"Tapi... Nenek sendirian," ucapku lirih seraya menggenggam erat tangannya. Nenek melepaskan genggamannya lalu menunjuk ke atas.
"Ada Allah yang selalu membersamai Nenek,' ujarnya penuh senyum. "Ya... Allah egoiskah aku?" ucapku dalam hati. Tak kubayangkan Nenek yang berjalan sediri mengantar makanan-makanan dari warung ke warung. Tangisku pecah... keraguan melanda tapi satu tekad untuk dapat merubah keadaan membuat aku menjadi seorang cucu yang egois?
Kupeluk Nenek. Kukecup keningnya sangat lama seraya berdoa, semoga ini bukanlah sentuhan terakhirku di usia senjanya, semoga 4 tahun yang akan datang aku masih bisa menyentuhnya dengan senyum dan kebahagian di ujung usianya. Semoga...dan... semoga.
Dengan derai air mata yang tak bisa kuhentikan sejak kedatangan surat pemeberitahuan beasiwa itu. Kurapihkan helai demi helai baju yang akan kubawa di temani Nenek yang duduk di sudut kasur lantaiku. Tatapan penuh harap. Degup jantungnya, sangat aku rasakan, hanya saja aku tak melihat tetesan air mata dari kelopak rentanya. Demi menguatkan aku ia berusaha untuk kuat.
Mungkin aku tak seberuntung mereka, tapi mereka tidak sekuat aku!
Universitas Indonesia... aku datang!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H