BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam konsep negara hukum, keberadaan norma-norma hukum yang mengatur tatanan kehidupan masyarakatguna mencapai suatu ketertiban, merupakan karakter umum dari Negara yang diselenggarakan oleh hukum.[1] Kehidupan dalam masyarakat yang sedikit banyak berjalan dengan tertib dan teratur ini didukung oleh adanya suatu tantanan.
Karenaadanya tatanan inilah kehidupan menjadi tertib. Pandangan ini menjelaskan fungsi utama hukum untuk menciptakan keadilan akibat adanya ketertiban, yang diorganisasikan oleh lembaga-lembaga formil dan informil, yang masing-masing merujuk kepada hukum tertulis dan tidak tidak tertulis.[2]
Negara hukum adalah konsep yang selalu saja mengalami simplikasi makna menjadi dalam negara berlaku hukum. Padahal filosofi negara hukum meliputi pengertian, ketika negara melaksanakan kekuasaannya, maka negara tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya, ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis.
Akan tetapi, jika pengawasan hukum atas kekuasaan negara tidak memadai, pengertian substantif negara hukum akan terperosok ke dalam kubangan lumpur negara yang kuasa. Jika kondisi demikian berlangsung terus, maka negara itu lebih tepat disebut sebagai negara yang nihil hukum. Dalam negara seperti ini bila dipandang secara kasat mata memang terdapat seperangkat aturan hukum.
Tetapi hukum itu tidak lebih dari sekedar perisai kekuasaan yang membuaat kekuasaan steril dari hukum dan melahirkan negara yang semata-mata dikendalikan oleh kekuasaan.[3] Untuk memahami perkembangan konsep negara hukum, secara empiris dapat dikatakan sebagai objek kajian yang tidak bisa terpisah dari perkembangan fungsi yudisial dalam melaksanakan pengujian hukum secara formil dan konsep negara hukum yang awalnya bersifat transedental menjadi lebih nyata atau konkret dirasakan oleh masyarakat luas.
Karena melalui sistem pengujian seperti ini diperkirakan hak-hak konstitusional masyarakat yang dilanggar oleh produk hukum dapat dikembalikan pada hakikatnya semula. utuk itu Negara membutuhkan lembaga independen yang bertugas untuk menguj hukum yang ada di masyarakat.[4]
Lembaran awal sejarah awal praktek pengujian Undang-undang (yudicial Review) bermula pada Negara AmerikaSerikat saat dipimpin John Marshall dalam kasus Marburylawan Madison tahun 1803. Kendati saat itu konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberiaan kewenangan untuk melakukan judicial review kepa Mahakamah Agung, tetapi menfsirkan yang mengharuskan untuk senentiasa menegakkan suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi.[5]
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, mahkamah Knstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus senketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang Dasar, membubarkan partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.