"Apanya yang baik-baik aja? Itu kakak marah-marah nggak jelas, nggak mandi-mandi, mengurung diri, buku dicorat coret begitu," kata saya sambil membaca coret-coretannya.
Setelah beberapa hari berpikir atau mungkin merenung atau barangkali juga meresapi perkataan-perkataan saya saat menyuapinya (karena saat itu dia tidak mau ke bawah dan tidak mau makan), anak saya pun minta dibawa ke psikiater.
"Ya udah Bun, ke psikiater aja," katanya.
Sebenarnya, untuk urusan mental atau jiwa, tidak perlu ke dokter spesialis kesehatan jiwa. Menurut saya sih isi saja jiwa dengan hal-hal yang berkaitan dengan makanan rohani.
Misalnya memperbaiki shalat wajib, perbanyak shalat sunah, perbanyak dzikir, perbanyak doa, perbanyak shalawat, perbanyak puasa sunah, perbanyak sedekah dan lain-lain yang berkaitan dengan amalan.
Seperti yang sering saya lakukan kalau saya merasa hati atau jiwa saya lagi tidak baik-baik saja. Ya saya charge dengan makanan rohani, yang biasanya akan kembali pulih dengan sendirinya. Dan, biasanya jiwa kembali tenang.
Cuma untuk level anak saya mungkin belum bisa seperti saya. Jadi, menurut saya, penanganannya pun berbeda. Terus terang saya belum pernah bertemu dengan psikiater atau psikolog untuk berobat atau berkonsultasi.
Lebih seringnya bertemu dalam suatu acara yang membahas mengenai kesehatan jiwa. Jadi hubungan saya sebatas relasi. Jadi, saya penasaran juga karena suasana hati pasti berbeda.
Saya lantas mencari informasi apakah BPJS Kesehatan juga mencakup pelayanan kesehatan jiwa, ternyata iya. Peserta BPJS Kesehatan juga menerima manfaat pelayanan kesehatan mental atau masalah psikis.
Hal itu sejalan dengan UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam UU itu menjelaskan definisi kesehatan yaitu keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
"Ya sudah, kita ke klinik dr Salma dulu. Bunda mau tahu pakai BPJS bisa nggak? Kalo nggak, kita langsung ke RS Hermina Depok aja, tadi Bunda ada jadwalnya," kata saya.