Sabtu 23 Juli 2022, saya bersama dua kawan kuliah saya -- Ashriati dan Faikoh, ceritanya mencari tempat healing di sekitaran Sukabumi, Jawa Barat. Setelah "berdiskusi" dengan Mbah Google ditemukanlah Desa Gedepangrango.Â
Desa Gedepangrango ini berada di wilayah Kecamatan Kadudampit Kabupaten Sukabumi. Tepatnya berada di bawah kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP).Â
Tidak heran, jika desa ini memiliki panorama alam yang asri dengan kearifan budaya lokalnya. Ditambah tanahnya yang subur, dan udara yang sejuk.
Desa ini memiliki berbagai objek wisata bernuasa alam. Ada objek wisata Suspension Bridge (Jembatan Gantung). Ini adalah jembatan gantung terpanjang se-Asia Tenggara.Â
Panjangnya mencapai 243 meter. Lebarnya 1,8 meter. Ketinggiannya mencapai 121 meter di atas permukaan tanah. Jembatan gantung ini diresmikan oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada Maret 2019.Â
Ada juga objek wisata Danau Situgunung, Tanakita Camping Ground, Curug Sawer, Curug Kembar, objek wisata Cinumpang, Homestay Kampung Sawo, dan Homestay Pasanggrahan. Mau melihat bagaimana memproduksi gula aren atau kopi Mekarasari juga ada. Pokoknya banyak aja.
Dari sekian objek wisata itu, kami memutuskan ke objek wisata Jembatan Gantung Situ Gunung atau Situ Gunung Suspension Bridge. Objek wisata ini memang viral dan menjadi ikon Situ Gunung.Â
Mengapa memilih ke sini? Karena di satu tempat ini, ada beberapa objek wisata yang bisa disambangi. Jadi, bisa dibilang all in one.
Kebetulan juga saya belum pernah ke sini nih. Padahal objek wisata ini diresmikan pada 2019. Kalau dua kawan saya sih sudah pernah.
Kalau sudah pernah ke sini, mengapa harus ke sini lagi? Mengapa bukan ke tempat yang lain? Itu karena ada wahana baru berupa "Keranjang Sultan" yang bisa mengantarkan pengunjung menyeberangi sungai.Â
Jadi, penasaran saja seperti apa sih "keranjang sultan" itu? Apakah akan serasa seperti sultan?
Selain itu, ada tiket terusan. Jadi, kita tidak perlu berjalan kaki sejauh 3 km untuk bisa sampai ke jembatan gantung. Lumayan jauh kan itu secara kami bertiga sudah uzur.Â
"Kalau tiket terusan kita nggak usah jalan kaki jauh lagi. Nanti kita diantar naik ojek atau mobil wara wiri," kata kawan saya.
Harga tiket terusan atau paket jalur hijau ini cukup terjangkau, Rp100.000. Ini sudah termasuk masuk ke jembatan gantung, ke Curug Sawer, Keranjang Sultan, dua kali naik ojek, dan wellcome drink.Â
Tapi, untuk jalur reguler Rp50.000 juga tetap ada. Tergantung wisatawan memilih tiket yang mana. Ada yang Rp75.000, ada juga yang Rp150.000.Â
Dengan paket hijau pengunjung bisa memangkas setengah perjalanan dari yang biasanya. Hanya 1,5 km. Tentu saja menghemat waktu dan tenaga.
Setelah membayar tiket jalur hijau dan memasang gelang, ojek wisata pun sudah siap mengantarkan kami menuju resto "wellcome drink".Â
Di sini, pengunjung mendapat sajian bakso, bubur kacang ijo, pisang rebus, singkong rebus, kopi dan teh. Kita bisa makan sepuasnya. All you can eat. Kalau belum kenyang, boleh kok nambah lagi.
Setelah puas mengisi perut, baru kami melanjutkan perjalanan ke jembatan gantung dengan berjalan kaki. Sebelum melintasinya, pengunjung harus memakai sabuk pengaman untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.
Petugas mencontohkan bagaimana membuka dan mengancingkan pengait. Jika ada aba-aba untuk mengaitkan ke ramp yang terdapat di sisi-sisi jembatan, saya diminta segera mengaitkan.
Semisal ada badai atau kondisi alam ekstrem lainnya. Dikaitkan untuk menjaga posisi pengunjung agar tetap seimbang saat berjalan.Â
Kami pun berjalan melintasi jembatan seberat 80 ton ini. Jembatannya berbahan dasar kayu ulin atau kayu besi dari Papua. Kayu ulin ini tahan terhadap perubahan suhu, kelembapan, berat, keras dan antirayap.
