Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dokter Gadungan, Apa Kabarnya Komite Medis PSSI?

6 Desember 2021   10:50 Diperbarui: 6 Desember 2021   10:57 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepandai-pandainya tupai melompat, ia akan jatuh juga. Begitu peribahasa yang tepat untuk menggambarkan sosok Elwizan Aminuddin.

Selama 11 tahun melompat dari tim sepak bola ke tim sepak bola lain, akhirnya si tupai yang bernama Elwizan Aminuddin, itu jatuh terjerembab.

Ya, bayangkan selama 11 tahun ia menjadi tim dokter di sejumlah tim sepak bola Tanah Air. Ternyata oh ternyata, profesi dokter yang disandangnya hanya pepesan kosong.

Dokter gadungan. Begitulah julukannya sekarang. Setelah jatuh terjerembab dalam kubangan lumpur, si dokter gadungan itu mengundurkan diri.

Eit, memang seenaknya bisa mengundurkan diri tanpa ada pertanggungjawaban? Info terbaru, dokter gadungan itu dilaporkan ke pihak kepolisian atas kasus penipuan dan pembohongan publik.

Nah, semakin dalam kan ia terperosok jauh?

Mengapa kasus yang menurut saya sangat memalukan ini bisa terkuak? Mungkin karena si tupai itu sombong, merasa di atas, sehingga tidak mengantisipasi ketika angin kencang menerpanya.

Kasus tersebut terkuak setelah seorang kardiolog bernama Muhammad Iqbal Amin membongkar identitas Elwizan Aminuddin lewat akun Twitter pribadinya, @iqbalamin89.

Iqbal menunjukkan foto-foto yang memperlihatkan Elwizan Aminuddin tidak terdaftar di aplikasi Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), maupun Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti).

Helloooo, 11 tahun lho. Selama 11 tahun itu apa yang sudah dilakukannya terhadap para pemain sepak bola?

Setelah cuitan Iqbal Amin ramai dibicarakan, berbagai tim sepak bola yang pernah menggunakan jasanya, pun kebakaran jenggot. Kelabakan.

PT Liga Indonesia Baru selaku operator kompetisi Liga 1 serta PSS Sleman langsung melakukan penyelidikan. Hasilnya, ditemukan fakta si Elwizan Amiduddin ini tidak memiliki ijazah kedokteran yang terdaftar.

Manejemen PSS Sleman juga melakukan penelusuran. Dan, hasilnya... sami mawon alias sama saja. Bodong semua. Asli tapi palsu. Palsu tapi kelihatan asli.

Ijazah, sertifikat kompetensi, Surat Keterangan Registrasi (STR), dan Surat Izin Praktek (SIP) Elwizan Aminuddin ditelusuri ke Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Sudah bisa diduga, ijazah kedokteran Elwizan Aminuddin memang tidak terdaftar alias palsu. Berdasarkan berkas verifikasi keabsahan ijazah No: 5752/UN11/WA.01.00/2021 dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh menyatakan ijazahnya palsu.

"Kami membawa berkas lengkap dari internal PT PSS berupa kontrak kerja dari yang bersangkutan," ujar Direktur Operasional PT PSS, Hempri Suyatna, soal kasus Elwizan Aminuddin yang saya kutip dari situs resmi klub, pssleman.id, Jumat, 2 Desember 2021.

Jelas saja kasus ini mengejutkan. Saya saja sebagai masyarakat awam terkejut, bikin saya geleng-geleng kepala. Bagaimana dengan pihak yang sudah menggunakan jasanya, saya pastikan lebih terkejut lagi.

Bayangkan saja si tupai ini sudah lama malang melintang di sepak bola nasional menggunakan ijazah palsunya.

Elwizan Aminuddin, tercatat pernah bekerja sebagai dokter tim di beberapa klub Liga 1 seperti Bali United, Persita Tangerang, Kalteng Putri.

kompas.com
kompas.com

Amin juga tercatat pernah menjabat sebagai dokter timnas Indonesia U16 dan U19 pada 2018. Ya ampun... sekelas timnas saja bisa kecolongan?

