Mohon tunggu...
Maulida Maulaya Hubbah
Maulida Maulaya Hubbah Mohon Tunggu... Penulis - Survive for Future

Mahasiswa Hukum Tata Negara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisis Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013

16 Februari 2018   15:34 Diperbarui: 16 Februari 2018   16:51 5966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhisyarat sebagai Presidan dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Berdasarkan pasal 24 c ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Mahkamah konstitusi diberikan kewenangan kewenangan untuk menguji Undang-Undangterhadap UUD 1945, artinya dalam hal ini Mahkamah Konstitusi merupakan batu uji bagi undang-undan dibawah di bawah UUD1945 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentanbg pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa secara hirarkis kedudukan UUD 1945 adalah lebih tinggi dari undang-undang olehkarna itu setiap ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan UUD 1945, pengujiaannya lewat Mahkamah konstitusi.

Pemilu presiden dan wakil presiden dengan pemilu Legislatif dilaksanakan secara terpisah, hal ini juga banyak medapat sorotan dari berbagai kalangan masyarakat, karena pemilu terpisah tersebut dinilai tidak efisien. Selain biayanya sangat besar.pelaksanaan pemilu tidak serentak telahmenimbulkan kerugiaan hak konstitusonal warga negara sebagai pemilih. Apabila pemilu serentak diterapkan maka akan dapat menghemat uang negara sebesar 120 triliun.

Atas dasar itu pakar komunikasi politik, Effendi Gazhali mempersoalkan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi. Effendi memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat(2), Pasal14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden (lembaran Negara tahun 2008 nomor 176, tambahan lembaran Negara nomor 2924. (yang selanjutnya disebut UU 42/2008).

Dalam amar putusan, majelis hakim konstitusi menyatakan bahwa putusan tersebut hanya berlaku untuk Pemilu 2019dan seterusnya. Permohonan yang tidak dikabulkan adalah uji materi atas Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008Tentang Pemilihan yang mengatur tentang besaran batas minimal perolehan suara partai politik untuk dapat mengusung pasangan presiden dan wakil presiden (presidential treshold) Mahkamah Konstitusi menyatakan pula bahwa putusan tidak dapat digunakan untuk Pemilu 2014 agar tidak muncul ketidakpastian hukum.

Dalam pertimbangan putusan, Mahkamah Konstitusi menilai tahapan Pemilu 2014. sudah memasuki tahap akhir. Seperti lazimnya putusan berlaku seketika setelah dibacakan, majelis menilai yang terjadi adalah terganggunya Pemilu 2014. Meskipun lima dari enam uji materilvdikabulkan, di luar isu presidential treshold, majelis berpendapat pelaksanaan Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 dengan segala akibat hukumnya, harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional putusan ditandatangani oleh delapan hakim konstitusi, dengan dissenting opinionatau berbeda pendapat Yang disampaikan Maria Farida Indrati[6]

Dari dinamika putusan Mahkamah konstitusi diluar kebiasaan ini mengundang berbagai pendapat para ahli hukum tata negara salah satunya ialah YusrilIhza Mahendra ia berpendapat putusan Mahkamah Konstitusi soal Pemilihan Umum serentak menyebabkan kevakuman hukum dalam pelaksanaan pemilu. Hal ini karenapengujian pemohonan yang diajukan oleh Effendi Ghazali dan kawan-kawan tidakmeminta secara langsung maksud Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Selain itu juga Yusril mengatakan putusan yang di hasilkan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam melakukan pengujian undang- undang itu merupakan putusan yang blunder dan menggantung. Pelaksanaan dan hasil 2014 potensial ditafsirkan inkonstitusional dan terlegitimasi. Hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum yang mengikat seketika setelah putusan di bacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.

Secara prinsip, dalam memutus perkara pengujian Undang-undang, mahakamah konsitusi hanya dapat berperan negatif legislator artinya, Mahkamah Konsitusi hanya menyatakan pasal, ayat, bagian atau seluruh norma undang-undang bertentangan denganUndang-Undang Dasar 1945, dan dinyatakan dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 56 dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Namun dalam perkembangan Mahkamah Konstitusi membuat beberapa putusan yang tidak sekedar membatalkan norma, melainkan juga membuat putusan yang bersifat mengatur (positive legislature). Dalam perpektif yuridis normatif, tindakan aktivisme yudisial yang mengarah pada kedudukan positive legislature, tersebut tidak sesuai dengan pasal di atas dan terkesan melampaui batas.

Sekalipun demikian, apabila ditelaah, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat positif legislator justru menunjukkan dan menjadi bukti penegakan hukum yang progresif. Meskipun, putusan tersebut demikian menimbulkan problematika dan dinamika dalam implementasinya. Dalam penegakan hukum yang progresif, hukum tidak hanya dilihat dari kacamata teks undang-undang saja, melainkan menghidupkan kemaslahatan dalam kontekstual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun