Taraa... hari kedua di awal tahun baru 2022, saya dan keluarga berada di Geopark Ciletuh, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Kesampaian juga rasa penasaran saya untuk menjejakkan kaki ke sini.
Terus terang, ini baru pertama kalinya kami ke sini. Karena memang baru tahu juga. Kasihan ya! Seringnya sih ketika kami  berkunjung ke Cibadak, ya ke Pantai Pelabuhan Ratu.Â
Ya ampun, sering ke Cibadak dan ke Pelabuhan Ratu saja saya tidak tahu. Bagaimana kalau tidak? Wah, wah, wah kebangetan banget kan?! Masa ada tempat wisata asyik saya tidak tahu hehehe...
Ketika melintasi ke arah Pelabuhan Ratu memang sih ada petunjuk jalan "Geopark Ciletuh". Tapi tidak sadar juga kalau ini ternyata tempat wisata. Pikiran saya mah itu adalah tempat penelitian para ahli geologi, juga flora dan fauna.
Baca juga:
Jalan Malam ke Geopark Ciletuh Mencium Aroma Bunga Melati di Perkebunan Karet
Ternyata, kawasan Geopark Ciletuh itu luas banget. Luasnya mencapai 126 ribu hektar atau 30,3 persen dari luas wilayah Kabupaten Sukabumi.
Tersebar di 74 desa di 8 kecamatan Kabupaten Sukabumi, yakni Cisolok, Cikakak, Palabuhanratu, Simpenan, Waluran, Ciemas, Ciracap dan Surade.
Berdasarkan informasi yang saya baca Taman Bumi Ciletuh ini ternyata sudah ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO atau UNESCO Global Geopark (UGG) pada 2018.
Taman ini dikelilingi oleh hamparan aluvial dengan bebatuan unik dan pemandangan yang indah. Keindahan alamnya lengkap.Â
Ada landscape, gunung, air terjun, sawah, ladang, dan berujung di muara sungai ke laut. Ciletuh juga punya pantai dengan ombak yang disukai para peselancar dunia.
Oh ternyata, begitu ya.
Baca juga:
Curug Cihampar, Air Terjun Perawan di Kaki Gunung Salak
Ok, mari saya lanjutkan petualangan kami. Jarak homestay ke Pantai Palangpang yang menjadi pintu masuk Geopark Ciletuh sebenarnya tidak begitu jauh. Butuh waktu sekitar 5 menit berkendara.Â
Bisa saja sih jalan kaki. Bagi saya yang terbiasa jalan kaki, lumayan dekatlah itu. Mungkin sama jauhnya menyusuri jembatan penyeberangan Halte Bus TransJakarta Semanggi.Â
Tapi berhubung bersama anak-anak dan bawa gembolan jadi kami naik mobil. Tiket parkir mobil hanya Rp10.000 yang bertuliskan Geopark Ciletuh. Tarifnya masih normal.Â
Di area ini ada tulisan "Geopark Ciletuh" dengan huruf-huruf yang besar. Menjadi pembuktian penetapan Geopark Ciletuh. Saya perhatikan banyak pengunjung yang berfoto dengan berlatarkan tulisan "Geopark Ciletuh".
Tujuan kami bukan ke Pantai Palangpang, melainkan Pantai Pasir Putih di Pulau Kunti. Pantai Palangpang terlalu ramai menurut kami. Lagi pula tekstur pasirnya tidak beda jauh dengan pasir di Pantai Pelabuhan Ratu.
Pantai Palangpang sendiri berlokasi di Ciwaru. Kawasan muara sungai yang menjadi pusat kegiatan nelayan. Itu sebabnya, air pantai ini tidak jernih tapi kecoklatan.Â
Baca juga: Berlibur ke Pulau Sempu Ternyata Pulau Terlarang Dikunjungi Wisatawan
Oh iya, dinamakan Pulau Kunti, karena katanya ketika air sedang pasang dan deburan ombak menghantam batu karang dan bebatuan suaranya terdengar bagai suara kunti. Kunti dalam bahasa Indonesia berarti kuntilanak.Â
Jadi, ketika ombak datang, terdengar suara kuntilanak. Hantu perempuan berambut panjang dengan tawa yang menyeramkan. Hihihihihi.... hihihihihi.... hihihihihi... Begitu barangkali tawa kunti seperti yang sering saya dengar di film horor.Â
Gara-gara ini, dulu katanya, tidak ada orang yang berani menginjakkan kakinya di Pulau Kunti. Para nelayan juga tidak mau mencari ikan di sekitar pulau yang terletak di Kawasan Geopark Ciletuh, Kabupaten Sukabumi, tersebut.
Namun, banyak juga yang percaya, Kunti ini adalah Dewi Kunti yang dipercaya warga pesisir sebagai sohibnya penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul.
Pulau Kunti yang berada di ujung semenanjung terbentuk dari sedimen Batuan Melan. Usianya diperkirakan antara 55 juta tahun sampai 65 juta tahun. Setidaknya dibuktikan dengan ditemukannya fossil numulates.
Nah, untuk bisa ke Pulau Kunti, kami harus menyeberang menggunakan perahu nelayan. Tarifnya cukup terjangkau. Per orang dikenai Rp35.000. Satu perahu harus bersepuluh.
Menurut saya, untuk ukuran tempat wisata, tarif ini termasuk murah. Coba kalau disuruh berenang, mau? Mana mau saya, lha wong saya tidak bisa berenang hehehe...
Kami bersepuluh. Adik saya, isterinya, dua anaknya, saya, suami, tiga anak saya, dan satu kawan anak pertama saya. Jadi, kami membayar Rp350.000. Tarif ini bukan sekali jalan, tapi juga pulangnya. Murah kan?
Pemilik transportasi perahu nelayan ini adalah ipar dari pemilik homestay yang kami inapi. Jadi, kami tidak perlu mencari perahu, pemilik homestay itulah yang mencarikan buat kami.
Kami pun "berlayar". Tidak lupa memakai pelampung untuk berjaga-jaga. Senang dong. Pemandangan pantai dan laut membuat saya takjub. Anak-anak juga terlihat senang.
Saya menikmati alunan deburan ombak yang menghantam perahu nelayan. Angin yang berhembus membelai wajah.Â
Sampailah kami di Pantai Pasir Putih Geopark Ciletuh. Perjalanan tidak sampai 15 menit. Perahu nelayan tidak menunggu kami. Perahu akan menjemput kami setelah kami menghubungi untuk dijemput.
Di sini, sebagaimana namanya, hamparan pasir putih berkilauan ditimpa sinar matahari. Pulau ini menghadap langsung ke Samudra Hindia arah barat.
Pulau Kunti terbentuk dari sedimen Batuan Melan. Usianya diperkirakan antara 55 juta tahun sampai 65 juta tahun. Setidaknya, dibuktikan dengan ditemukannya fossil numulates.
Berada di ujung semenanjung area Gunung Badak kawasan Hutan Suaka Margasatwa Cikepuh atau Cagar Alam Cibanteng. Tidak heran jika di sini, banyak flora dan fauna unik dan langka.
Juru mudi perahu nelayan menjelaskan pulau ini terbentuk dari sesar Indo - Australi dan Kroasia yang reduksi tersingkap naik ke permukaan hingga akhirnya membentuk hamparan paling ujung di semenanjung.
Pengunjung cukup ramai juga di sini, tapi tidak seramai di Pantai Palangpang. Kami beristirahat di lapak isteri pemilik perahu nelayan.Â
Ketika perahu yang kami tumpangi "bersandar", ibu itu yang menyambut kami dan mempersilakan kami untuk berteduh di lapaknya.
Ibu itu berjualan macam-macam. Aneka minuman kemasan, minuman mineral, kelapa muda, makanan ringan, mie instan, dan bakso. Si ibu tidak sendiri. Saya perhatikan banyak juga yang membuka lapak.
