Mohon tunggu...
Lala LailatulBadriyah
Lala LailatulBadriyah Mohon Tunggu... Novelis - Jika Allah ridho padaku, maka tidak ada lagi yang lebih aku senangi.

Semakin besar suatu pohon, maka besar pula angin yang menerpanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kasih Seorang Kakak

8 Mei 2020   13:35 Diperbarui: 8 Mei 2020   13:44 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Baiklah Tegar, jika memang kau tidak ingin pulang, setidaknya kau balas suratku untuk kakakmu. Ia sudah menunggu balasan surat itu. ingat, kakakmu selalu menyayangimu. Sampai kapanpun." Telpon ditutup.

Aku kembali ke kamar untuk mandi. Berganti pakaian dan pergi keluar untuk mencari makan. Aku tak ingin makan di rumah. Pukul sepuluh aku baru kembali ke rumah dan langsung tidur.

Esok pagi aku kembali terbangun oleh mimpi yang tidak aku sukai. Aku mengusap wajah. Hari ini weekend, tidak ada salahnya aku pulang ke rumah menjenguk kakak. 

Siang harinya aku langsung berangkat menggunakan mobil pribadi menuju yogyakarta. Mampir sebentar ke supermarket membeli makanan. Baru tiba di rumah pukul enam sore. Aku meneguhkan hati saat mobil masuk pelataran rumah. Tidak ramai, ada beberapa lampu yang menyala terang.

Saat aku tiba di bingkai pintu, aku terdiam membisu. Memandang kosong daun bintu yang tidak pernah berubah sepuluh tahun terakhir. Aku hendak mengetuk pintu saat seseorang membukanya.

"Ah, tegar. Akhirnya kau datang juga. Kakakmu sudah menunggumu sejak kemarin. Di terus-terusan memanggil namamu. Segeralah kau temui dia. Dia akan senang bertemu denganmu." Paman Khan yang menyapa. Ia yang menelpon juga mengirim surat ke rumahku.

"Aku tidak bisa lama-lama di sini, paman. Pekerjaanku masih banyak. Aku harus segera menyelesaikannya." Jawabku datar.

"Kau selalu saja begitu." Paman berseru lantang. Ia menepuk bahuku. "Yasudah. Segera temui kakakmu. Dia ingin berbicara denganmu sebelum kau pergi."

Aku hanya mengangguk.

Aku melangkah menuju kamar lantai dua. Di sana seseorang terbaring lemah tak berdaya. Berbeda sekali dengan keadaannya yang dulu. Aku mematung di bawah bingkai pintu. Menatap datar suasana yang terjadi. Lihatlah, kakakku sekarang sedang terbaring lemah. Tapi kenapa tak sedikitpun aku merasakan kesedihan. Bahkan sebaliknya, terbesit rasa marah di hatiku. Ingin aku segera berlari dari tempat ini.
Seseorang menyadari keberadaanku. "Tegar, kau datang, nak."

"Mana Tegar?" suara parau kakak bertanya hampir tak terdengar. Sebagai jawabannya, aku maju melangkah mendekati tempat tidur meletakakkan bingkisan yang kubawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun