Tapi saya meminta suami tidak perlu menunggu saya. Apalagi saya tidak dalam keadaan payah. Saya minta suami lebih baik menemani anak-anak saja.
Uang buat bayar swab antigen kan bisa dialihkan buat yang lain, buat beli beras, misalnya hehehe... Kalau saya, kan ada perawat yang jaga.
"Kalau mau bawa-bawa sesuatu buat aku, titip aja ke perawat atau satpam," kata saya. Kebetulan waktu ke IGD memang tidak bawa apa-apa. Hanya pakaian yang melekat di tubuh.
Aturan pasien tidak boleh dijenguk selama pandemi Covid-19 juga masih berlaku. Semua tertuang dalam peraturan rawat inap yang harus ditandatangani pasien atau keluarga pasien.
Paginya, dr. Yani Kurniawan, SpPD, visit memeriksa saya. Mungkin karena saya penyintas kanker dan memang pasien di RS ini, saya mendapat perhatian lebih. Ini sih perasaan saya saja. Sepertinya saya diperlakukan dengan lebih hati-hati.
Stetoskopnya memeriksa dada, lalu perut saya, lantas jari-jarinya menekan-nekan perut saya. Ia pun bertanya apakah saya masih mual? Muntah? Buang-buang air besar? Saya jawab "sudah nggak".
"Makan, minum, lancar?" tanyanya yang saya jawab lancar.
Karena saya merasa sudah membaik, saya minta pulang. Tapi dokter tidak mengijinkan.
"Pulang? Belum juga 24 jam. Kita lihat 1 hari lagi ya buat observasi. Kalau memang sudah membaik boleh pulang dan rawat jalan," katanya (tersenyum) dari balik masker.
"Begitu ya, Dok. Baiklah kalau begitu," kata saya seraya mengucapkan terima kasih ketika akan meninggalkan ruang rawat yang saya inapi ini.
Obat infus yang tadi sudah disiapkan dipasangkan lagi. Kebetulan satu kantong infus sudah habis.