Mohon tunggu...
Neni Hendriati
Neni Hendriati Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 4 Sukamanah

Bergabung di KPPJB, Jurdik.id. dan Kompasiana.com. Hasil karya yang telah diterbitkan antara lain 1. Antologi puisi “Merenda Harap”, bersama kedua saudaranya, Bu Teti Taryani dan Bu Pipit Ati Haryati. 2. Buku Antologi KPPJB “Jasmine(2021) 3. Buku Antologi KPPJB We Are Smart Children(2021) 4. Alam dan Manusia dalam Kata, Antologi Senryu dan Haiku (2022) 5. Berkarya Tanpa Batas Antologi Artikel Akhir Tahun (2022) 6. Buku Tunggal “Cici Dede Anak Gaul” (2022). 7. Aku dan Chairil (2023) 8. Membingkai Perspektif Pendidikan (Antologi Esai dan Feature KPPJB (2023) 9. Sehimpun Puisi Karya Siswa dan Guru SDN 4 Sukamanah Tasikmalaya 10. Love Story, Sehimpun Puisi Akrostik (2023) 11. Sepenggal Kenangan Masa Kescil Antologi Puisi (2023) 12. Seloka Adagium Petuah Bestari KPPJB ( Februari 2024), 13. Pemilu Bersih Pemersatu Bangsa Indonesia KPPJB ( Maret 2024) 14. Trilogi Puisi Berkait Sebelum, Saat, Sesudah, Ritus Katarsis Situ Seni ( Juni 2024), 15. Rona Pada Hari Raya KPPJB (Juli 2024} 16. Sisindiran KPPJB (2024). Harapannya, semoga dapat menebar manfaat di perjalanan hidup yang singkat.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Ferdi Lagi Nyari yang Rp 500,00

1 November 2022   06:02 Diperbarui: 1 November 2022   07:09 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Oleh Neni Hendriati

Tangisan keras seorang anak, membuat kami yang berada di ruang guru spontan keluar untuk memastikan apa yang terjadi. Bu Elis tergesa datang, menuntun anak kelas satu dengan darah di bibir, dagu, dan bajunya.

"Kenapa, Bu?" tanyaku khawatir.

"Biasa, mau pulang lari-lari, bibirnya kepentok pintu!"

"Duh...!" aku meringis. Sakit pastinya!

Anak-anak dari berbagai kelas mulai merubung. Mereka penasaran, ingin tahu apa yang terjadi. Anak itu, Ferdi, langsung ditangani oleh Bu Ayu, pembina UKS. Lukanya dibersihkan, berikut bajunya. Lukanya di bawah bibir, diolesi betadine.

Alhamdulillah, lukanya tidak terlalu parah. Bibir bawah luka sedikit, dan darah langsung mengering.

Bu Yanti pun segera membubarkan kerumunan.

"Anak-anak jangan berkerumun, lanjutkan istirahatnya!"

"Ya, Bu," anak-anak pun membubarkan diri.

Anehnya, Ferdi masih menangis, kepalanya clingak-clinguk, seperti ada yang dicari.

"Masih sakit?" tanya Bu Ayu.

Ferdi menggeleng.

"Udah dulu nangisnya, kan gak sakit!" Bu Elis membujuk Ferdi.

"Duitku hilang!" katanya di sela tangis. Pantesan dari tadi dia kelihatan gelisah.

"Oh..." Bu Elis mengangguk-angguk paham.

 "Nanti Ibu ganti, ya! Berapa?"

Ferdi langsung menghentikan tangisnya. Matanya berbinar. Penuh harap, dia menatap Bu Elis.

"Lima ratus!" ujarnya sambil menyeka air mata.

Bu Elis tertawa.

"Oh..., nanti Ibu ganti, ya!" katanya sambil langsung mencari-cari uang di sakunya. Kami yang menyaksikan tertawa lega.

"Nih, uangnya ibu ganti," Bu Elis menyodorkan uang Rp 2.000,00 selembar.

Dengan gembira, Ferdi langsung menerima uang itu dan memasukkan ke sakunya. Buru- buru dia berdiri hendak pulang.

"Mau dianter pulangnya?" Bu Yanti, guru kelas IB menawarkan jasa.

Ferdi menggeleng.

"Mau pulang sendiri!" katanya. Dia berkeliling sambil menyalami guru-guru yang mengelilinginya.

"Hati-hati, ya, Ferdi!" ujarku ketika dia menyalaminku.

Ferdi mengangguk, dan segera melesat keluar dengan riang. Kelas satu memang belajar hanya setengah hari.

Bel berbunyi, tanda istirahat usai. Aku segera bersiap menuju kelas kembali.

Ketika melewati kelas satu, kulihat ada anak yang yang sedang berjongkok sendirian. Duh, siapa, ya?

Karena merasa penasaran, segera kudekati. Hah, ternyata Ferdi! Kukira sudah pulang. Lagi apa dia?

"Lho, kok belum pulang, Nak?" tanyaku heran.

Dia menengok ke arahku, sambil malu-malu, dia menjawab.

"Ferdi lagi nyari  yang Rp 500,00!" 

"Hah!" aku terperanjat. Kututup mulutku menahan tawa.

"Kan sudah diganti oleh Bu Elis, Nak! Malahan lebih besar, lho!"

"Sayang, bu, buat jajan!" katanya sambil terus mencari-cari. Dan akhirnya,

"Ketemu, Bu!" katanya sumringah. Dia berdiri dan memperlihatkan uang logam lima ratu. Tanpa ba bi bu, dia  langsung berlari meninggalkanku. Senyum lebar menghiasi bibirnya yang memar. Duh, dasar bocil!

Kutatap Ferdi yang menghilang di balik pagar. Ada yang menggelitik di hatiku, jika uang Ferdi sudah ketemu, berarti  uang yang Rp 2.000,00 dari Bu Elis, harusnya dikembalikan lagi, dong! Kalau tadi diminta, kira-kira dikasihkan atau  enggak, ya? He

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun