Sampailah saya di IGD, yang dekat pintu utama, tapi sejak pandemi pintu masuk beralih di samping. Saya masuk ke ruang IGD. Saya dapati bed dalam keadaan kosong. Sepi.
Tidak ada hiruk pikuk pasien dan tenaga kesehatan di dalam. Berbeda ketika saya membawa ibu saya ke sini sebulan lalu. Penuh dan antri. Beda banget. Sangat kontras. Apakah berarti kasus Covid-19 tengah melandai?
Ada dua petugas kesehatan yang mengenakan APD berdiri ketika melihat saya datang.
"Ada yang bisa dibantu?" tanya petugas perempuan ketika saya akan merebah di bed sebagaimana permintaan suami.
"Ada batuk, pilek, sesak napas, demam?" tanyanya.
"Nggak," jawab saya.
"Oh, IGD-nya yang sebelah sana ya bu. Kalau ini untuk zona merah. Yang zona hijau sebelah sana. Kalau di sini khusus Covid-19," katanya sambil tangannya memberikan arahan petunjuk.
O, o... salah dong. Ya maaf. Namanya juga tidak tahu. Saya mana pernah ke IGD selama Covid-19 selain saat mengantarkan ibu saya. Itu pun sekali dan di luar karena mengantri.
Akhirnya, ke IGD yang dimaksud. Sepi juga. Dari 25 bed hitungan saya, hanya sekitar 4 bed yang terisi. Itu sudah termasuk saya. Tidak terlihat antrian. Mau tidur di bed mana saja, sepertinya terserah. Saya saja pilih bed terserah saya. Apakah semua sudah terkendali?
Ketika suami mengurus administrasi, saya diperiksa. Ditensi. Saturasi saya juga dicek. Normal. Darah saya juga diambil untuk diperiksa di laboratorium. Perawat lalu menanyakan keluhan saya. Ya saya jawab seperti apa adanya.
Selain itu, menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang standar. Apakah saya ada penyakit diabetes, hipertensi, jantung, alergi obat? Saya jawab tidak, selain saya sebagai penyintas kanker dan pengobatannya di sini.