan mangkana, apan ikang wwang tan linguri kalengganing dadi wwang. Agung dosa wwang mangkana, matangyan irtusak-asik wwang ntangkana, keweh Sang Pradhipati rusak keprabon Sri Aji, gering sasab merana ntagalak, Bhuta Kala mawengis, ingisep rahning jadma manusa kabeh, inantet Antretanya, de wadwanira Sang Hyang Adi Kala, sapanadi Adi Kala. Kalingganya Bhatara Wisnu mari marupa Dewa, sira matemahan Kala Bhuta, Bhatara Brahma rnaweh sarwa Bhucari, desti, teluh, teranjana, Bhatara Iswara asung gring sasab merana, ika pada wisesa mangrugaken Praja Mandala. Oleh karena itu, masyarakat Bali diharuskan membuat Upacara tawur untuk menetralisir kekuatan-kekuatan yang menyebabkan hal-hal aneh di alam semesta agar kembali normal, serta kehidupan manusia yang aman dan sempurna. Malih hayuning praja mandala sarat kabeh, mwang ring sarwa janma, wastu ya paripurna. Sehari setelah tilem Kesanga atau pada hari pertama terang setengah bulan kesepuluh (penanggal pisan sasih kadasa) disebut hari raya Nyepi. Tawur merupakan rangkaian upacara Nyepi yang dilakukan pada saat sasih tilem Kesanga. Tawur ini dimulai pada siang hari hingga sore hari. Pada malam hari masyarakat melakukan pengarakan ogoh-ogoh di sekitar kawasan desa.

 2. Upacara Tawur dan Pengarakan Ogoh-Ogoh

Oleh: Giri Putra
Oleh: Giri Putra

Ketiga, hari sipeng merupakan puncak dari pelaksanaan Nyepi jatuh pada sasih apisan kadasa. Hari itu seluruh masyarakat Bali diharuskan berada di dalam rumah dan tidak diperbolehkan menyalakan api, menyalakan lampu, tidak boleh bekerja, tidak boleh menghibur diri, tidak boleh keluar rumah. Masyarakat Bali saat itu sedang melaksanakan brata/pantang selama 24 jam mulai dari pukul 06.00 hingga pukul 06.00 keesokan paginya. Pulau Bali itu benar-benar sepi, tidak ada suara kendaraan, sepeda motor, dan suara lainnya, suasananya sunyi, gelap di malam hari karena tidak ada penerangan di jalan, area umum, rumah dan sebagainya. Keempat, Ngembak Geni adalah rangkaian Nyepi setelah masyarakat Bali melakukan Tapa Brata PeNyepian (sipeng). Ngembak Geni jatuh di ping kalih sasih kadasa. Pada saat Ngembak Geni, masyarakat melakukan aktivitas seperti biasa seperti halnya menjelang Nyepi. Ini berarti bahwa orang harus melakukan pekerjaan sehari-hari mereka, dapat menyalakan api, mungkin bepergian, dapat menghibur diri mereka sendiri. Mereka hidup dengan suasana baru dan menikmatinya dengan baik. Kelima, Dharma Santi. Pada saat Ngembak Gni ini juga ada orang Bali yang berkunjung ke rumah keluarganya, ada tirta yatra bahkan melakukan dharma santi sebagai rangkaian hari raya Nyepi untuk saling memaafkan. Dharma Santi diselenggarakan oleh masyarakat, acaranya dimulai dari tingkat desa hingga tingkat pusat.

Dalam tradisi Nyepi, terdapat nilai-nilai multikultural yang berpotensi diadopsi ke dalam Kurikulum Pendidikan seperti Tat Twam Asi, Tri Hita Karana, dan lain-lain. Bhagavad-gita (IX:29) menyebutkan kesetaraan semua makhluk Tuhan, termasuk manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. "Aku adalah sama dalam semua makhluk, tidak ada yang paling dibenci dan paling dicintai untuk-Ku. Namun, mereka yang menyembah Aku dengan pengabdian, mereka ada dalam diriku dan aku dalam diri mereka". Dalam konsep ini, pola tindakan yang tersirat sesuai dengan prinsip multikulturalisme. Seseorang harus memiliki kesadaran untuk memandang dan memperlakukan orang lain seperti memperlakukan dirinya sendiri, dalam arti yang positif. Oleh karena itu, manusia harus menyembah-Nya dan saling menghormati. Manusia harus mengembangkan kebersamaan dan persatuan dalam keragaman. Di Bali ada konsep menyama braya yang dilakukan untuk forum multikultural.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun