Mohon tunggu...
Neng Yayas Ismayati
Neng Yayas Ismayati Mohon Tunggu... Guru - Menulis, menjejakkan sejarah

Seorang Ibu Guru Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mami adalah Ibuku

24 Januari 2019   11:14 Diperbarui: 24 Januari 2019   14:46 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buah jatuh takkan jauh dari pohonnya. Begitu kata pepatah. Begitu pula aku dengan perempuan yang seumur hidup kupanggil Mami. Ya benar, Mami adalah ibuku.

Usia kami terpaut cukup jauh yakni sekira tiga puluhan tahun. Sejauh ini aku tak pernah mempermasalahkan perbedaan usia di antara kami. Walau kuakui terkadang ada hasrat ingin tahu menyeruak dalam benakku alasan Mami melahirkan aku pada saat usianya sudah menginjak tiga puluh. Entahlah. Aku tak pernah benar-benar merasa perlu untuk mengetahuinya.

"Sayang, hari ini ada bazzar buku lagi lho di mal. Nanti sore kita ke sana yuk!"

"Beneran Mam? Oke deh, kita ke sana pulang les ya Mam," jawabku setelah menghabiskan tegukan terakhir  jeruk hangat yang mendorong roti isi sarapanku ke arah lambungku.

"Tentu dong, hati-hati ya, Sayang." Mami mengantar aku sampai pintu mobil dan lambaian lembut Mami di kaca sepion mobil mungilku menghilang begitu pagar tinggi ini kulewati.

Sesuai janji, Mami dan aku asik masyuk di arena bazaar buku di mal sampai malam membuka tabirnya. Tak terasa, setampuk buku yang kupikir akan memuaskan hasratku membacanya sudah memenuhi jok belakang mobil keluarga yang kami naiki. Sambil menyetir mobil kesayangannya, Mami tak pernah berhenti bercerita. Kadang aku bertanya-tanya dalam hati, dari mana Mami punya bahan cerita sebanyak itu. Tapi aku menyukainya.  Setiap kata yang terucap dari mulut Mami tak pernah luput dari perhatianku.

Aku ingat, pernah Mami bercerita tentang masa kecilnya dulu di kampung. Mami sangat menyukai hujan. Mami mencintai hujan. Rintik-rintik, gerimis, bahkan deras. Waktu pulang sekolah, bukannya berteduh, Mami tetap pulang di bawah guyuran hujan. Kalau sedang di rumah, Mami Kecil akan bermain perosotan air hujan di teras rumah atau sengaja mencuci peralatan dapur dengan air hujan yang mengalir dari cucuran atap rumah. Tapi menurut Mami, saat yang paling berkesan yakni ketika kita memandangi hujan dari balik jendela. Pikiran kita seakan berlari menerjang hujan, menari di bawah hujan, lalu mengalir lewat celah-celah aliran air tanah.

"Air itu sangat kuat, Sayang, mampu menerjang apapun penghalang di depannya. Air juga lembut, dengan kelembutannya dia mampu mengembalikan kesegaran bunga yang merana terpanggang matahari," jawab Mami saat kutanya alasannya.

"Tapi Mam, kalau lagi deras-derasnya, hujan kan menakutkan. Petir yang menyambar-nyambar bagai lidah api yang haus mangsa, belum suara gemuruh dan gelegar di langit yang selalu mengagetkan dan membuat jantung setiap orang berlari kencang seperti mau keluar dari tubuhnya," protes aku saat itu.

"Benar Sayang. Tapi itulah hujan, yang diciptakan Tuhan untuk manusia, agar manusia berpikir," jawab Mami mengakhiri perbincangan.

Tapi rasa penasaran itu selalu muncul, setiap ada kesempatan, pasti selalu kutanyakan alasan Mami mencintai air hujan.

"Sayang, ayo turun," Mami mengembalikan anganku ketika tampak pintu rumahku telah menyambut kami dengan Mba Tuti di depannya siap membantu kami membawa belanjaan.

"Mikirin apa sih Sayang? Sampai ga sadar kita sudah di rumah,"  tanya Mami semakin penasaran melihatku.

"Nggak ko Mam, mungkin cuma ngantuk aja.   Mat malam Mami ku yang cuantik," jawabku dan mengakhiri malam ini dengan kecupan sayang di pipi Mami.

Sebelum benar-benar tidur, aku masih saja memikirkan Mami.

***

Sebagian orang membenci hari Senin. Entahlah. Tapi kupikir, hari Senin adalah pintu pertama segala aktivitas kita. Upacara hari Senin kuikuti dengan khidmat. Dengan seragam putih-putih kuawali hari Senin dengan senyum, dan novel yang baru kubeli di bazzar kemarin. Waktu itu mataku langsung tertarik pada sampul buku bertuliskan nama pengarang dengan huruf besar sedangkan judul novelnya sendiri lebih kecil di bawahnya. Tak biasa, pikirku sambil langsung menyambarnya. Dan pagi Senin ini kutenteng novel yang sudah setengahnya kubaca ini ke kantin saat jam istirahat.

"Novel baru lagi, Na?" Tanya Cinta sambil membolak-balik novelku.

"Ya, Cin," jawabku singkat sambil menyeruput es lemon tea kesukaanku.

"Jodi Picoult ini judulnya atau pengarangnya sih, Na? Ceritanya tentang apa? Seru ga?" Tanya Cinta memberondongku.

"Ooow...ampun Cin, satu-satu dong nanyanya. Gini-gini," jawabku sambil menarik napas.

"Awalnya kupikir Jodi Picoult itu judulnya, tapi ternyata dia pengarangnya.  Sejauh ini sih bagus ya, aku belum selesai. Tapi banyak pelajaran yang kita dapat dari novel ini."

"Pelajaran apa Na?"

Sebelum kujawab, bel masuk kembali berdentang. Syukurlah karena aku tak suka menceritakan isi novel sebelum selesai kubaca.

"Masuk dulu yuk, Cin, tar aku ceritakan lagi kalau sudah tamat, oke!" Aku mengajak Cinta kembali ke kelas.

            Hari senin penuh tugas. Tugas kali ini pelajaran Bahasa Indonesia yaitu apresiasi novel. Kebetulan, pikirku, novel yang kupegang ini bisa dijadikan bahan tugasku.

            "Na! Tunggu aku, Na!" Cinta berlari-lari di belakangku.

Setelah napasnya kembali teratur, dia menceritakan masalahnya, apalagi kalau bukan tugas apresiasi novel tadi. Akhirnya Cinta ikut aku ke rumah untuk memilih sendiri novel yang akan dia jadikan bahan tugas.

***

            "Mba! Mba Tut!"

            "Neng memanggil saya?" Jawab Mba Tuti tergopoh-gopoh menghampiri.

            "Nggak, Mba, Cuma mau nanya, Mami Ke mana ya? Ko dari sore Na pulang tadi ga keliatan, Mba."

            "Maaf Neng, Mba Tut lupa, tadi siang Mami Neng pamit pergi,"

            "Ga bilang ke mana nya, Mba?"

            " Nggak, Neng, Cuma bilang mau pergi aja," jawab Mba Tuti.

            "Ya dah, Mba, makasih, nanti kalau Mami pulang, Na ada di kamar ya," jawab aku sambil berlalu dari depan Mba Tuti yang mengangguk paham.

Aku kembali ke kamar menyelesaikan bacaanku. Sampai akhirnya mataku tak sanggup menyangga tubuhku, Mami belum kembali.

            "Pagi, Sayang," sapa Mami sambil menyingkap tirai jendela kamarku mempersilahkan hangat matahaari menyentuh mukaku dan menggeliatkan tubuhku menyambut pagi.

            "Mami," teriak manja  aku sambil memeluk Mami.

            "Mami ke mana aja semalam ga pulang ya?" tanyaku merajuk.

            "Sayang, kalau Mami ga pulang mana mungkin sepagi ini membangunkan kamu, Nak," jawab Mami sambil membelai poni rambutku.

            "Ko pulang larut sih, Mam?"

            "Maafkan Mami, ya, ada urusan yang tak bisa Mami tinggalkan begitu saja," jawab Mami sambil mengecup keningku.

"Nah sekarang kamu bangun, mandi, terus turun saparan, hari ini biar Mami yang temani kamu ke sekolah, ok!"

"Serius, Mam? Ok!" Aku melonjak sambil menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi.

***

Sejak kecil aku punya kebiasaan menyendiri. Tak ingin rasanya ada orang lain di sekitarku. Hanya ada aku. Apalagi jika Mami tak ada, puaslah aku dengan duniaku. Tak banyak yang kulakukan. Hanya ada aku, dan buku bacaan. Mami menyimpan setampuk buku cerita di meja belajarku. Oleh-oleh yang Mami bawakan untukku setiap kali dari luar kota adalah buku bacaan. Oleh-oleh lain hanya pelengkap. Maka benda yang rutin bertambah kapan saja adalah koleksi bacaanku. Hingga suatu saat aku sendirian dan  kehabisan bahan baca, kumasuki ruang kerja Mami yang berdekatan dengan kamarku.