Di sekeliling jembatan, kita akan disuguhi pemandangan bukit hijau dan pepohonan tinggi. Udaranya sejuk dan dingin khas pegunungan.Â
Panorama asri hutan cagar alam Gunung Gede Pangrango, deburan air dari Curug Sawer dan hamparan Situ Gunung. Sungguh memesona.
Di jembatan gantung ini, kami merasakan sensasi berayun. Sambil berjalan, kami pun berfoto-foto dengan berbagai pose. Pengunjung yang lain juga begitu. Hingga akhirnya sampailah kami di ujung jembatan.Â
Dari sini, kami turun menyusuri anak tangga bebatuan yang sudah dipadatkan menuju Curug Sawer. Jalurnya cukup aman. Â Berjarak kurang lebih 500 meter menuruni bukit, meniti tangga berbatu dan jembatan bambu.Â
Taraa... sampailah kami di Curug Sawer yang berada di kawasan Gunung Gede Pangrango. Air terjun ini dikelilingi oleh pepohonan yang masih lebat dan berdiri kokoh.
Curug Sawer Sukabumi ini tingginya sekitar 35 meter, mengalirkan air dengan derasnya di balik tebing batu yang dihiasi tumbuhan merambat di kiri dan kanannya.
Pengunjung tidak boleh berenang di kolam tempat jatuhnya air, karena arusnya cukup deras dan tidak aman buat kita. Alternatifnya, kita dapat bermain air di sekitar aliran air, dengan bebatuan yang berserakan.
Kita juga bisa berfoto-foto di atas jembatan yang cukup dekat ke area curug. Dari atas jembatan kita dapat merasakan hempasan angin akibat deburan air terjun yang cukup deras.Â
Di area Curug Sawer ini ada  perkemahan yang cukup besar. Masing-masing blok telah disediakan kamar mandi dengan disediakannya air bersih. Ini adalah perkemahan jenis glamping alias glamour camping.
Setelah puas berfoto-foto, kami pun menuju "keranjang sultan" melewati area warung yang menjual aneka makanan. Namun, kami memutuskan untuk shalat Ashar terlebih dahulu di mushola yang sudah disediakan.
Keranjang Sultan adalah wahana kursi gantung yang berbentuk keranjang yang terbuat dari rotan. Keranjang Sultan ini sangat aman karena pengunjung akan dipasangkan pengaman ke tali besi baja (sling).
Ada ada 4 keranjang yang disediakan dan bisa dinaiki wisatawan secara bergantian. Perjalanan Keranjang Sultan ini digerakkan oleh mesin motor untuk yang akan berjalan melintasi sungai dan bebatuan dengan rute sepanjang 100 meter.
Keranjang sultan ini meluncur di atas arus sungai dan bebatuan sambil menikmati keindahan alam. Menguji adrenalin, kata kawan saya. Kalau saya mah biasa saja tuh hehehe...Â
Setelah melintasi sungai, kami melanjutkan perjalanan melewati jembatan merah menuju jembatan gantung kedua. Sayang hujan turun dengan deras. Untungnya, ada abang penjual jas hujan. Jadilah kami memakai jas hujan.
"Mbak, hujan-hujan begini boleh jembatannya dilewati?" tanya saya memastikan ucapan kawan saya yang bilang kalau hujan dilarang melintasi. Kebetulan juga ada beberapa pengunjung yang berteduh.Â
"Boleh Ibu, silakan. Kalau badai baru disarankan untuk menunda," katanya.Â
"Kita jalan aja ya, nunggu reda nggak tahu berapa lama kan?" kata saya. Kedua kawan saya sepakat.
Jembatan gantung kedua ini panjangnya "hanya" 103 meter dengan ketinggian 70 meter. Digunakan sebagai akses jalan pulang bagi pengunjung yang telah melewati jembatan gantung pertama yang mengarah ke area Curug Sawer.
Sampai di ujung jembatan, kami melanjutkan perjalanan yang menanjak. Tidak lama. Mungkin sekitar 10 menit perjalanan. Baru deh kami diantar dengan ojek wisata menuju area parkir, masih sambil hujan-hujanan.Â
Tadinya, habis dari sini, kami akan melanjutkan ke Danau Situ Gunung. Jaraknya cukup dekat. Dari tempat parkir ke telaga bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Bisa juga naik ojek wisata. Entah berapa tarifnya.Â
Cuma berhubung sebentar lagi waktu Maghrib dan hujan deras juga, jadi kami memutuskan pulang. Tuntas sudah healing kami ini. Sehat jiwa dan rohani. Suatu ketika kami akan kembali lagi ke sini. Tentu saja dengan cerita yang berbeda.
Demikian...
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H