Disaksikan Mba Tuti dan Pak Dudung, sopir kami, Pak Dimas menceritakan banyak hal. Tentang pekerjaan  yang dirintis Mami hingga menjadi salah satu perusahaan tekstil terbesar di negeri ini, tentang kedermawanan Mami yang menjadi pelindung beberapa yayasan sosial, tentang aktivitas Mami di luar pekerjaannya. Terutama tentang perpustakaan-perpustakaan yang didirikannya untuk masyarakat di pemukiman miskin dan daerah terpencil. Itu semua sama sekali tak berarti apa-apa bagiku. Yang ingin aku tahu adalah dimana keberadaan Mami. Apa yang terjadi sama Mami? Kenapa mereka yang menjelaskan semua itu sama aku? Mami!
Kepalaku berdenyut, mulutku kelu, persendianku kebas, dan jantungku, entah sejak kapan seolah meloncat dari rongga dadaku. Tak kuasa menahan perasaan dan kabar yang kuterima selanjutnya tentang Mami, aku tak sadarkan diri.
"Nashchya Zahara Muntaqo anakku, maafkan Mami karena pergi dengan cara seperti ini. Semua ini Mami lakukan karena cinta Mami padamu begitu besar, hingga Mami tak kuasa untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal. Dalam hidup Mami, hanya ada kamu, begitu pula kamu mengenal Mami kan? Hanya ada kita. Nayritta Zahara Muntaqo dan Nashchya Zahara Muntaqo. Saat kau terima pesan ini, kamu sudah tahu segalanya. Mami harap, mulai saat ini jangan kau pertanyakan apapun lagi. Milik Mami adalah milikmu, gunakanlah sebijak mungkin. Jalani hidupmu dengan baik. Lintasi segala angan dan mimpimu yang pernah kau ceritakan sama Mami. Tetaplah jadi Nashchya Zahara Muntaqo tanpa tanya. Kamu pasti sangat tahu, betapa besar cinta Mami padamu, walau Mami tak pernah melahirkanmu."***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H