Anak-anak saya terlihat antusias bermain air di pantai. Berenang bersama sepupunya. Airnya cukup jernih. Tidak seperti di Pantai Palangpang yang agak kecoklatan. Ombaknya pun landai.
Setelah puas bermain air, kami menyusuri pantai ke arah kanan. Tujuannya ke gua Kunti. Jaraknya mungkin sekitar 700 meter atau 1 km? Entahlah. Sekitar itulah.
Untuk bisa sampai ke gua, kami harus menyusuri bebatuan hasil muntahan gunung berapi di masa lampau (nama gunungnya apa ya?). Memang sih bebatuan yang kami lewati seperti terlihat membentuk aliran lava.Â
Bebatuan ini cukup tajam. Jadi, pastikan menggunakan alas kaki. Tapi adik saya menyusurinya tanpa alas kaki. Ia berjalan pelan-pelan agar tidak salah memijak batu yang cukup tajam.
Gua Kunti sendiri gua dangkal dan buntu. Panjangnya mungkin sekitar 9 meter dengan tinggi langit-langit 5 meter. Gua purba ini dihasilkan dari abrasi air laut yang menghantam dinding lava, kemudian keropos lalu berbentuk jadi semacam gua.
Orang-orang menyebutnya gua anti jomblo. Katanya, ada mitos siapa yang masuk ke gua itu maka akan dapat jodoh. Lha, saya dan suami bagaimana dong, dapat jodoh lagi begitu?Â
Ah namanya juga mitos. Makanya, saya lebih senang menyebutnya Gua Kunti, sesuai dengan nama Pulau Kunti. Rasanya tidak nyambung saja Pulau Kunti dengan Gua Anti Jomblo hehehe...
Gua ini menghadap pantai dengan di bagian depannya berupa hamparan karang berlubang. Gua berukuran besar, ini menjadi salah satu daya tarik juga di kawasan Pulau Kunti selain suara kuntilanak di area ini.
Suami saya berenang di hamparan karang depan gua. Airnya jernih, deburan ombaknya juga landai. Jadi, berasa di pulau pribadi seperti saat berlibur di Pulau Sempu, Malang, Jawa Timur.Â
Setelah dari sini, kami berkeliling ke arah utara. Di sini, ada pantai yang lebih private, lebih sepi. Namanya Pantai Cikadal. Berada di sini seperti memiliki pulau sendiri. Puas berenang, kami pun kembali ke lapak si ibu.Â
Sayang, kami tidak lama di sini. Hutan di pulau ini belum kami susuri. Di dalam hutan yang dilindungi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) ini dipercaya terdapat owa jawa dan macan tutul.Â
Berbagai jenis burung langka pun diketahui bersarang di hutan ini. Burung-burung eksotis dengan bulu berwarna-warni juga kerap ditemukan hinggap di dahan pohon waru di tepi pantai.
Coba kalau Senin tidak ada agenda pekerjaan, anak-anak juga tidak ada belajar online, mungkin akan lebih lama di sini.Â
Karena di sini, di kawasan Geopark Ciletuh, banyak tempat wisata yang menarik dikunjungi. Ada pesawahan, ladang, sungai, curug-curug atau air terjunnya yang eksotis.Â
Tidak jauh dari homestay sebenarnya ada curug juga. Namanya curug Cimarinjung. Ke luar dari rumah tempat kami menginap ada juga curug yang lain. Curug yang terlihat saat kami menyeberang.Â
Sayang, kami tidak ada waktu lagi untuk menjelajahinya. Kata pemilik homestay, kalau mau pulang disarankan jangan malam.Â
Katanya, lebih baik jalan jam 2 atau jam 3 sore. Untuk menghindari macet mengingat jalan pulang kontur jalanan menanjak dan menikung.
Eh, kami jalan selepas Ashar karena anak-anak masih tertidur setelah mandi. Mungkin karena lelah.Â
Suatu saat kami akan kembali lagi ke mari dengan keseruan yang lain. Karena berwisata ke geopark memberikan banyak manfaat mulai dari wisata edukasi, alam, hingga budaya dalam satu destinasi wisata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H