Otoritas sepak bola bisa kecolongan dalam hal profesi tenaga medis? Seriusan? Bukankah ada Komite Medis PSSI? Gubrak tidak tuh? Ini suatu tamparan buat PSSI!

Kalau kata Bang Haji Rhoma Irama, sungguh ter-la-lu. Kalau kata saya, sungguh me-ma-lu-kan.

Terbaru, ya PSS Sleman. Coba, bagaimana saya tidak geleng-geleng kepala? Bagaimana prosedur perekrutannya?

Berdasarkan Pasal 31 Regulasi Liga 1 2021-2022 ayat 2 poin D:VII secara garis besar berbunyi:

"Dokumen pendukung terhadap kualifikasi atau status kerja Dokter Tim adalah ijazah sesuai dengan kualifikasi kedokteran dan sertifikasi dari PSSI"

Itu artinya, sertifikasi PSSI juga termasuk salah satu dokumen yang harus dilampirkan kepada PT LIB (Liga Indonesia Baru) ketika mendaftarkan dokter tim.

Dengan kata lain, Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia atau PSSI bertanggung jawab terhadap kualifikasi dokter tim peserta Liga 1. Tanpa sertifikat ini, seorang dokter tidak bisa menjadi tim dokter.

Saya lantas bertanya kepada Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr. Daeng Mohammad Faqih SH, semalam.

"Apa yang salah? Apa yang harus dibenahi?"

Dokter Daeng mengatakan pihak-pihak yang akan merekrut dokter bisa berkordinasi. Berkomunikasi dengan IDI setempat untuk mendapatkan info tentang dokter yang bersangkutan.

Untuk memastikan bahwa yang bersangkutan betul-betul dokter dan sudah terdaftar di IDI.

"Bagi pihak-pihak yanh akan merekrut dokter sebaiknya lebih teliti. Semua syarat dan kelengkapan dokumen seharusnya dimintakan kepada dokter yang bersangkutan," katanya.

Dari pernyataan dr. Daeng ini terlihat bahwa tidak ada komunikasi antara PT LIB, PSSI dengan IDI untuk memastikan apakah benar yang bersangkutan dokter. 

Jika terjadi komunikasi, pastinya hal ini tidak akan terjadi. Begitu, bukan? Apa fungsinya Komite Medis PSSI dong kalau begitu?

Dokter Daeng yang juga ahli hukum, sepakat jika kasus ini dibawa ke ranah hukum. Dalam kasus ini ada unsur penipuan, pemalsuan, dan pembohongan publik.

Jadi, saya patut mengucapkan terima kasih kepada dr Muhammad Iqbal Amin yang membongkar kepalsuan itu.

Apa jadinya dunia persepakbolaan Indonesia jika tetap memakai si tupai itu? Berapa banyak nyawa yang terancam dengan penanganannya?

Bisa saja saja dia kasih salah obat atau salah memberikan rekomendasi. Tidak terbayang kan jika ia praktek di rumah sakit?

Karena ternyata banyak komplain dari pemain atau ofisial tentang penanganan medis si tupai. Lebih mengarah ke malapraktik. Serem kan?

Belajar dari kasus ini, kita jangan mudah tersilau oleh bereret sertifikat, sebelum kita menyakini betul bahwa orang tersebut memang apa adanya.

Kalau bisa syarat-syarat untuk bisa menjadi dokter tim atau fisioterapis di klub sepak bola lebih diperketat lagi.

Rutin juga adakan workshop untuk meningkatkan keilmuan dan kemampuan dokter tim tentang penanganan cedera di lapangan.

Sebagai penutup tulisan ini, saya mau menutupnya dengan puisi:

kita bersuara, kita berontak
bukan sekedar menggertak
bukan juga untuk bikin berantak
kita hanya ingin tidak banyak yang tergeletak

gunakan akal, gunakan otak
jangan ada lagi dokter gadungan yang takberwatak
tiada gading yang takretak
mari kita benahi bersama, 
serentak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun