Perlahan mentari mengakhiri tugasnya. Semburat jingga menyambut di ufuk barat mengiri perjalanan menuju peraduan. Kicau burung telah berhenti, segerobolan kelelawar mulai menggeliat menanti gelap.
Satu tiang, menjulang dihiasi bendera. Di depan sebuah bangunan persegi dalam hutan. Sekelompok orang berseragam, melepas penat setelah mendengarkan pidato sang komandan.
Aku terdiam. Memeluk lutut di sebuah sudut, kopi yang kubuat dingin sudah. Anganku melayang, bayang seorang ayah yang menjadi sosok pahlawan.
"Terimakasih Ayah, kerja keras dan doamu untuk menjadikanku seorang abdi negara, berhasil sudah. Anakmu ini sudah menjadi agen rahasia pelindung Negara. Lepas dari semua rasa syukur dan terimaksihku, semoga ini bisa membuatmu bangga," batinku.
"Hei! Ini tengah hutan, jangan banyak melamun!" Aku menoleh kearah suara. Seorang shabat yang lantas duduk di sebelahku.
"Kangen rumah?" Aku tidak mejawab pertanyaannya.
"Istirahatlah! Besok tugas berat menanti, tidak semudah menagkap itik di sawah. Para pengendali pengedaran narkoba itu sangat licin," ucapku seraya bangkit dari duduk. Mengibaskan rumput yang menempel di celanaku lalu pergi meninggalkannya.
Pagi belum lagi terang. Orang-orang berseragam telah rapih berbaris, memenuhi lapangan kecil depan bangunan persegi. Jauh di tengah hutan sepi penghuni.
Suara bariton sang komandan memecah kesunyian. Menjelaskan strategi. Memberi ciri sang buronan serta letak tempat sang pengkhianat.
Aku resah, gugup, ini adalah penyergapan terbesar selama beberapa tahun aku menjadi agen. Menangkap gembong pengedar narkoba. Aku yakin Ayahku akan semakin bangga jika aku pulang berkalungkan penghargaan tanda misi berjalan dengan lancar.
"Tak akan kusia-siakan peluang emas ini, kan kubuat Ayah semakin bangga denganku," batinku.
Tepat tengah malam, suasana mendebarkan itu datang. Semua personil telah menyebar. Sebagian memasuki banguan besar, sebagian berjaga, Tempat sasaran di depan mata. Aku fokus pada satu titik, pintu keluar. Sebagian fokus di titik pintu masuk.
Sepersekian detik. Suara letusan terdengar, hingga tidak terhitung jumlah ledakan, kami bersiaga, dua titik pintu tidak bisa diabaikan.
Ternyata mereka tidak sebodoh yang kami pikirkan, beberapa dari mereka keluar lewat atap, menghujani timah panas ke arah yang berjaga di luar. Satu persatu mereka terjun dan berlarian kearah yang telah di tentukan. Perencanaan yang hebat!
Aku mulai panik, ada berapa temanku yang tertembak, mana yang harus aku pilih. Menolongnya atau mengejar para pecundang Negara?
"Kejar!!!" seru temanku, aku yang tidak terluka, lari mengejar bersama derap langkah yang lain, mengejar sebelum mereka masuk hutan lebih jauh.
"Meraka tidak boleh lolos!" geramku. Langkah kakiku tak berhenti, dengan berbekal senter kicil, aku terus mengejar sosok tinggi yang bertudung, tak kukenali wajahnya, gelap hutan membuat pandangan sedikit terhalang.
Sorot mataku menyapu setiap sudut hutan yang gelap, "Apapun yang terjadi, misi ini harus berhasil," tekadku. Kukerahkan semua kemapuanku.
Tiba-tiba dan tanpa di duga, seseorang itu berbalik kebelakang dan menguhjani peluru ke arahku, dengan gesit aku meloncat mencari perlindungan di balik pohon. Sial! Tanah licin dan berlumpur membuatku terpelset dan jatuh, senter kecil dan senjata lepas dari genggaman. Tidak ada waktu untuk mencari.
Suara petir mengelegar, cahaya kilat membantuku melihat keadaan. Aku berdiri tegap sempurna.
Orang itu pun tampak sulit mencari pijakan, cepat kuberlari dengan tangan kosong kembali mengejar. Rinai hujan mulai membanjiri bumi, medan terasa semakin sulit. Namun, aku tidak boleh menyerah.
Seorang sahabat melempar senjata kearahku, tanpa menunggu aba-aba, kulepaskan peluru.
"Sial!" lagi-lagi aku marah dan emosi, satu peluru gagal sasaran, aku mencoba lebih fokus, meski cuaca membuatku sulit untuk melihat satu titik.
Kembali kulancarkan tembakan, kali ini peluru bersarang di paha kiri sasaran. Dengan jarak beberapa meter darinya aku meloncat dan menarik jaket dan tudung yang ia kenakan.
Bersama dengan cahaya kilat, dengan jelas aku melihat sosok yang berada dalam genggamanku. Aku gematar. Mataku terbelalak. Segumpal daging dalam dada seketika terasa nyeri dan remuk.
"Ayah!"
Pagi ini aku berdiri di tanah becek sisa hujan semalam. Di hadapan semua teman-teman berseragam dan seorang buronan yang siap dieksekusi mati.
Hanya jarak beberapa senti dari sang target, pelatuk senjata siap memuntahkan peluru, tanganku gemetar. Jantungku berdetak lebih cepat.
"Lakukan tugasmu, Nak," ucap lelaki itu.
"Bagaimanapun aku bukanlah seekor hiu, yang mampu memangsa induknya demi bertahan hidup." Aku berucap dengan bibir bergetar.
"Tapi, kenyataan menuntutmu untuk melakukan sebuah tugas mulia, Ayah bangga padamu," kembali ia berucap.
Dadaku terasa semakin sesak. Bulir keringat menetes di kening, air mata mulai mengalir dari kelopak mataku, seiring tarikan pelatuk senjata di dalam genggamanku.
"Woiii...!!! Bangun! Kita telat kumpul ini!" Teriakan keras menghentikan semuanya. Aku terbangun disaat teman yang membangunkan tidurku telah berlalu. Aku terdiam, ternyata hanya mimpi..., ya ... hanya mimpi.
Lama aku mengumpulkan memory dalam kepala, memberi keyakinan jika semua benar-benar hanya mimpi.
Senja belum lagi turun. Namun, keadaan hutan sudah mulai gelap, aku termenung menyelami mimpiku semalam.
Seorang datang dengan seragam yang agak gelap. Senior... seniorku yang datang menghampiri, ia memandangku sekilas. "Sedang apa kamu di sini? Masing-masing temanmu sudah memegang fhoto target. Kamu belum, kan?" ujarnya. Seraya melempar beberapa lembar fhoto ke hadapanku. Saat aku memungut fhoto-fhoto itu, jantungku seakan berhenti berdetak, mimpi semalam kembali hadir dalam bayanganku. Fhoto seorang lelaki, berkemeja putih dengan senyum yang sangat aku kenal. "Ayah...!!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H