Mohon tunggu...
Maulida Maulaya Hubbah
Maulida Maulaya Hubbah Mohon Tunggu... Penulis - Survive for Future

Mahasiswa Hukum Tata Negara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisis Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013

16 Februari 2018   15:34 Diperbarui: 16 Februari 2018   16:51 5966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

2.1. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pembatalan Terhadap Beberapa Pasal di dalam Undang-Undang nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

  • Kaitan Antara Sistem Pemilihan dan
  • Sistem Pemerintahan Presidensial. Original Intent Dari Pembentuk UUD
  • 1945.
  • Efektivitas dan Efisiensi Penyelenggara Pemilihan Umum Serta Hak Warga Negara Untuk Memilih Secara Cerdas.

2.2. Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14/ PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Berdasarkan Hukum Acara Mahkamah konstitusi dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang atas perubahan Undang-Undang Nomer 24 tahun 2003.

Dalam putusan Mahakamah Konstitusi nomor 14/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomer 42 tahun 2008 tentang pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ini,mahkamah menyatakan dan mengabulkan Pemilihan Umum secara serentak akan tetapi pelaksanaannya baru dilaksanakan pada tahun 2019. Dalam putusan ini Mahkamah Konstitusi jelas keluar dari logika pemikiran hukum positif bagaimana mungkin mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yangbersifat positive legislaturesedangkan konstitusi dan Undang-Undang mengamanatkan Mahkamah Konstitusi yang bersifat negative legislature. Hal initelah menyalahi Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi " putusan Mahkamah Konstitusi bersifat Final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejakdiucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat(final and binding)". Yang di maksud dengan putusan yang bersifat final yaitu segala perbuatan hakim yang diucapakan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat putusan yang bersifat final yaitu segalaperbuatan hakim yang diucapakan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sebuah sengketa dan apabila sebuah putusan kurang bisa dimengerti atau banyak menimbulakan tanda tanya maka kita harus kembai melihat ke dalam pertimbangan hukumnya dan amar putusan sebuah putusan dan di dalam sebuah putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat adalah amar putusannya, jadi dalam putusan ini yang menjadi tolak ukur kita dalam menafsirkan putusan hakim mahkama yang bersifat final itu poin-poin yang terkandng di dalam amar putusannya, apa saja yang terkandung di dalam amar putusannya, maka itulah yang menjadi hukum yang mengikat seketika tanpa adanya sebuah upaya hukum.

Dalam pertimbangannya mahkamah berpendapat bahwa tahapan pemilu 2014 telah berjalan dan karna batas waktu yang telah mencapai tahap akhir sehingga mahkamah memutuskan perberlakuan putusan pemilu serentak tersebut diberlakukan tahun 2019. Dalam hal ini penulis kurang setuju dengan alasan hakim konstitusi, karena akan lebih baiknya mahkamah bertanya kepada KPU selaku institusi yang berwenang dalam penyelenggaraan pemilu, apakah pemilu serentak tersebut bisa dilaksanakan pada tahun 2014 ini atau tidak, akan tetapi fakta di persidangan menunjukkan bahwa MK tidak pernah meminta pendapat dari KPU.

Terlepas dari semua hal di atas putusan MK yang bersifat mengatur dalam pengujian UU Nomer 42 tahun 2008 tentang pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dalam perspektif hukum responsif, menunjukkan bahwa para hakim Konstitusi telah menunjukkan sikap yang mampu mengadopsi paradigma baru dan meninggalkan paradigma lama. Dari paradigma positivesme yang berorientasi pada formalistic-legalistik menuju paradigma post positivismdengan nuansa hukum progresifnya. Hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri melainkan dia haris mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok, untuk mengadopsi kepentingan- kepentingan yang ada di masyarakat. Hukum tidak hanya dilihat dari kacamata teks UU belaka, melainkan menghidupkannya dalam kontekstualitasnya. Sikap hakim konstitusi dalam putusan mengatur di atas menunjukkan bahwa tidak selalu mendasarkan pada pertimbangan yuridis dan otonom teks undang-undang, melainkan mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam rangka untuk mewujudkan apa yang disebut keadilan substantive.

Kita lihat dari hukum acara MK, menurut Sekretaris Jenderal Mahkama Konstitusi Janedjri M. Gaffar mengatakan Makamah tidak dalam tekanan pihak manapun dala mmemutuskan uji materi UU Pemilihan Presiden. Janedjri mengklaim proses pembacaan putusan pun sudah sesuai prosedur. "Kalau ada yang bilasng kami ditekan atau diintervensi itu tidak benar" kata Janedjri, di kantornya, Selasa, 28 Januari 2014. "Karena bole dibuktikan kami sudah melakukan sesuai dengan prosedur." Janed merinci alur berkas perkara pengajuan UU Pilpres itu sampai diputuskan pada 23 Januari, kemarin. Menurut dia, terdapat 7x lagi rapat permusyawaratan hakim (RPH) setelah keputusan diambil pada 26 Maret tahun lalu, semua tahapan yang dilalui telah sesuai dengan hukum acara Mahkamah Konstitusi.

