Arga menghampiriku, duduk tepat di hadapanku yang sedang sendiri di taman belakang rumah. Satu minggu sudah aku berada di sini. Di Rumah besar peninggalan eyang. Orang tua dari bunda dan tante Ami.
Tangan kokoh Arga membingakai wajahku, ibu jarinya menghapus air mata yang tidak berhenti mengalir di pipiku sejak beberapa hari lalu.
"Jangan luapkan amarhmu kepada yang Kuasa. Karena itu akan merusak jiwamu sendiri, jadilah pribadi yang mampu menyelaraskan apapun yang Allah kehendaki," ucapnya ringan seakan tidak terjadi apa-apa.
"Aku.... Tidak mengerti dengan semua ini," ucapku lirih.
"Kamu pikir aku mengerti?... kita hanya bisa menerima kenyataan tanpa harus membenci keadaan," ucapnya datar.
"Dulu, sebelum aku tau kenyataan ini. kamu wanita yang aku sukai dan aku cintai... setelah ini dan seterusnya... kamu adalah wanita yang sangat aku cintai, sangat aku sayangi bahkan hingga aku mati," lanjutnya seraya menerawang jauh menyelami perasanku dengan tatapan bola matanya.
Semua tentang keadaan yang tak selaras dengan hati dan pikiran. Semua hanyut bak hantaman gelombang. Hatiku tersentak dan tertombak. Sempat beradu antara percaya dan tidak. Nyatanya rasa itu tidak memudar. Cinta pun tak menghindar.
****
"Akan ada tamu, cepat kamu siap-siap sana," ucap tante Ami lembut.
"Tamu? Siapa Tan?"