Aku menghembuskan nafas. Bahkan saat aku tidak ingin diganggu pun tetap saja bandel. "Baik, bi. Aku nanti ke sana." Aku meletakkan makanan ikan di samping kolam. Pelayan itu hanya mengangguk lantas kembali ke dapur menyambung pekerjaan yang tertunda.
"Hallo." Ucapku datar.
"Tegar, akhirnya aku bisa menghubungimu setelah sekian lama." Orang di seberang telpon berseru riang.
"Ada apa? Aku tidak punya banyak waktu. Aku sedang sibuk." Aku menjawab ketus. Orang di seberang telpon mengernyitkan dahi.
"Astaga, Tegar! Aku hanya ingin mengabarkanmu kalau kakakmu sakit. Tidakkah kau ingin menjenguknya? Dia selalu memanggil nama kau. Seharusnya kau kemari saat menerima surat dariku."
Ternyata dia yang mengirim surat. Pantas saja dia tidak mencantumkan namanya. Sepertinya dia sudah tau kalau aku menerima surat darinya, sampai kapanpun aku tidak mau membacanya bahkan menerimanya pun enggan.Â
Sejak aku pergi dari rumah, aku memutuskan tidak ingin menghubungi mereka apalagi pulang. Buat apa? Toh aku hanya akan mengganggu kehidupan mereka. bukan begitu yang dikatakan kakakku dulu saat aku memecahkan barang berharga milik kakak pemberian dari temannya.
"Kau selalu saja membuat onar, Tegar! Tidakkah kau bisa tenang dengan kehidupanmu sendiri? Tidak selalu mengganggu hidupku? Selalu saja membuatku marah!" kakakku membanting pintu kamarnya setelah membentakku.
Saat itu aku berumur lima belas tahun. Masih kelas satu SMA. Itu hanya sebagian kecil pertengkaranku dengannya. Hampir setiap hari ada saja yang di permasalahkan. Setiap apa yang kulakukan selalu salah di matanya. Hampir tidak ada kata pujian meskipun aku sudah berbuat baik.
"Pulanglah, Tegar. Kau sudah terlalu lama meninggalkan kami. Jangan kau siram kebencian itu di hati kamu. percayalah, kakakmu sangat menyayangi kamu terlepas dari apa yang selama ini ia perbuat untuk kamu. lupakan kesalahannya, tidakkah ada kebaikannya yang kau ingat walaupun itu hanya satu?"
Aku hanya menghela nafas perlahan mendengar kalimatnya. Ya, sudah hampir sepuluh tahu aku meninggalkan rumah tanpa kabar. Bahkan aku sudah punya rumah sendiri di sini. Sejak ayah dan ibu tidak ada, perangai kakak berubah delapan puluh drajat. Ia jadi selalu marah-marah, kesal, mengurung diri di kamar. Tak pelak selalu aku yang jadi pelampiasannya.