            Berjinjit kubuka pelan pintu ruang kerja Mami. Sebelum ini, aku tak pernah sendirian masuk ruangan ini. Mami selalu mengajak aku kalau memang diperlukan di ruangan ini. Kutangkap satu set meja kerja yang mengkilap, buku kerja Mami yang sengaja ditinggalkan di atas meja. Yang paling menarik perhatianku adalah keempat dinding ruangan ini tertutup rak buku tinggi sampai ke langit-langit yang selama ini tak pernah masuk ke dalam perhatianku. Reflek tanganku menyusuri barisan buku yang tertata rapi dan bebas dari debu, yang menunjukkan pemilik nya begitu perhatian dan menyayangi koleksinya.

            Satu persatu kubaca judul buku-buku itu. Tentu saja aku hanya bisa menelusurinya sampai batas kepalaku. Aku yakin buku-buku itu Mami koleksi bertahun-tahun. Tapi baru sekarang aku menyadari dari siapa kebiasaan aku terwarisi. Ruang kerja Mami tak begitu besar juga tak begitu kecil. Bagi aku, ruangan ini menyenangkan. Isinya hanya buku, buku, dan buku. Tak ada hiasan dinding, bunga, atau pajangan lain. Hanya ada satu foto berbingkai indah di atas meja, didalamnya ada aku yang tertawa riang di atas punggung Mami. Aku tak ingat lagi kapan gambar itu diambil, yang jelas di suatu pantai.

            Aku tersenyum sendiri menatap gambar kami. Kebahagiaan terpancar di bening mata Mami. Kalau mataku? Jangan tanya! Kebahagiaan aku adalah selalu dekat dan penuh dekapan Mami. Namun, tiba-tiba ada yang tersentak dalam benakku. Sakit. Selama ini aku tak pernah menyadari bahwa seharusnya ada orang ketiga di antara kami. Ya...benar. Aku sering melihat teman-temanku yang diantar atau dijemput oleh seorang laki-laki yang mereka panggil ayah, bapak, papah, atau papi. Sedangkan aku? Hanya ada aku dan Mami.

Bingkai foto kami kuletakkan kembali pelan-pelan di atas meja kerja Mami. Air mataku mengiringinya.

***

"Apa yang ingin kamu tanyakan, Sayang?" Tanya Mami sambil menatap lembut suatu hari saat rasa ingin tahuku memuncak.

"Mam, kenapa aku tak seperti Lena, Silmi, Veni, atau Cinta, yang pernah ditemani ayah mereka pada acara kenaikan kelas?" tanyaku hati-hati.

Mami diam.

"Mami, maaf."

Mami diam.

"Mami?" desakku tak sabar.

Setelah menarik nafas panjang, Mami membuka mulutnya, "Sudah sore, Nashchya, Mami belum menyiapkan makan malam."

Owghh....Mami!!!

***

"Na, kamu ga lupa kan?" Tanya Cinta saat kami bertemu di depan kelas pagi ini.

"Lupa apa ah? Aku kan belum pikun?" jawabku balik bertanya.

"Tuh kan, katanya belum pikun, tapi sama janjimu padaku kau lupa, Na!" jawab Cinta sambil mencubit pipiku.

"Aduh.....ampun Cint, iya aku ingat, cerita Anna kan?" sambil berusaha melepaskan diri dari cubitan gemas Cinta.

"Anna? Anna siapa sih Na? Aku tuh ngingetin kamu cerita buku novel baru kamu itu lho."

"Iya, Cinta. Aku selalu inget ko. Makanya tadi aku bilang cerita tentang Anna kan? Tokoh dalam novel itu namanya Anna." Jelasku.

"Oooooo."

"Jangan oo aja. Tenang Cinta, tar pulang sekolah ikut ke rumahku ya, tar aku ceritakan semuanya."

"Sip!" Balas Cinta mengakhiri  percakapan kami karena jam pelajaran pertama sudah akan dimulai.

***

"Kasihan Anna, Na," kata Cinta setelah kuceritakan isi novel yang kujanjikan pada Cinta.

"Yah, begitulah, Cint, Anna sudah menyumbangkan tali pusat untuk kakaknya beberapa jam setelah dia lahir. Itu belum menyelesaikan masalah Kate, kakaknya, karena setelah itu Anna menjalani puluhan suntikan, transfusi darah, dan operasi agar Kate bisa kuat melawan penyakit leukemia yang sudah dideritanya sejak kecil. Namun, seiring usianya yang menginjak remaja, Anna mulai mempertanyakan tujuan hidupnya. Puncaknya saat ibunya, yang memang melahirkan Anna dengan tujuan untuk menyelamatkan hidup Kate, meminta Anna menyumbangkan ginjalnya agar Kate terlepas dari sekarat." Panjang aku menyimpulkan bacaanku.

"Sampai akhirnya, Anna menggugat keluarganya," sambung Cinta.

"Yups. Namun, kembali ke tujuan kehadiran Anna adalah untuk hidup Kate, Anna adalah penyelamat kakaknya, yaa...takdir mencatat seperti itu, Cin," tuturku melemah.

"Ada ga ya orang seperti itu di dunia nyata?" Tanya Cinta sambil menerawang.

"Mungkin ada, mungkin juga hanya separuh cerita itu Cint, bahkan mungkin juga ga ada," jawabku semakin menerawang.

"Maksudmu, Na?"

"Bagaimanapun, semua yang ada dalam cerita itu adalah tentang cinta dan pengorbanan. Kisah seorang Ibu yang tegar ingin menyelamatkan anaknya apapun bentuk caranya. Si adik, karena cinta jugalah rela manut pada permintaan orang tuanya. Walaupun konflik membingkainya. Yah begitulah cinta. Satu api padam, api yang lain menyala, kesakitan seseorang berkurang akibat penderitaan orang lain, begitu kata Shakespeare dalam Romeo dan Juliet.  Iya kan Cint?"

Kulirik Cinta disebelahku yang sudah terlempar jauh ke negeri mimpi.

"Cinta...Cinta."

***

Hari Minggu kuhabiskan di rumah. Sambil sesekali menggoda Mba Tuti, sesekali pula kubantu pekerjaannya, tanganku tak lepas dari buku. Matahari mulai terik saat kusadari sepanjang pagi aku belum bertemu Mami. Mba Tuti bilang Mami pergi sejak semalam dan belum pulang. Ke mana Mami? Tak biasanya malam minggu pergi sampai larut bahkan ini sudah berganti hari belum kelihatan batang hidungnya.

Menjelang tengah hari Mba Tuti memanggilku karena ada tamu yang ingin bertemu aku. Kok tumben, pikirku. Mana pernah ada orang dewasa mencari aku kecuali guru les yang diundang Mami khusus buatku.

"Selamat siang," sapa tamu itu.

Seorang laki-laki separuh baya dengan perempuan muda yang tidak begitu jauh usianya dari Mami.

"Maaf kami mengganggu aktivitas Nona siang ini. Perkenalkan Saya Dimas Suganda, pengacara ibu Nona dan ini Siti Fatimah sekretaris pribadi ibu Nona, Nayritta Zahara Muntaqo. Ada beberapa hal yang akan kami sampaikan kepada Nona Nashchya Zahara Muntaqo  tentang ibu Nona."

Ucapan laki-laki itu serentak melarikan detak jantungku.

Disaksikan Mba Tuti dan Pak Dudung, sopir kami, Pak Dimas menceritakan banyak hal. Tentang pekerjaan  yang dirintis Mami hingga menjadi salah satu perusahaan tekstil terbesar di negeri ini, tentang kedermawanan Mami yang menjadi pelindung beberapa yayasan sosial, tentang aktivitas Mami di luar pekerjaannya. Terutama tentang perpustakaan-perpustakaan yang didirikannya untuk masyarakat di pemukiman miskin dan daerah terpencil. Itu semua sama sekali tak berarti apa-apa bagiku. Yang ingin aku tahu adalah dimana keberadaan Mami. Apa yang terjadi sama Mami? Kenapa mereka yang menjelaskan semua itu sama aku? Mami!

Kepalaku berdenyut, mulutku kelu, persendianku kebas, dan jantungku, entah sejak kapan seolah meloncat dari rongga dadaku. Tak kuasa menahan perasaan dan kabar yang kuterima selanjutnya tentang Mami, aku tak sadarkan diri.

"Nashchya Zahara Muntaqo anakku, maafkan Mami karena pergi dengan cara seperti ini. Semua ini Mami lakukan karena cinta Mami padamu begitu besar, hingga Mami tak kuasa untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal. Dalam hidup Mami, hanya ada kamu, begitu pula kamu mengenal Mami kan? Hanya ada kita. Nayritta Zahara Muntaqo dan Nashchya Zahara Muntaqo. Saat kau terima pesan ini, kamu sudah tahu segalanya. Mami harap, mulai saat ini jangan kau pertanyakan apapun lagi. Milik Mami adalah milikmu, gunakanlah sebijak mungkin. Jalani hidupmu dengan baik. Lintasi segala angan dan mimpimu yang pernah kau ceritakan sama Mami. Tetaplah jadi Nashchya Zahara Muntaqo tanpa tanya. Kamu pasti sangat tahu, betapa besar cinta Mami padamu, walau Mami tak pernah melahirkanmu."***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun