Keesokan harinya, kakak dikebumikan. Banyak orang yang mengiringi kepergian kakak. Hampir semuanya aku tidak mengenalnya. Aku tidak tahu kenapa begitu banyak yang kehilangan. Tanpa kusadari, egolah yang menutup mataku hingga aku tak tau hal kecil. Selepas kepergian kakak, aku kembali ke Jakarta. Sebelum pergi, paman menitipkan surat kepadaku.
"Bacalah setelah kau sampai di rumah. Aku harap kau bisa berubah. Dan mengerti apa yang terjadi selama ini." Aku hanya mengangguk.
Jalanan lengang tidak seperti biasanya. Jadi aku bisa lebih cepat sampai di rumah. Aku penasaran dengan isi surat itu. selepas istirahat sejenak, aku mengambil suratnya yang tersimpan di saku kemeja.
"Dear Tegar, Paman tahu kau benci sama kakakmu. Tapi sungguh, paman mohon jangan sampai kebencianmu menutup semua kasih sayangmu terhadap kakakmu. Akan paman ceritakan sesuatu yang mungkin tidak kamu ketahui selama ini. semoga ini bisa membuat akar kebencian yang ada dalam hatimu mengering.
Semenjak ayah dan ibumu meninggal, kakakmu sangat terpukul. Saat itu kamu masih sangat kecil. Sejak kecil kakakmu mengurusmu dengan sangan baik, hingga suatu ketika kecelakaan menimpanya. Kakakmu lumpuh. Hanya itu yang kamu tau. Tanpa tau penyebabnya. Kakakmu lumpuh karena menolongmu saat kau akan tertabrak.Â
Kakakmu selalu menyalahkan diri sendiri saat menyadari ia selalu merepotkan orang-orang disekitarnya. Karena itu, ia selalu marah. Tapi, sebelum itu, ia selalu berbuat baik kepada semua orang. Tidak pandang bulu. Tapi sayang, kebaikan itu tidak membantu banyak saat ia kecelakaan. Ketahuilah, setelah ia menyadari kesalahannya karena memarahimu, dia selalu menangis tersedu-sedu diatas sejadahnya.Â
Dia selalu mendoakanmu. Hanya saja ia tak tahu bagaimana cara untuk mengugkapkan rasa sayangnya padamu. Dia terpaksa menitipkanmu pada paman, karena dia tidak mau kamu kesusahan dan juga putus sekolah. untuk itu dia bekerja keras sebelum kakinya lumpuh.Â
Uangnya ia titipkan pada paman. Apa yang selama ini terjadi, tidak seperti yang kamu kira. Kakakmu sangat menyayangimu. Kau bisa menyelesaikan pendidikanmu setinggi ini karena kakakmu. Ia rela berhenti sekolah demi kamu. jangan pernah kamu salah memaknai kemarahan kakakmu. Sungguh, kakakmu sangat baik. Kakakmu sangat menyayangimu. Jangan kau lupakan kebaikannya hanya karena satu kesalahan. Paman mohon. Mengertilah.
Pamanmu,"
Setelah aku membaca surat itu, aku tertegun. Tak terasa bulir air mata jatuh di pipiku. Selama ini aku hanya tau kakakku tidak mau merawatku karena dia lumpuh.Â
Aku hanya tau fakta bahwa kakakku selalu marah. Tidak pernah satu kali aku benar di matanya. Selalu saja salah. Selama ini aku tidak pernah tau kejadian sebenarnya. Kini aku tau kenapa kakak selalu marah. Bukan karena dia membenciku. Bukan karena dia tidak menyukaiku.
Tapi semuanya terlambat. Kakak sudah tiada sebelum aku mengetahui yang sebenarnya.
Kakak maafkan aku. Sungguh maafkan aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H