Â
Setiap anak tidak pernah bisa memilih di lahirkan oleh rahim siapa.
Begitu juga denganku. Hingga aku memohon jangan pernah mencerca seorang anak karena tabiat kedua orang tuanya.
Memiliki ayah yang memilih hidup dalam kubangan dosa hingga akhir khayat, jelas bukan mauku. Memiliki ibu yang rela mengakhiri hidup karena lilitan hutang, pun bukan mimpiku.
Kupeluk erat lengan Nenek yang selama ini membesarkanku. Tangisku terisak air mata membasahi kain lusuh yang ia kenakan. Pedih, perih, atas semua cercaan yang di lontarkan tetanggaku.
"Kenapa?" tanyanya lembut.
"Nek... ayo kita pindah dari tempat ini," ucapku di tengah isak tangis. Pinta seorang cucu yang belum cukup dewasa untuk mengerti jika semua akan menjadi beban wanita setengah abad yang terlihat lelah menghadapi permasalahan hidup.
Yang aku tahu hanyalah. Aku ingin hidup di mana semua orang tidak mengenal kami. Tidak tahu jika nenek memiliki anak yang menanggung beban hutang hingga memilih untuk bunuh diri. Atau menantunya yang di kenal banyak orang dengan sebutan bajingan!
"Ya... kita akan pindah,' ujarnya.
Aku menyeka air mata. "Benarkah?" tanyaku.