"Saya standby 24 jam, berkoordinasi dengan pihak kepolisian, pemadam kebakaran, LSM, dan media. Saya sampai nggak sempat tidur itu," kata suami.
Kebetulan cabang di Medan ada musibah, terjadi kebakaran. Syukurnya, hanya satu ruangan saja yang terbakar.
"Oh begitu ya," jawab si manajer.
Secara fisik, terlebih dia perempuan, sepertinya dia tidak akan biasa bekerja di lapangan. Ini sih bukannya meremehkan kemampuannya. Cuma kan job desknya itu harus disesuaikan juga dengan kompetensinya. Apa iya dia mau jam istirahatnya diganggu?
Ia juga menyorot pola kerja suami yang dilihatnya jarang ada di kantor. Tidak seperti karyawan lain yang masuk pagi, pulang sore dari Senin - Jumat.
Padahal, sebagaimana disepakati suami lebih sering bekerja di luar kantor memantau situasi dan membaca berbagai berita. Ke kantor paling sepekan 2 kali atau ketika harus rapat atau standby untuk mengawal suatu pertemuan penting.
"B ini (menyebut nama suami saya) memang pekerja lapangan, dia harus gerak cepat, memantau isu-isu atau hal-hal yang berkaitan dengan perusahaan. Harus gerak cepat. Justru kalau ke kantor menjadi tidak efektif," bela atasan suami.
Lalu manajer mengatakan uang publikasi media senilai Rp300 juta terlalu besar. Jika menggunakan agensi bisa ditekan dan anggarannya tidak sebesar itu.
"Coba kamu jelaskan," kata Wapresdir kepada divisi yang biasa berhubungan dengan pihak agensi.
"Justru kalau pakai agensi biayanya lebih besar Bu. Untuk satu agenda kegiatan saja bisa menghabiskan  1 miliar. Kalau Ibu tidak percaya, coba Ibu bikin satu kegiatan saja lalu serahkan kepada agensi," jelas divisi tersebut kepada sang manajer.
Si manajer terlihat termenung dan sedikit kaget. Mungkin dia tidak menyangka ternyata perhitungannya keliru. Mungkin dia juga merasa malu.