Ke mana anak itu?.
"Selamat, Ratih, kamu menari dengan hebat!' Bi Ade, istri Mang Yaya sekaligus pelatih tari, memelukku.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan bingung. Mataku liar mencari anak itu.
"Hei, kamu hebat, Ratih!" Mang Yaya menyalamiku. Senyumnya merekah, tanda kalau beliau puas dengan penampilan asuhannya.
Aku hanya tersenyum kecut.
"Aku cari temanku dulu, Mang!"
Tanpa menunggu jawabannya, aku segera berlari ke belakang panggung.
"Siapa maksudmu?"
Tak kuhiraukan teriakan Mang Yaya. Aku menghambur ke segala arah mencari anak itu, tetapi, tak kutemukan juga. Aneh sekali!
Sampai acara berakhir, aku tak tak berhasil menemukannya. Duh, menyesal tak berterimakasih padanya!
"Kamu kenapa, Ratih? Siapa yang kamu cari?" Bi Ade heran melihatku murung.
"Anak yang menari denganku, Bi!" keluhku.
Bi Ade tertawa, kemudian menepuk punggungku.
"Kamu pasti bercanda, tadi kamu menari sendirian, kok!" kata Bi Ade di sela tawanya.
"Apa?"
Belum hilang rasa kagetku, tiba-tiba Pak Kades dan istrinya sudah berada di depan kami.
"Sukses, Nak, tarianmu bagus sekali!" Pak Kades tulus memujiku.
Aku tersipu, rasanya tak pantas menerima pujian itu!
"Maaf, Pak, kami mau langsung pulang karena besok Ratih masuk sekolah!" Mang Yaya berpamitan pada Pak Kades.
"O, begitu, Mang. Sebentar," Pak Kades segera mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya, sebuah amplop tebal, yang membuat senyum Mang Yaya bertambah lebar.
"Waduh, jadi ngerepotin, nih!" Mang Yaya berbasa-basi.
Pak Kades hanya tertawa, kemudian beliau mengangsurkan sesuatu kepadaku.
"Ratih, ini unukmu! Teruslah berlatih, jangan cepat puas!" suaranya lembut, menyemangatiku.
"Siap, Pak!" aku memberi hormat padanya.
Semua tergelak, tetapi kulihat mata Bu Kades berkaca-kaca.
"Kamu memang mirip sekali, Nak!" bisiknya. Dipeluknya aku dengan erat.
Aku terhenyak, dan begitu penasaran mendengar kalimat yang sama terlontar dari Pak Kades dan Bu Kades.
Aku mirip? Mirip siapa?
Tetapi suara mobil yang menderu menyebabkan aku tak sempat mengutarakannya.
Kami pulang dalam diam. Berbagai pertanyaan berseliweran di kepalaku. Siapa gadis kecil itu? Wajahnya, kok sangat mirip denganku? Apakah kata-kata Bu Kades ada hubungannya dengan anak itu? Ke mana perginya anak itu? Cepat sekali dia menghilang!
Tiba-tiba aku teringat dengan amplop yang kuterima dari Pak Kades. Ketika kuintip, isinya ternyata sejumlah uang dan foto.
Wah, foto siapa ini?
Buru-buru kuamati foto itu! Amazing! Ternyata anak yang kucari-cari ada di foto itu! Ia tersenyum manis, diapit Pak Kades dan Bu Kades yang terlihat sangat bahagia.
Ya, Tuhan, kok, beneran mirip aku, sih?
Dalam kebingungan, kuangsurkan foto itu kepada Mang Yaya, yang sedang memperhatikanku.
"Si...siapa anak ini, Mang?" tanyaku dengan suara gemetar.
Mang Yaya mengamati foto itu, dan mengangguk-angguk.
"Anak itu putri bungsu Pak Kades, Ratih! Sudah meninggal setahun lalu dalam kecelakaan mobil. Dia pandai sekalimenari!" jelas
Mang Yaya.
Kurasakan badanku tiba-tiba menggigil.
"Makanya, Pak Kades mengundang kita jauh-jauh dari Tasikmalaya, hanya karena sangat ingin melihat tarian yang selalu dibawakan putrinya dalam acara tadi."
Hah??
Penolongku di panggung tadi, putri Pak Kades? Sudah meninggal? Bagaimana mungkin? Ah, Mustahil! Dia tadi menari dengan luwes bersamaku!
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berdengung di kepalaku, hingga membuatku pening.
Ah,
Dan aku tak ingat apa- apa lagi.
(Repost : Cerpen "Sang Penari" karya Neni Hendriati, dalam Buku Anttologi Jasmine (2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H