Oleh Neni Hendriati
Tangisan keras seorang anak, membuat kami yang berada di ruang guru spontan keluar untuk memastikan apa yang terjadi. Bu Elis tergesa datang, menuntun anak kelas satu dengan darah di bibir, dagu, dan bajunya.
"Kenapa, Bu?" tanyaku khawatir.
"Biasa, mau pulang lari-lari, bibirnya kepentok pintu!"
"Duh...!" aku meringis. Sakit pastinya!
Anak-anak dari berbagai kelas mulai merubung. Mereka penasaran, ingin tahu apa yang terjadi. Anak itu, Ferdi, langsung ditangani oleh Bu Ayu, pembina UKS. Lukanya dibersihkan, berikut bajunya. Lukanya di bawah bibir, diolesi betadine.
Alhamdulillah, lukanya tidak terlalu parah. Bibir bawah luka sedikit, dan darah langsung mengering.
Bu Yanti pun segera membubarkan kerumunan.
"Anak-anak jangan berkerumun, lanjutkan istirahatnya!"
"Ya, Bu," anak-anak pun membubarkan diri.
Anehnya, Ferdi masih menangis, kepalanya clingak-clinguk, seperti ada yang dicari.
"Masih sakit?" tanya Bu Ayu.
Ferdi menggeleng.
"Udah dulu nangisnya, kan gak sakit!" Bu Elis membujuk Ferdi.
"Duitku hilang!" katanya di sela tangis. Pantesan dari tadi dia kelihatan gelisah.
"Oh..." Bu Elis mengangguk-angguk paham.
"Nanti Ibu ganti, ya! Berapa?"
Ferdi langsung menghentikan tangisnya. Matanya berbinar. Penuh harap, dia menatap Bu Elis.
"Lima ratus!" ujarnya sambil menyeka air mata.
Bu Elis tertawa.
"Oh..., nanti Ibu ganti, ya!" katanya sambil langsung mencari-cari uang di sakunya. Kami yang menyaksikan tertawa lega.
"Nih, uangnya ibu ganti," Bu Elis menyodorkan uang Rp 2.000,00 selembar.
Dengan gembira, Ferdi langsung menerima uang itu dan memasukkan ke sakunya. Buru- buru dia berdiri hendak pulang.
"Mau dianter pulangnya?" Bu Yanti, guru kelas IB menawarkan jasa.
Ferdi menggeleng.
"Mau pulang sendiri!" katanya. Dia berkeliling sambil menyalami guru-guru yang mengelilinginya.
"Hati-hati, ya, Ferdi!" ujarku ketika dia menyalaminku.
Ferdi mengangguk, dan segera melesat keluar dengan riang. Kelas satu memang belajar hanya setengah hari.
Bel berbunyi, tanda istirahat usai. Aku segera bersiap menuju kelas kembali.
Ketika melewati kelas satu, kulihat ada anak yang yang sedang berjongkok sendirian. Duh, siapa, ya?
Karena merasa penasaran, segera kudekati. Hah, ternyata Ferdi! Kukira sudah pulang. Lagi apa dia?
"Lho, kok belum pulang, Nak?" tanyaku heran.
Dia menengok ke arahku, sambil malu-malu, dia menjawab.
"Ferdi lagi nyari yang Rp 500,00!"
"Hah!" aku terperanjat. Kututup mulutku menahan tawa.
"Kan sudah diganti oleh Bu Elis, Nak! Malahan lebih besar, lho!"
"Sayang, bu, buat jajan!" katanya sambil terus mencari-cari. Dan akhirnya,
"Ketemu, Bu!" katanya sumringah. Dia berdiri dan memperlihatkan uang logam lima ratu. Tanpa ba bi bu, dia langsung berlari meninggalkanku. Senyum lebar menghiasi bibirnya yang memar. Duh, dasar bocil!
Kutatap Ferdi yang menghilang di balik pagar. Ada yang menggelitik di hatiku, jika uang Ferdi sudah ketemu, berarti uang yang Rp 2.000,00 dari Bu Elis, harusnya dikembalikan lagi, dong! Kalau tadi diminta, kira-kira dikasihkan atau enggak, ya? He
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H