2.3.Implikasi hukum dalam pembatalan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomer 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

 a. Melihat dari aspek pemberlakuan putusannya, menurut pakar hukum tata negara, Dr. Margarito Kamis dari Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate. Keputusan MK mengabulkan pengujian UU No. 42 Tahun 2008 tentang pilpress menjadi polemik tersendiri. Kendati telah diputuskan pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dihelat serentak, namun dalam implementasinya kekeputusan pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dihelat serentak, namun dalam implementasinya keputusan tersebut baru berlaku pada pemilu 2019. Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013, menyatakan mengabulkan permohonan pemohonan untuk sebagian, Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tidak menimbulkan akibat hukum yang fundamental, kecuali Pasal 122 UU No. 42 Tahun 2008, karena dalam amar putusannya secara tegas menyatakan pasal ini bertentangan dengan konstitusi. Akibat hukum yang paling fundamental, yang ditimbulkan dari pernyataan MK dalam amar putusannya bahwa pasal 112 bertentangan presiden harus dilaksanakan secara bersamaan. Menyadari akibat hukum yang fundamental itu, maka MK menyiasatinya dengan menyatakan, amar putusan tersebut diatas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya

Secara konstitusional atau dalam tataran teoritik, siasat Mahkamah Konstitusi tersebut menimbulkan masalah karena dalam pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berisi ketentuan sebagai berikut: Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Maka ketentuan hukumnya pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden, yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945, berlaku positif sejak putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan. Karena putusan tersebut di bacakan tanggal 23 Januari 2014 maka keputusan tersebut berlaku sejak tanggal tersebut, sehingga pasal 112 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal-pasal yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Kehilangan sifat positifnya sebagai hukum, sehingga tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk melakukan tindakan hukum yang sah. Sehingga seharusnya Komisi Pemilihan Umum tidak bisa lagi menggunakan pasal 112 UU Pilpres sebagai dasar positifnya sebagai hukum, sehingga tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk melakukan tindakan hukum yang sah. Sehingga seharusnya Komisi Pemilihan Umum tidak bisa lagi menggunakan pasal 112 untuk pilpres sebagai dasar penyelenggaraan pemilu. Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2014 ini, pendapat senada juga disampaikan Yusril Ihza Mahendra, bahwa setiap putusan MK yang sudah diketok dan dibacakan secara otomatis berlaku sejak diucapkan oleh majlis hakim.[7]

Namun dalam konteks putusan pengujian Undang-Undang pilpres, MK memrintahkan agara pemilu serentak (yang berarti sesuai konstitusi) dilaksanakan pada tahun 2019. Karena landasan untuk penyelenggaraan pemilu 14 inkonstitusional, maka hasil dari pemilu 2014 mendatang juga inskonstitusional. Konsekuensinya DPR, DPD, DPRD dan Presiden serta Wakil Presiden terpilih dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2014 juga inkonstitusional. Secara teoritik terdapat dua akibt hukum lanjutannya yang bisa didentifikasi, pertama, akibat hukum prapemilu presiden dan wapres, adalah gugatan terhadap keputusan-keputusan KPU meliputi; penetapan tahapan pilpres, penetapan pasangan calon, dan pengadaan barang dan jasa. Kedua, akibat hukum pasca Pilpres adalah gugtan terhadap keabsahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Semua gugatan akan dialamatkan ke Pengadailan Tata Usaha Negara di Jakarta, karena locusnya ada di Jakarta. Sebagai solusinya secara hukum bisa dilakukan dengan Presiden menerbitkan Perppu mencabut Pasal 9 UU No 42 Tahun 2008, dimana pasal tersebut berisi ketentuan pasangan calon presiden dan pasangan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan pemilihan suara paling sedikit 20 % dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25 % dari suara sah nasional, apabila pasla 9 ini dihapus atau dicabut, maka pemisahan pemilihan presiden dan pemilihan presiden tersebut sah karena sudah sesuai dengan norma dan pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Sedangkan secara politik perlu diciptakan suasana demam politik, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2014 dengan dukungan dari semua pihak. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2014 ini perlu melibatkan Ormas yang punya pengaruh besar, seperti PP Muhammadiyah, PB Nahdlatul Ulama, Persatuan Gereja Indonesia, dan lain sebagainya, Pemerintah perlu mendorong pihak-pihak terkait terutama para pemuka opini untuk turut berpartisipasi agar Pemilu tetap berjaln dengan lancar dan aman. Implikasi atas keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, harus diminimaliser agar tidak ada peluang bagi pihak-pihak yag kalah dalam pemilihan legisatif maupun pemilihan presidn untuk menggugat hasil pemilihan karena pelksanaan pemilu tahun 2014 masih dianggap ilegal[8]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun