Lumbung tersebut adalah rumah bulat. Jagung dengan bahan-bahan makanan yang lain seperti sorgum, padi ladang, jewawut, kacang-kacangan termasuk daging pun diawetkan dengan cara diasapi dalam rumah bulat. Cara pengawetan ini melahirkan daging sei modern yang sudah diekspor keluar negeri.
Rumah bulat memang didesain sangat unik dengan pertimbangan yang matang untuk merespon keadaan alam tersebut. Selain untuk pengawetan makanan, rumah bulat nyaman untuk ditempati, bahkan untuk ibu-ibu yang melahirkan.
Berdasarkan penelitian I Ketut Suwantara, Desak Putu. Damayanti dan Iwan Suprijanto yang dicantumkan dalam artikel berjudul Karakteristik Termal pada Rumah Tradisional Sonaf dan Uma Kbubu di kampung Maslete, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), membuktikan bahwa pembuatan rumah bulat adalah upaya masyarakat atoin meto untuk beradaptasi dengan lingkungan.
Dalam penelitian tersebut, menemukan kesimpulan bahwa rumah bulat sangat nyaman untuk digunakan karena sangat responsif terhadap perubahan iklim luar, baik musim dingin maupun musim panas.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa respon rumah bulat dapat menaikkan suhu ruangan sebesar 1,7 derajat celcius pada suhu luar yang rendah. Ini merespon musim dingin yang terjadi di daerah Timor Tengah, daerah yang dihuni oleh atoin meto.
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa rumah bulat menurunkan suhu ruangan sebesar 0,4 derajat celcius pada suhu luar yang tinggi. Tentunya, ini juga merespon musim panas berkepanjangan yang membuat suhu udara terus meningkat.
Yang paling menarik adalah atap berbahan alang-alang memiliki kemampuan untuk meredam kalor yang berasal dari matahari 45 menit hingga 1 jam, sehingga membentuk suhu ruangan rumah bulat tetap stabil dari 25-29,3 derajat celcius.Â
Sementara penelitian lain yang dilakukan oleh Avend M. Sumawa, Made Aryati dan Iwan Suprijanto menemukan bahwa struktur bangunan tradisional rumah bulat secara keseluruhan memiliki tingkat kestabilan yang cukup tinggi terhadap gempa lateral dan angin kencang.