Seorang sahabat melempar senjata kearahku, tanpa menunggu aba-aba, kulepaskan peluru.
"Sial!" lagi-lagi aku marah dan emosi, satu peluru gagal sasaran, aku mencoba lebih fokus, meski cuaca membuatku sulit untuk melihat satu titik.
Kembali kulancarkan tembakan, kali ini peluru bersarang di paha kiri sasaran. Dengan jarak beberapa meter darinya aku meloncat dan menarik jaket dan tudung yang ia kenakan.
Bersama dengan cahaya kilat, dengan jelas aku melihat sosok yang berada dalam genggamanku. Aku gematar. Mataku terbelalak. Segumpal daging dalam dada seketika terasa nyeri dan remuk.
"Ayah!"
Pagi ini aku berdiri di tanah becek sisa hujan semalam. Di hadapan semua teman-teman berseragam dan seorang buronan yang siap dieksekusi mati.
Hanya jarak beberapa senti dari sang target, pelatuk senjata siap memuntahkan peluru, tanganku gemetar. Jantungku berdetak lebih cepat.
"Lakukan tugasmu, Nak," ucap lelaki itu.
"Bagaimanapun aku bukanlah seekor hiu, yang mampu memangsa induknya demi bertahan hidup." Aku berucap dengan bibir bergetar.
"Tapi, kenyataan menuntutmu untuk melakukan sebuah tugas mulia, Ayah bangga padamu," kembali ia berucap.
Dadaku terasa semakin sesak. Bulir keringat menetes di kening, air mata mulai mengalir dari kelopak mataku, seiring tarikan pelatuk senjata di dalam genggamanku.